Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HEATHER Norman tergopoh mematikan televisi. Setiap kali televisi menyala, dia selalu mematikannya. Berita kematian sang suami, Garry Cunningham, di Balibo, Timor Portugis, pada 1975 itu terus menyayat ingatannya. ”Selama bertahun-tahun dia tak menonton televisi. Dia juga tak mau melihat tentara,” kata John Milkins, putra Cunningham, kepada Tempo pekan lalu.
Trauma yang hampir sama membekas pada keluarga empat wartawan televisi Australia lain: Brian Peters, Malcolm Rennie, Greg Shackleton, dan Anthony Stewart. Mereka, juga Cunningham, ditembak dalam perebutan wilayah yang tengah mendidih saat itu.
Tak ada yang bisa menghapus trauma itu kecuali kasus Balibo diungkap di pengadilan terbuka. Dan kelima keluarga ini mulai menemukan titik terang pada 2007. Keluarga Brian Peters meminta pemerintah Negara Bagian New South Wales, Sydney, menggelar sidang Coroner’s Inquest. Para saksi mata pada sidang 16 November 2007 menyatakan kelimanya ditembak tentara Indonesia. Kesaksian ini menyangkal versi resmi pemerintah Indonesia: mereka tertembak di tengah pertempuran.
Adalah kesaksian Kolonel (Purnawirawan) Gatot Purwanto, yang berada di perbatasan Indonesia-Timor Portugis (nama Timor Leste) pada 1975, yang menguatkan kebenaran saksi sidang, meski ia tak menyatakan lima wartawan itu ditembak dengan sengaja oleh tentara Indonesia. ”Mungkin sulit buat dia (terus terang), karena kedua pemerintah sudah berbohong selama puluhan tahun,” kata Milkins. Namun, katanya, ”Pengakuan ini penting.”
Tak cuma Milkins, Damien Kingsbury, pakar Indonesia dari Deakin University, Melbourne, juga lega dengan pengakuan pensiunan tentara yang dimuat Tempo pekan lalu itu. ”Itu adalah hal yang luar biasa, berani menantang arus,” ujar penulis The Politics of Indonesia itu.
Damien memuji Gatot, lantaran di Indonesia ada budaya cenderung menyembunyikan isu-isu yang terlalu sensitif agar tak muncul ke publik demi menghindari konflik. Menurut Damien, ”Ucapannya adalah konfirmasi dari yang diketahui masyarakat Australia selama puluhan tahun.”
Kendati sudah muncul pengakuan dari sang kolonel, istri Greg Shackleton masih belum lega. Shirley Shackleton tak percaya tragedi penembakan itu tanpa perintah dari Jakarta. Dia berkukuh Letnan Jenderal (Purnawirawan) Yunus Yosfiah terlibat dan mesti dipanggil polisi federal untuk dimintai keterangan.
Kepolisian federal Australia yang meneruskan hasil sidang Coroner memang memiliki bukti kuat keterlibatan pelaku dari Indonesia. Namun pemerintah pusat di Canberra tak ingin membuka kasus itu karena akan merusak hubungan baik kedua negara. Secara diplomatis Komisaris Tony Neguys menyatakan penyelidikan polisi masih dalam tahap awal. ”Akan prematur kalau dimintai keterangan sekarang. Apalagi dia (Gatot) mengatakan tak siap bicara kepada kami,” ujarnya.
Tony mengatakan kepolisian tak bisa seenaknya meminta keterangan yang diperlukan kepada warga Indonesia. ”Kami menghormati kedaulatan Indonesia, sehingga perlu kerja sama kedua negara untuk berada pada posisi yang sama dalam kasus ini,” ucapnya.
Menurut Milkins, kesungkanan polisi federal juga karena pemerintah pusatnya masih ragu membuka kasus ini. Ia menduga pemerintahnya, juga pemerintah Selandia Baru, Inggris, dan Amerika, tahu perihal tewasnya lima wartawan tersebut, tapi tak berniat mempersoalkannya.
Menteri Dalam Negeri Australia Brendan O’Connor, ketika didesak wartawan pekan lalu soal kebijakan atas kasus itu, malah melempar persoalan ini ke penyidikan kepolisian yang masih mentah.
Milkins mengaku tak dendam kepada Indonesia, karena paham konteks perang dingin saat itu. Negara-negara Barat tak mau kecolongan adanya basis komunis baru di Asia Tenggara. ”Mereka masih ingat bagaimana Vietnam (menjadi basis komunis di Asia Tenggara),” ujarnya. Karena itulah, meski polisi sudah mengantongi banyak bukti kuat, mereka cenderung tak meneruskan penyidikan federal yang sudah dimulai sejak 20 Agustus lalu.
Beban sejarah ini juga muncul ketika Arsip Nasional Australia mengurungkan niat membuka kasus ini setelah 30 tahun berlalu. ”Semestinya dua pekan lalu dibuka, tapi katanya akan membuka luka lama Indonesia dan Australia,” ucap Milkins.
Karena itulah, kata dia, perjuangan ini akan berlangsung lama. Ia dan keluarga korban lain berjanji akan terus gigih mendesak pemerintah Australia dan kepolisian federal menuntaskan kasus ini. Namun dia realistis tentang kondisi pemerintahnya sekarang. ”Butuh kemauan politik kuat,” ujarnya.
Yophiandi (Jakarta), Dewi Anggraini (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo