Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Beleid Larangan yang Salah Musim

Larangan modal asing untuk bisnis multimedia dikecam. Pemerintah akhirnya akan merevisi beleid itu.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLONG. Itu paling tidak perasaan sementara para praktisi multimedia yang tergabung dalam Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel). Istilah telematika mencakup industri telekomunikasi, teknologi informasi, dan multimedia. Maklum, beberapa pekan lalu mereka digelisahkan terbitnya Keputusan Presiden No. 96/2000, yang mengatur rambu-rambu penanaman modal asing di Indonesia. Soalnya, salah satu pasalnya menyatakan pemerintah melarang modal asing masuk ke bisnis multimedia—termasuk dalam pengertian ini adalah televisi dan internet. Sejak diteken 20 Juli lalu, keputusan yang mengatur bidang-bidang usaha apa saja yang boleh menerima kucuran dolar dari investor asing itu menerima hujan kritik dan kecaman dari berbagai kalangan. Yang paling gencar mengkritik, ya, organisasi Mastel itu. Selain melayangkan surat resmi ke meja Menteri Negara Investasi dan Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara, Rozy Munir, di Jakarta, mereka juga sempat merencanakan menghadap Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Mastel juga berbicara dengan orang kedua Rozy Munir. Usaha mereka tidak sia-sia. Pemerintah pun kemudian mengadakan pertemuan antardepartemen, yang dihadiri para pejabat antara lain dari Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Menteri Pembinaan Aparatur Negara, Badan Koordinasi Informasi Nasional, dan Kantor Sekretariat Kabinet, pertengahan Agustus lalu. Hasil pertemuan itu, pemerintah akan merevisi sebagian isi Keppres No. 96/2000. Dan secara khusus Rozy Munir menyatakan akan mencabut kata "multimedia" dari daftar bidang usaha yang dilarang menerima kucuran modal asing. Istilahnya, larangan investor asing masuk ke jasa layanan informasi multimedia, termasuk internet, akan dikeluarkan dari daftar negatif investasi (DNI) yang tercantum dalam keppres tersebut. Bahkan, penanaman modal asing ke jasa multimedia kini dimungkinkan tanpa dibatasi persentase. Sebenarnya, apa yang dipersoalkan Mastel? Asosiasi yang didukung antara lain Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet itu memang tak hanya mengutik-utik soal mutimedia, tapi juga soal komposisi saham asing di sektor telekomunikasi, yang dibatasi maksimum 49 persen. Sedangkan multimedia dipersoalkan karena beberapa alasan. Menurut Mastel, pengertian multimedia rancu dan belum terdefinisikan dengan baik dan jelas. Alasan lain, bila investasi asing dilarang masuk ke jasa multimedia, khususnya internet, dikhawatirkan akan terjadi "bedol desa" kaum pakar (brain drain) ke luar negeri. "Kita punya banyak tenaga profesional. Cuma modalnya saja yang membikin kita geregetan," kata Sukarno Abdulrachman, Ketua Umum Mastel. Apalagi, untuk bisa melenggang di pasar internasional, bisnis internet membutuhkan investasi asing yang lebih memiliki napas panjang. Keppres itu terasa melawan arus. Soalnya, sebelum keppres itu diteken, sejumlah portal internet Indonesia telah menarik investor asing untuk mengembangkan usaha. Contoh yang bisa disebut adalah Detikcom dan Astaga.com. Beberapa perusahaan multimedia juga dikabarkan sudah pasang kuda-kuda untuk meraup dana dari publik, termasuk membuka pintu untuk modal asing. Maka, wajar bila keppres itu disambut kalangan praktisi multimedia dengan muka cemberut. "Larangan itu tidak masuk akal. Era informasi global ini mengakibatkan Indonesia tidak bisa lagi menghindar dari modal asing," kata Susanto Pudjomartono, pemimpin redaksi koran berbahasa Inggris The Jakarta Post. Karena itu, sebagian orang mencurigai ada sesuatu yang tak beres di belakang kelahiran keppres itu. Kabar tak sedap yang sempat terdengar, keppres itu lahir karena "lobi" dua BUMN, Indosat dan Telkom—bersama LippoNet. Isu itu masih sumir, apalagi pihak Indosat dan Telkom membantahnya. Dugaan lain, larangan modal asing untuk multimedia itu disebabkan oleh ketakutan pemerintah terhadap banjir tayangan yang bersifat pornografis. "Saya menangkap ada ketakutan terhadap bahaya pornografi, selain tindakan untuk memproteksi pengusaha lokal. Padahal cara ini sudah bukan zamannya lagi," kata Harry, Presiden Direktur RCTI. Apa pun, beleid larangan modal asing untuk multimedia itu jelas salah musim. Laporan Hani Pudjiarti, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus