Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hassan Mohtashami Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia berharap isu kehamilan di kalangan remaja dan pernikahan anak di Indonesia menjadi priortias Pemerintah Indonesia. Sebab permasalahan di sektor ini, bisa berdampak ke level kesetaraan gender di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ada isu kehamilan di kalangan remaja dan pernikahan anak. Kalau ini terjadi (masalah semakin banyak), maka bisa tak ada kesetaraan gender. Dia (si ibu) menjadi tak punya waktu untuk menempuh pendidikan dan bekerja," kata Hassan dalam kesempatan media visit ke kantor Tempo di Palmerah Barat, Kamis, 21 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara solusi untuk mengatasi permasalahan ini, menurutnya adalah lewat Keluarga Berencana (KB). Remaja perlu pendidikan kesehatan reproduksi. Dan UNPFA mendukung kementerian-kementerian di Indonesian dalam kebijakan tentang kesehatan seksual dan reproduksi, terutama perempuan dan anak.
Hassan pun mengaku telah menyuarakan kekhawatiran ini ke sejumlah otoritas terkait di Indonesia seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Kementerian Pendidikan. Dia meyakini, Keluarga Berencana bagian dari solusi untuk menciptakan kesetaraan gender.
Di tempat terpisah, Prita Kemal Gani Founder dan CEO LSPR, dalam acara UN CSW68 (United Nations Commission on the Status of Women 68 Session) yang diselenggarakan di kantor pusat PBB, di New York, Amerika Serikat, pada 18 Maret 2024, menyuarakan kesetaraan pendidikan untuk anak dan perempuan dalam mengentaskan kemiskinan. Untuk mengatasi permasalahan ini, Prita pun mendirikan LSPR sebagai institusi pendidikan, yang di antaranya berkomitmen menjembatani ketimpangan pendidikan maupun kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia. LSPR sudah berdiri selama 32 tahun.
Populasi Indonesia saat ini tercatat 279 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 51 persen merupakan perempuan dan 39 persen adalah anak. Berangkat dari fakta itu, menurut Prita, diperlukan peran pendidikan yang tepat dan merata untuk mengatasi ketimpangan yang ada.
“Ketimpangan yang ada di Indonesia dalam sektor pendidikan ini tidak hanya menghambat pertumbuhan pribadi dan potensi individu, tetapi juga terus berlanjutnya kemiskinan sistemik,” sarannya.
Lebih jauh Prita menjelaskan, ada tiga aksi nyata yang telah dilakukan pihaknya secara berkelanjutan dalam memberdayakan perempuan dan anak untuk melawan kemiskinan melalui pendidikan. Pertama, Program Beasiswa yang digelontorkan lewat LSPR. Sebab baginya, pendidikan adalah investasi terbaik bagi generasi muda dan kunci untuk mengatasi kemiskinan.
Kedua, menggelar Pelatihan Keterampilan untuk UMKM. LSPR, misalnya telah bermitra dengan LSM dan pemerintah untuk mengadakan program pelatihan keterampilan bagi orang dewasa yang ingin meningkatkan prospek pekerjaan mereka.
Ketiga, menciptakan lembaga pendidikan yang Sustainable dan Inklusi. LSPR di antaranya telah mendirikan SDG's Center untuk mendukung upaya pengentasan kemiskinan sekaligus mewujudkan kesetaraan gender. Selain itu, didirikan pula Centre for Health & Gender Literacy yang telah menghasilkan beberapa penelitian dan memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah di bidang Komunikasi Kesehatan.
Melalui UN CSW68 Forum, Prita berharap kolaborasi semua pihak, termasuk negara-negara anggota lainnya di PBB, dapat tercipta untuk mencapai tujuan bersama, yakni memperjuangkan kesetaraan pendidikan untuk anak dan perempuan dalam mengentaskan kemiskinan. Prita pun menyarankan seluruh otoritas turut mengembangkan pendidikan berkualitas dan mengatasi kemiskinan melalui pendekatan pendidikan yang inovatif.
Pilihan editor: Australia Perketat Aturan Visa Pelajar, Ini Ketentuan Barunya
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini