Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2 color=#FF0033>Cina</font><br />Boikot Nobel ala Cina

Cina menggelar penghargaan tandingan untuk melawan pemberian Nobel terhadap Liu Xiaobo. Bergeming oleh tekanan internasional.

13 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penghargaan baru berlevel internasional itu bernama Hadiah Konfusius. Diberikan oleh pemerintah Cina, Kamis malam pekan lalu, sehari sebelum penganugerahan Nobel Perdamaian. Penerima penghargaan adalah mantan Wakil Presiden Taiwan sekaligus Ketua Kehormatan Partai Nasional Kuo Min Tang, Lien Chan.

”Dia (Lien Chan) telah membangun jembatan perdamaian antara Taiwan dan Cina, memberikan kebahagiaan sekaligus keberuntungan bagi rakyat kedua negara,” kata Tan Changliu, Ketua Komite Organisasi Penganugerahan Hadiah Konfusius, yang juga profesor di Universitas Beijing, Selasa pekan lalu.

Acara itu tampaknya digelar karena pemerintah Cina marah atas pengumuman Hadiah Nobel Perdamaian, Oktober lalu. Menurut mereka, Liu Xiaobo tidak pantas menerima Nobel karena memimpin gerakan protes antipemerintah Cina di Beijing pada 1989. Xiaobo dituduh melakukan tindak pidana subversif dan harus berada dalam pengawasan pemerintah Cina.

Tahun lalu Liu Xiaobo divonis 11 tahun penjara dan saat ini masih berada dalam penjara. Tidak hanya Liu Xiaobo, istrinya, Liu Xia, juga tidak bebas beraktivitas. Sejak penahanan suaminya, Liu Xia hanya diperbolehkan melakukan aktivitas di dalam rumahnya.

Cina menganggap penganugerahan Nobel Perdamaian kepada seorang kriminal sebagai ”penghinaan” terhadap kedaulatan Cina. Mereka percaya ada kekuatan dari luar Cina yang memakai Liu Xiaobo untuk mempengaruhi kebijakan politik dalam negeri mereka. ”Kami akan terus berupaya dan berbicara untuk melawan itu semua,” ujar juru bicara Menteri Luar Negeri Cina, Jiang Yu.

Tak cukup menggelar anugerah tandingan, Cina memperingatkan akan memberikan konsekuensi tertentu apabila negara yang menjadi mitra dagangnya mengirim perwakilan mereka ke acara penganugerahan Nobel. Alhasil, mendekati hari penyerahan Nobel, 19 negara, antara lain Rusia, Arab Saudi, Pakistan, Serbia, Iran, Filipina, Venezuela, dan Kuba, memastikan diri tidak hadir. Ada yang solider terhadap Cina, ada yang karena sentimen anti-Barat.

Di Manila, seorang diplomat senior Filipina mengatakan menolak hadir untuk menghindari pertengkaran lebih lanjut dengan Cina, yang masih marah kepada Presiden Benigno Aquino atas insiden pembajakan bus yang menewaskan delapan wisatawan Hong Kong, Agustus lalu. ”Kami tidak ingin mengganggu Cina,” ujar diplomat yang tak mau disebut namanya itu.

Ketidakhadiran 19 negara tidak menyurutkan semangat Komite Panitia Nobel melangsungkan acara. Mereka tetap memberikan Nobel kepada Xiaobo, meskipun kursi undangan kosong. Sekretaris Komite Nobel dari Norwegia, Geir Lundestad, mengatakan dua pertiga undangan lainnya sudah menyatakan hadir. ”Empat puluh lima dari 65 undangan sudah menyatakan hadir, antara lain Korea Selatan, Indonesia, India, Brasil, dan Afrika Selatan,” ujar Lundestad.

Selain mengadakan kampanye internasional, pemerintah Cina melakukan represi anti-Nobel di dalam negeri. Cina memblok media elektronik Inggris, BBC, dan Norwegia, NRK, sehari sebelum acara penyerahan Nobel kepada Xiaobo disiarkan secara langsung oleh kedua media tersebut.

Lebih dari 250 orang di Cina dilaporkan dilarang bepergian ke luar negeri, ditahan di rumah mereka, bahkan mengalami penyiksaan atas sikap mereka yang mendukung pemberian Nobel kepada Xiaobo. Kebanyakan dari mereka adalah aktivis demokrasi sekaligus antipemerintah.

Salah seorang warga yang dilarang bepergian adalah Ai Wei Wei, seorang seniman yang karyanya dipamerkan di Tate Modern, Oslo, Norwegia. Ia dilarang ke luar negeri hanya karena pemerintah Cina takut Wei Wei mengunjungi acara penganugerahan Nobel.

Tindakan Cina ini menuai protes dari berbagai kalangan dunia, terutama aktivis hak asasi manusia internasional. Salah satunya mantan penerima Nobel Perdamaian, Desmond Tutu. Dia bahkan menulis agar Beijing membebaskan Xiaobo dan istrinya dari tahanan. ”Cina mendukung rezim kejam dan penuh kekerasan,” tulisnya.

Meski banyak tekanan dari dunia internasional, Cina bergeming. ”Kami tidak akan mundur dari upaya kami hanya karena gangguan dari luar. Kami akan melanjutkan kebijakan kesatuan negara dan pengembangan sesuai dengan kepentingan kami,” ujar Jiang Yu.

Cheta Nilawaty (AP, Reuters, Telegraph.co.uk)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus