Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>SOMALIA</font><br />Perjalanan Panjang Menuju Dadaab

Perang suku, kekeringan, dan pemerintah yang lemah mendorong 12 juta warga Somalia mengungsi. Seperempat dari mereka anak-anak.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAWO Ibrahim, 32 tahun, dan ketujuh anaknya harus berjalan kaki selama 15 hari demi mendapatkan makanan di Dadaab, daerah pengungsian di timur laut Kenya. Suami Hawo Ibrahim menjadi gila setelah persediaan makanan untuk keluarganya habis. ”Sungguh menyakitkan ketika kamu tidak bisa mendapatkan apa pun untuk anakmu yang kelaparan dan kehausan,” ujar Ibrahim kepada CBS.

Ibrahim adalah satu dari ribuan pengungsi Somalia yang harus menempuh 300 mil tanpa kendaraan—bahkan sebagian tanpa alas kaki. Mereka adalah suku minoritas yang menjadi korban perang antarsuku di Somalia. Kebanyakan dari mereka adalah suku Bantu yang berasal dari Lembah Juba dan daerah Gedo.

Perang suku, juga kekeringan ekstrem—hujan tak kunjung turun selama dua tahun—telah mendorong 12 juta warga Somalia mengungsi. Seperempat dari jumlah itu adalah anak-anak. Lembaga Save the Children mencatat, ratusan anak berjalan ke Dadaab tanpa ditemani orang tua. Sebagian orang tua mereka meninggal di jalan, sebagian lagi tewas dalam perang suku.

Kondisi kesehatan anak-anak itu buruk akibat cuaca yang tidak menentu dan udara yang dipenuhi debu. Lantaran kecamuk diare dan infeksi saluran pernapasan, banyak bayi meninggal sebelum sampai di Dadaab.

Beberapa keluarga yang berangkat dari Kota Dobley bahkan terpaksa memakan tulang dari bangkai hewan yang mereka temukan dalam perjalanan menuju Dadaab.

Sesungguhnya wilayah Dadaab tidak kalah buruk dibanding Somalia. Sudah 60 tahun lebih daerah ini mengalami kekeringan. Hanya, Dadaab berada di bawah pengaturan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pengungsi dan bantuan kemanusiaan, UNHCR, serta beberapa organisasi kemanusiaan, seperti Care.

Daerah ini selalu menjadi pelabuhan utama PBB untuk mendistribusikan bantuan. Setiap minggu, 10 ribu warga Somalia memilih menantang badai ke Dadaab daripada mati kelaparan di Somalia. ”Saya hanya ingin lari dari kelaparan,” ujar pengungsi bernama Halimo Farah.

Bisa ditebak, daya tampung daerah pengungsian ini semakin berkurang. Pengungsi yang datang terpaksa menumpuk di luar kamp. Dadaab hanya mampu menampung 90 ribu pengungsi setiap tahun. Kali ini, Dadaab harus menerima 220 ribu pengungsi.

”Seorang ibu yang memiliki bayi yang kelaparan dan membutuhkan penanganan dokter tidak mau dipisahkan dengan bayinya, sedangkan kondisi di dalam kamp sangat penuh. Mereka tetap memaksa menunggu di luar,” ujar Andrej Mahecic, petugas UNHCR dari Jenewa.

Selain oleh faktor alam yang tidak bisa diprediksi dan perang suku, kelaparan yang parah di Somalia disebabkan oleh tidak adanya dukungan untuk kemajuan bidang pertanian. Tidak ada satu pun fungsi pemerintahan di Somalia yang berperan memperbaiki sistem kesejahteraan.

”Jika penyebabnya hanya gagal panen, dan ada pejabat berwenang yang mau bertanggung jawab, saya rasa tidak akan seperti ini. Mereka bisa memberikan makanan kepada rakyat, seperti yang pernah mereka lakukan pada Kenya, Uganda, dan Tanzania,” ujar Andrew Natsios, mantan Kepala United States Agency for International Development.

Melihat kondisi yang semakin parah di Dadaab, beberapa organisasi kemanusiaan berusaha menggalang bantuan. Namun revolusi yang terjadi di negara-negara Timur Tengah telah mengalihkan proses bantuan itu. Tidak hanya itu, beberapa jalur distribusi bantuan terhalang karena tertutup oleh kerusuhan.

Bantuan yang tidak terdistribusi ke Somalia juga disebabkan oleh ulah kelompok militan Al-Shahab yang melarang organisasi kemanusiaan masuk pada 2009. Mereka beralasan organisasi kemanusiaan itu adalah mata-mata dan menyebarkan cara hidup yang tidak islami. ”Warga nonmuslim yang ingin membantu harus menghubungi panitia kekeringan Al-Shahab untuk mendapat izin,” ujar juru bicara Al-Shahab, Syekh Ali Mohamud Rage.

Cheta Nilawaty (AFP, VOA, www.trust.org, cbsnews, abcnews, channel4.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus