BEIRUT terkepung sudah. Gerak maju pasukan Israel tidak
tertahankan Tapi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) rupanya
bertekad untuk bertempur terus. Seperti terdengar dari pidato
Yasser Arafat yang tetap menantang. "Mereka inginkan perang,
itulah yang mereka dapatkan. Pertempuran di Beirut baru satu
permulaan. Kota Beirut akan jadi gelanggang kematian bagi para
penyerang, bagaikan Stalingrad bagi orang-orang Arab," demikian
Arafat berapi-api dalam sebuah pidato radio (17 Juni).
Tantangan pemimpin PLO itu segera dimanfaatkan Israel, keesokan
harinya. Pasukannya bergerak dari Beirut Selatan ke Beirut
Timur. Manuver itu selanjutnya menusuk ke "garis hijau" yang
memisahkan Beirut Timur yang Kristen dan Beirut Barat yang
Islam.
Kubu gerilyawan Palestina yang terkuat di Beirut Barat kemudian
direbut Israel, sementara serangan artilerinya dilancarkan
terhadap kubu-kubu PLO yang lain. Roket-roket Katyusha PLO
disambut oleh tembakan-tembakan kapal perang Israel. Pengeboman
Israel yang banyak menjatuhkan korban di kalangan penduduk sipil
Beirut itu akhirnya dihentikan oleh sebuah gencatan senjata
terbatas 48 jam untuk seluruh Libanon.
Gencatan senjata itu semestinya berakhir Senin lalu. Ternyata
PLO belum mau menghentikan perlawanannya. Israel menjanjikan
pasukannya tidak akan melepaskan tembakan ke kubu-kubu
gerilyawan Palestina yang terkepung, kecuali bila diserang lebih
dulu. Kelonggaran ini antara lain dimaksudkan agar duta khusus
Amerika Philip Tabib memperoleh kesempatan lebih luas untuk
berunding dan kalau bisa "melunakkan" PLO.
Sasaran Israel jelas: perlucutan senjata semua gerilyawan
Palestina di seantero Libanon. Menteri Pertahanan Israel Ariel
Sharon, menandaskan bahwa tujuan penyerbuan Israel belum dapat
di katakan berhasil selama gerilyawan Palestina masih bertahan
terus di kubu-kubu mereka.
Philip Habib dikabarkan memikirkan satu upaya lain, misalnya
menentukan keadaan darurat perang, agar pihak militer Libanon
mendapat peluang untuk berperan. Mereka diharapkan memisahkan
kekuatan PLO dan Israel di sana. Tapi Yasser Arafat dari tempat
persembunyiannya berpesan kepada Sekjen PBB agar satu komisi
internasional tingkat tinggi segera dikirim ke Libanon khusus
menyelidiki kejahatan Israel.
Kejahatan yang dikatakan Arafat itu sebaliknya bagi Israel
adalah upaya yang "sah" untuk menciptakan batas-batas aman bagi
kelangsungan hidup negara itu. Tapi bila ditinjau
pelaksanaannya, upaya tersebut lebih mirip pembantaian yang
tidak kenal rasa kasihan. Buktinya, pengeboman Israel melabrak
dinding-dinding apartemen di Beirut, dan nampak seorang lelaki
berkebangsaan Libanon menjerit histeris, "Kita ini benar-benar
binatang, binatang! " Ia berdiri di antara puing-puing
reruntuhan. "Kita cuma bisa saling bunuh!" umpatnya lagi.
Kemudian lelaki itu dalam gerak lemah-lembut memungut sepenggal
daging manusia, menguburkannya diam-diam, tanpa air mata.
Selama 2 pekan penyerbuan Israel yang dahsyat itu diperkirakan
paling sedikit 10.000 orang Palestina dan Libanon yang tewas dan
luka-luka. Di Kota Sidon saja, menurut sumber Palang Merah, 1500
orang tewas. Lebih dari 100 prajurit Israel tewas di samping 600
orang luka-luka. Pihak Suriah tidak memastikan berapa korban
jatuh di pihak mereka, sejak pesawat tempur Israel F-15 dan F-16
yang gesit dan sengit itu menghantam gugusan peluru kendali di
Lembah Bekaa. Seorang jurubicara Palestina mengatakan, "Saya
lihat posisi mereka di daerah perbukitan itu. Mereka dihajar
habis-habisan."
Suriah menderita kerugian besar dan segera menyetujui gencatan
senjata terpisah dengan Israel pada hari ketiga, 9 Juni. Menurut
sumber Israel, seluruh gugusan peluru kendali Suriah sudah
dihancurkan, berikut 29 MiG yang rontok dalam duel paling seru
sepanjang sejarah pergolakan Timur Tengah. Tapi Suriah mengakui
hanya 16 pesawatnya hilang, sementara berhasil melumpuhkan 16
pesawat musuh, satu hal yang dibantah keras oleh Israel.
Dalam gencatan senjata terpisah itu, bukan tidak terjadi
tembak-menembak antara pasukan-pasukan mereka. Bahkan Suriah
menggunakan kesempatan itu untuk menambah kekuatan pasukannya.
Pertempuran tampaknya akan berlanjut. Ariel Sharon, Menteri
Pertahanan Israel, memperhitungkan gerilyawan Palestina masih
berkekuatan sebanyak 20.000 orang. Mungkin karena itu Menlu
Israel Yitzak Shamir menandaskan, "Saya tidak yakin akan ada
pengunduran tentara Israel dari wilayah Libanon, setidaknya
sebelum tercapai prinsip penyelesaian dan kami mencapai tujuan
kami." PM Israel Menachem Begin, yang berada di New York pekan
silam, menegaskan hal yang sama. Dalam satu pidato dia berkata:
"Pasukan Israel tidak akan meninggalkan Libanon sampai sebuah
zona bebas militer yang layak tercipta antara kedua negara."
Menurut Begin, zona itu semestinya membentang sepanjang 27
sampai 30 mil (43,2 sampai 48 km) di utara perbatasan Israel.
Jarak ini diajukannya sebagai syarat utama untuk menjamin
keamanan Israel.
Dalam sidang Majelis Ilmum PBB pekan silam, Begin antara lain
mengusulkan 3 langkah pendekatan ke arah kontrol persenjataan
strategis di Timur Tengah. Dikatakannya Israel bersedia mengikat
perjanjian semacam itu dengan tetangga mana saja di kawasan itu.
Usul Begin ini mengisyaratkan -- demikian analisa sumber
intelijen Barat -- bahwa Israel memiliki senjata nuklir atau
punya kemampuan untuk membuatnya.
Namun Begin dalam pidatonya menghimbau seteru-seteru Arab-nya
dengan kata-kata merdu: "Mari kita bertemu, mari kita berjabat
tangan, merundingkan perdamaian, mempersiapkan persetujuan, dan
kita semua akan mengubah jalan sejarah bagi bangsa-bangsa kita."
Sebelum Begin naik mimbar PBB itu, ternyata utusan negara-negara
Arab dan Afrika meninggalkan tempat duduk mereka. Delegasi Uni
Soviet dan sekutu Blok Timur-nya kecuali Rumania memboikot
sidang khusus tentang soal persenjataan itu. Dalam pidatonya
Begin menggambarkan serangan Israel sebagai usaha pertahanan
untuk melindungi wilayah Israel Utara dari roket-roket
Palestina.
Selanjutnya dalam sebuah wawancara televisi Ameriha Begin bahkan
berkata bahwa Libanon telah menjadi gudang senjata Uni Soviet
untuk seluruh Timur Tengah. Diperlukan 10 gerobak raksasa yang
bekerja siang malam selama 6 minggu berturut-turut hanya untuk
mengangkut semua senjata itu ke Israel, katanya.
Acara Begin yang tidak kurang penting di AS ialah pertemuan
dengan Presiden Ronald Reagan di Gedung Putih. Diduga Reagan
Senin lalu memberi tekanan agak keras pada Begin, khususnya yang
menyangkut Libanon. Sesudah babakbelur karena perang saudara
antara penduduknya yang Muslim dan Kristen (tahun I975-76),
Libanon kemudian secara tidak berdaya membiarkan pasukan Suriah
bercokol di sebagian wilayahnya.
Dengan alasan untuk mencegah meluasnya perang antara penganut
Islam dan Kristen di Libanon, Suriah leluasa menempatkan 30.000
pasukannya di sana. Suriah, yang terpaksa melepaskan dataran
tinggi Golan kepada Israel akibat kalah Perang Juni '67,
kemudian memasang peluru-peluru kendali SAM-6 buatan Soviet di
Lembah Bekaa, Libanon.
Dengan aksi militer Israel akhir-akhir ini semua peluru kendali
milik Suriah tersebut sudah hancur. Hingga Ariel Sharon dengan
puas berkomentar, "Inilah titik balik dalam serangan kita."
Tapi bagi Israel ternyata tidaklah mudah membasmi PLO. Kubu-kubu
pertahanan PLO melancarkan perlawanan di Tyre, Sidon dan Damur,
ketika barisan tank Israel bergerak menuju Beirut. Dan kini
gerilyawan Palestina yang bermarkas di Beirut Barat bersumpah
mereka tak akan menyerah. "Kami akan bertempur dari jalan ke
jalan, dari rumah ke rumah," cetus jurubicara PLO Bassam Abu
Sherif.
Mendengar Israel akan melucuti senjata PLO, Salah Khalaf alias
Abu Iyad, seorang pemimpin PLO, menolak keras perlucutan dalam
bentuk apa pun, meski itu dimaksudkan sebagai imbalan bagi PLO
untuk ikut berperan dalam perundingan otonomi di Tepi Barat dan
Jalur Gaza. "Kami bukan kelompok iring-iringan domba yang bisa
dipindah-pindahkan begitu saja," tukas Iyad lewat siaran radio
"Suara Arab Libanon."
Sementara itu ketua misi PLO di Cina, Tayeb Mahmoud, mengecam
Suriah yang, katanya, "menikam Palestina dan pasukan Libanon
dari belakang." Presiden Hafez Assad dituduh berkhianat karena
pasukannya mundur dan membiarkan Israel menyerbu Libanon dan
mengepung Beirut.
Yasser Arafat dalam sebuah wawancara harian Jerman Frankfurter
Rundschau mengatakan 2/3 dari kekuatan organisasinya masih utuh.
Arafat yang juga terkurung di Beirut Barat bersama 6. 000
pasukan PLO rupanya berusaha keras mempertahankan moril anak
buahnya. Kubu-kubu PLO berada dalam posisi rawan, terkurung dan
terjepit dari segala arah, bukan saja oleh tentara Israel tapi
juga oleh pasukan Falangis (Kristen) Libanon. Falangis membantu
serangan kilat Israel.
Ada 6.000 gerilyawan Palestina tertangkap ketika Israel menumpas
kubu-kubu mereka di Libanon Selatan. Di antara para tahanan itu
menurut Mayjen Moshe Nativ, terdapat pula orang Austria,
Bangladesh, Kuwait, Irak, Yaman Selatan, Pakistan, Nigeria,
Aljazair, Libya, Arab Saudi, Sri Lanka, Iran, Somalia dan Mali.
Walikota-walikota Arab baik di Tepi Barat Sungai Yordan dan
Jalur Gaza (kedua wilayah yang diduduki Israel sejak Perang 6
hari, Juni 1967) tetap mengakui PLO sebagai satu-satunya
organisasi yang mewakili rakyat Palestina. Meskipun begitu, PLO
terpojok sendiri. Yordania, semua negara Arab, bahkan Irak,
tidak menunjukkan kesetia-kawanan yang berarti.
Muammar Ghaddafi memang ada menyerukan supaya diadakan KTT Liga
Arab, sementara Soviet mengirimkan 5 kapal perangnya dari Laut
Hitam ke Laut Tengah, Cina mengirimkan bantuan US$ 1 juta. Tapi
cuma Iran, yang bukan Arab, sanggup mengirimkan beberapa ratus
sukarelawan yang sekarang berada di Libanon pendudukan Suriah
dan Beirut Barat tidak banyak lagi agaknya yang dapat dilakukan
Arafat, kecuali menunggu hari-hari terakhir yang berat, seorang
diri. Masalahnya kini ialah apakah ia akan mengakui Israel dan
bersedia membawa Arab Palestina hidup berdampingan dalam damai
bersama seteru turun-temurun. Mungkin pertimbangan Arafat belum
sejauh itu, mungkin baru terbatas pada perdamaian untuk Libanon
seperti yang sudah diusulkan oleh bekas PM Libanon Saeb Salam
kepadanya Ahad lalu.
Andaikata PLO bersedia memisahkan kepentingan mereka dan
kepentingan Libanon, besar kemungkinan rakyat negeri ini punya
peluang untuk terlepas dari keadaan runyam sejak 7 tahun silam.
Tapi ini baru harapan samar-samar.
Raja Fahd dari Arab Saudi memang memberikan bantuan darurat bagi
penduduk sipil Libanon 20 milyar real= Rp 3.640 juta. Kuwait dan
Persatuan Emirat Arab melakukan hal yang sama. Namun akibat
serangan Israel belum jelas akan menghentikan permusuhan di
Libanon. Presiden Elias Sarkis berusaha ke arah itu, tapi jelas
ia harus menunggu. Sementara itu, PBB memperpanjang penempatan
pasukan Unifil untuk 6 bulan lagi.
Tapi apa yang dapat Unifil lakukan untuk Libanon? Pasukan
berbaret biru itu dinilai seorang diplomat Barat agak lemah.
"Sekarang Unifil menderita pukulan berat," katanya sesudah
pasukan itu menonton saja terobosan tentara Israel.
Tanpa atau dengan Unifil, Libanon dengan kantung-kantung
gerilyawan Palestina yang tersebar dari selatan sampai Beirut,
diduga masih akan menjadi sebuah periuk mendidih di Timur
Tengah. Sejak tahun 1970, ketika Yordan menggencet orang-orang
Palestina, PLO bersarang di Libanon. Dengan bantuan persenjataan
Soviet dan uang Libya, PLO memperkuat diri di Libanon, sambil
menembaki penduduk sipil Israel di seberang perbatasan negeri
itu. Ariel Sharon sudah sejak lama berniat membasmi basis,
senjata dan peralatan PLO, tapi dia baru mendapat peluang
sesudah dubes Israel di London, Shlomo Argov, tertembak (3
Juni).
Sekarang perimbangan kekuatan sudah berubah. Apakah kini terbuka
jalan bagi Begin, seperti katanya, "merubah jalan sejarah
bangsa-bangsa?" Apa yang diutarakannya di forum PBB pekan lalu,
mengingatkan orang pada gagasan Israel Raya, kebangkitan Yudea
dan Samaria yang, katanya, membentang dari sisi Sungai Nil
sampai Sungai Tighris dan Euphrat di Irak. Gagasan yang
bernapaskan semangat Zionis yang terlalu kentara ini, toh tidak
mendapatkan bumi yang subur di kalangan para pemimpin Israel.
Tokoh-tokoh seperti Simon Peres, Bar Lev, Mordechai Gur bahkan
Yitzak Shamir, mungkin lebih realistis.
Israel, menurut seorang pengamat, adalah super power di Timur
Tengah dalam bidang militer, tapi soal Arab Palestina jelas
sejak lama tidak bisa diselesaikan secara militer. Serangan
Israel ke Libanon lantas diduga akan memberi peluang ke arah
penyelesaian Arab Palestina?
Persetujuan Camp David September 1978 antara lain menyebutkan
bahwa akan dibentuk pemerintahan sendiri yang berotonomi lewat
pemilihan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Disebut juga penarikan
mundur tentara Israel dan sesudahnya akan ada perundingan antara
Israel, Mesir, AS dan rakyat di wilayah yang dipersengketakan,
tentang status akhir Tepi Barat dan Jalur Gaza. Tapi konsep ini
terutama yang menyangkut Tepi Barat, dianggap sudah tidak cocok
untuk menjamin keamanan wilayah Issrael kini. Otonomi, menurut
Begin, akan diberikan dalam bidang administrasi, perpajakan,
pendidikan dengan catatan segala sesuatu yang menyangkut
pertahanan-keamanan sepenuhnya berada di tangan Israel (TEMPO
31 Oktober 1981).
Rakyat Palestina sungguh mengalami mimpi buruk tentang tanah-air
yang dirindukan. Tapi banyak pengamat meramalkan bahwa dalam
keadaan yang paling buruk pun Arab Palestina akan bertahan.
Sampai sekali waktu nanti mereka bangkit kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini