DI Eropa, biro perjalanan pernah dengan bangga mengiklankan
Beirut ibukota Libanon sebagai surga di negeri Arab. Dulu pemeo
mereka: kunjungi Beirut sebelum mati. Kemudian ungkapan itu,
terutama tujuh tahun terakhir, terbalik: kunjungi Beirut jika
ingin mati.
Gara-gara kehadiran PLO, di Libanon timbul perpecahan. Tahun
1975, perang saudara meletus. Libanon, yang dihuni tiga juta
jiwa itu, punya golongan Kristen kanan yang bermusuhan dengan
Muslim kiri, dan gerilyawan Palestina. Perang mereka mulai reda
setelah Suriah mengirim 30.000 tentara ke sana. Akibat perang
saudara ini diperkirakan 60.000 penduduk terbunuh.
Libanon, yang luasnya (10.000 km persegi) seperempat Provinsi
Jawa Barat, sebelumnya adalah negeri yang unik. Penduduknya
terbagi atas golongan yang mengikuti garis agama Islam Sunni,
Islam Syiah, Islam Druz (pecahan dari kelompok Syiah), dan
sekte-sekte Kristen. Waktu Libanon memperoleh kemerdekaan dari
Prancis, tahun 1943, kelompok Kristen merupakan
mayoritas. Perbandingannya: 6 lawan 5. Padahal sejak 1932 tak
pernah diadakan sensus penduduk.
Pemerintahan yang kemudian dibentuk pun didasarkan pada garis
kelompok agama itu. Setiap golongan mendapat jatah jabatan.
Presiden dan panglima angkatan perang harus dijabat oleh orang
Kristen. Perdana Menteri jadi jatah Muslim Sunni. Dan ketua
Parlemen adalah hak Muslim Syiah. Tahun 1976, sesudah pasukan
Suriah mengamankan Libanon, parlemen memilih Elias Sarkis
sebagai Presiden dan Selim al-Hoss untuk jabatan Perdana
Menteri.
MASUKNYA gerilyawan PLO, dan kemudian hadirnya tentara Suriah,
telah membuat orang Kristen merasa terjepit. Setelah peran
saudara, golongan Kristen yang diperkirakan tinggal 45% dari
seluruh penduduk berpaling pada Israel.
"Leher kami berada di bawah pisau," kata Camille Chamoun. Bekas
Presiden Libanon itu mengibaratkan kehadiran Suriah dan PLO bagi
mereka.
Chamoun, yang memimpin Partai Liberal Nasional (NLP), bermarkas
di Tenggara Beirut -- daerah yang juga dihuni pengikut Islam
Druz. Bentrokan kecil dari kedua kelompok itu merupakan kejadian
sehari-hari. Bahwa Chamoun melirik pada Israel itu tidak aneh.
Adalah dia pula yang dulu (tahun 1958) mengundang pasukan
Amerika Serikat untuk menyelesaikan krisis politik di dalam
negeri.
Kekuatan Chamoun yang diperkirakan sekitar 20.000 orang terkenal
anti-Suriah. Chamoun bahkan menyebut Suriah sebagai kolonialis
baru yang ingin menguasai Libanon. "Kami akan berjuang untuk
memperoleh kemerdekaan lagi," kata Danny Chamoun, pemimpin
militer NLP, yang menganggap Presiden Sarkis sebagai anak wayang
tentara pendudukan Suriah.
Selain Chamoun yang melihat Israel sebagai sandaran, juga Pierre
Gemayel, pemimpin kelompok Falangis, yang berintikan kaum
Maronit. Falangis, yang menguasai daerah sekitar Beirut dan
Tripoli, merupakan kekuatan yang punya persenjataan lengkap.
Pasukan yang dipimpin oleh Bashir Gemayel, putra sang ketua,
berkekuatan 70.000 orang, dan punya 40 tank. Lawan mereka adalah
pasukan pendudukan Suriah, PLO, dan pengikut bekas Presiden
Sulaeman Franjieh.
Kontak Gemayel dengan Israel sudah dirintis sejak Perdana
Menteri Shimon Perez (1977). Hal itu baru diketahui umum setelah
suratkabar Israel Davar, terbitan 30 Juli 1978, menurunkan
berita utama dengan judul: Bashir Gemayel tiba di Israel untuk
membicarakan soal perang. Ia dikabarkan sudah berulang kali
mengunjungi Tel Aviv. "Kami ingin berteman dengan setiap orang,"
kata Gemayel. Dia memakai alasan mencegah Israel menduduki
Libanon sebagaimana mereka menguasai sebagian Suriah dan
Yordania.
Israel pernah menyerbu ke kantung PLO di tenggara Libanon, Maret
1978, yang diakhiri begitu pasukan perdamaian PBB (ljnifil)
ditugaskan di sana. Bekas daerah kantung gerilyawan Palestina
itu diserahkannya kepada pemimpin Kristen lain Mayor Saad Haddad
--yang kemudian menyebut kawasan yang dikuasainya sebagai
Libanon Merdeka.
Haddad, 45 tahun, yang dicap pemerintahan Sarkis sebagai
pengkhianat, memang dekat sekali dengan Israel. Pengikutnya,
sekitar dua batalyon, mendapat senjata dan tank dari
pemerintahan PM Begin. Haddad sendiri dikabarkan bahkan
mengenakan seragam yang sama dengan tentara Israel. "Saya lebih
mengetahui dibanding mereka yang di Beirut (pemerintahan Sarkis)
mengenai apa yang diingini pengikut saya," kata Haddad.
Keinginan warga Libanon di kawasannya, menurut Haddad, adalah
damai dengan Israel. Tapi di pihak lain pengikut Haddad menjadi
musuh PLO Kon tak senjata gerilyawan Palestina dengan kelompok
Haddad sering terjadi.
BAGI Israel, Haddad suatu keuntungan, dan terbukti waktu mereka
menggempur basis PLO, dua pekan lalu. Berkat kerja sama Haddad,
Israel berhasil masuk ke Beirut dalam tempo pendek. Pasukan
Unifil, yang juga bertugas di tenggara Libanon, berbatasan
dengan wilayah Haddad, membiarkan saja serdadu Israel melintasi
kekuasaan mereka.
Kelompok Kristen yang juga diperhitungkan adalah grup Franjieh
-- bermarkas di Zghorta. Mereka tidak mau berkompromi dengan
grup yang seagama lainnya. Adalah pengikut Franjieh yang
menghabisi nyawa orang-orang Gemayel di sebuah gereja, empat
tahun lalu, sebagai balas dendam atas terbunuhnya Tony Franjieh,
putra sang bekas presiden. Pengikut Franjieh diduga sekitar
10.000 orang.
Sisa orang Nasrani lainnya lebih suka tidak melibatkan diri
dengan masalah politik. Mereka kebanyakan pengikut Katolik
Jakobit, Armenia, dan Nestorian.
Kekuatan di luar kelompok berbendera Kristen, dan juga
diperhitungkan dalam ajang politik Libanon, adalah Gerakan
Nasional (NM) -- gabungan kaum kiri dan grup sempalan Muslim.
Mereka pemuja Nasser, Presiden Mesir pertama. Merupakan sekutu
bagi Suriah, inti NM sekitar 2.000 orang yang bersenjata ringan
beroperasi di sekitar Beirut. NM sering terlibat kontak senjata
dengan Falangis.
Tahun 1976, kekuatan baru muncul di Libanon, yaitu Suriah yang
masuk bersama pasukan Liga Arab, untuk menjadi polisi dalam
kericuhan domestik. Walaupun kemudian keamanan pulih dan tentara
gabungan Liga Arab berangsur ditarik mundur, Suriah ngotot untuk
tetap tinggal di sana. Pasukan Suriah yang 30 batalyon itu
dipimpin oleh Jenderal Rifaat Assad -- saudara Presiden Hafez
Assad.
Basis pasukan Suriah adalah di lembah Bekaa dan Beirut. Mereka
punya 200 tank T-62, sejumlah artileri berat, dan peluru
kendali dari darat ke udara semuanya buatan Uni Soviet. Dan
merekalah kekuatan yang berdiri di belakang Sarkis.
Gerilyawan Palestina hijrah ke Libanon tahun 1970. Tak
seluruhnya bernaung di bawah payung PLO. Anggota PLO terbesar
adalah El Fatah -- organisasi basis Yasser Arafat, yang
berpangkalan di Beirut dan di tenggara Libanon, masing-masing
dengan kekuatan 2.000 dan 4.000 prajurit terlatih. Peralatan
yang mereka miliki 60 tank T-34, roket jenis Katyusha, dan
senapan AK-47. Mereka inilah yang digebrak Israel terus.
Yang juga menamakan diri gerilyawan Palestina adalah Palestine
Liberation Army (PLA) -- tak ada hubungan formal organisasi
dengan PLO. Yang satu ini berada di bawah komando Suriah, dengan
kekuatan 4.000 orang, bersenjatakan roket, mortir, serta
artileri berat lainnya. PLA beroperasi di sekitar Beirut.
Libanon, yang di tahun 1948 dan 1956, zaman bentrok fisik Arab
-lsrael dimulai, cuma memegang rol kecil. Negeri yang dulu
dipuji sebagai surga di Timur Tengah itu kini menjadi tempat
timbunan puing dan selongsong peluru. Entah kapan Libanon akan
kembali damai seperti dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini