Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

"teroris" tetap di barak

Riwayat hidup qadhafi. sukses menggulingkan raja idris. didasari islam sanusiniyah & panatisme abdul nasser ia membentuk negara sosialis dengan semangat quran. gagasannya sering membuat konflik.

18 Januari 1986 | 00.00 WIB

"teroris" tetap di barak
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TAK terbayangkan ketika Muammar Qadhafi menggulingkan Raja Idris, I September 1969, kelak namanya akan menggetarkan nyali banyak kepala negara, termasuk Presiden Ronald Reagan. Apalagi, ketika itu, kapten satuan sandi angkatan darat Libya yang baru berusia 27 tahun tersebut taat betul mengikuti jejak idolanya: Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser. Qadhafi juga tak menampakkan diri secara langsung sebagai pemegang kekuasaan. Ia, dengan menunjuk orang lain sebagai perdana menteri, bermain di belakang layar, persis seperti yang dilakukan Nasser ketika menggulingkan Raja Farouk. Memang, kegandrungan terhadap nasionalisme Arab yang dicanangkan Nasser berakar kuat pada Qadhafi. Konon, sejak berusia 14 tahun, ia sudah menggerakkan demonstrasi pro Nasser dan anti Israel di Libya. Suatu hal yang bukan luar biasa, memang, jika mengingat latar belakang keluarga Qadhafi yang antikolonial. Salah seorang kakeknya tewas di tangan pemerintah kolonial Italia, sedangkan ayah dan pamannya sempat dipenjarakan kaum penjajah. Praktis masa kecil Qadhafi bukan dilewatinya dengan dongeng-dongeng sebelum tidur dari Christian Andersen, tetapi dengan kisah-kisah kekejaman kolonial. Jadi, wajar kalau cita-cita memerdekakan Libya tumbuh subur dalam dada Qadhafi muda. Semangat keislamannya yang diwarnai aliran Sanusiniyah membentuk prasangka anti Barat dalam benaknya. Tak heran jika ia, pada usia 17 tahun, sudah membentuk kelompok rahasia yang bertujuan mendongkel kekuasaan Raja Idris, yang dianggapnya boneka Inggris belaka. Kudeta dilakukan Qadhafi pada waktu yang tepat. Ketika Raja Idris, dengan bantuan Inggris, berhasil menjadi penguasa Libya pada 1951, ia memerintah negara yang miskin. Pembagian rezeki yang timpang, dan suburnya korupsi di kalangan pejabat, segera menyulut api ketidakpuasan. Idris, yang menopangkan kekuasaan berdasarkan perimbangan berbagai kekuatan, tak dapat berbuat banyak mengatasi itu. Wajar kalau rakyat pun menyambut kudeta tak berdarah Qadhafi dengan gegap gempita. Harapan rakyat pada rezim baru bukan tanpa alasan. Sebab, para pejabat yang korup segera dipecat, standar gaji minimal dinaikkan, dan proyek-proyek kepentingan umum diprioritaskan. Tapi, bukan berarti pemerintahan Qadhafi berjalan mulus. Sekalipun begitu kudeta berhasil, ia segera membentuk Dewan Komando Revolusi (DKR) yang beranggotakan 12 orang, dan menunjuk pengacara muda Mahmoud Soliman alMaghrebi sebagai perdana menteri, toh ada juga yang tak puas dengan perwira muda sandi itu. Qadhafi, yang menaikkan pangkatnya menjadi kolonel, dan mengambil jabatan Panglima Angkatan Bersenjata, segera diuji rekannya sendiri. Pemerintahan Maghrebi, yang baru berumur tiga bulan, dicoba digulingkan. Dan, Qadhafi berhasil mematahkan percobaan kudeta yang dilancarkan menteri dalam negeri dan menteri pertahanan yang diangkat DKR. Setelah mengadili para pembangkang Qadhafi mengambil alih jabatan perdana menteri, dan membentuk kabinet baru beranggotakan 12 orang. Posisi strategis dalam kabinet diserahkan Qadhafi kepada empat anggota DKR yang merupakan sekutu terpercayanya. Dengan begitu, ia merasa cukup kuat untuk segera melaksanakan cita-citanya: mengusir kekuatan asing dari negerinya. Dalam tempo enam bulan, Inggris dan AS hengkang dari pangkalan mereka. Padahal, pangkalan Wheelus merupakan pangkalan militer AS kedua terbesar di luar negeri, setelah pangkalan Subic di Filipina. Tak lama kemudian, Qadhafi menyita harta kaum Yahudi, dan mengusirnya. Sekitar 20 ribu warga Italia. waktu itu, ikut pulang kampung. Usaha Rusia merangkul Libya pun ditanggapinya dengan dingin. Bahkan ketika hubungan kedua negara ini mencapai puncak keakrabannya. Brezhnev tetap mengakui, "Negara kita memang memiliki banyak perbedaan." Qadhafi kemudian mengumumkan Republik Arab Libya sebagai negara nonblok, sosialis, antirasialisme dan segala bentuk kolonialisme, serta berpegang pada semangat Quran. Maka segala bentuk maksiat, seperti klub malam, kasino, rumah bordil, dan bar ditutup. Qadhafi, yang dikenal sebagal manusia puritan, memang menjauhi alkohol, kemewahan, dan petualangan berahi. Sikap itu, konon, buah dari masa kecil Qadhafi yang penuh keprihatinan. Hanya karena melihat kecerdasannya yang menonjol, maka orangtua Qadhafi, yang papa, habis-habisan berupaya membiayai sekolah anaknya ini. Dan, Qadhafi tak mengecewakan pengorbanan itu. Di sekolah dasar agama di desa kelahirannya, Sirte, ia beberapa kali lompat kelas. Prestasinya di sekolah lanjutan menyebabkan ia bisa diterima di Akademi Militer. Lulus sebagai perwira pada 1965, ia segera dikirim ke Inggris untuk pendidikan telekomunikasi. Selama pendidikan, ia dikenal tak suka meninggalkan asrama, karena menganggap kehidupan kota dekaden dan tak layak dihampiri. Maka, begitu pendidikan selesai, ia langsung berangkat ke lapangan udara dan pulang kampung. "Mana ada orang yang lebih baik dari anak muda si Muammar ini yang bukan main khusyuknya beribadat?" puji Raja Faisal dari Saudi suatu saat. Kendati kelihatan kaku, Qadhafi bukan pemurung. Hanya saja, caranya bergembira tak penuh dengan hura-hura. Ia menghabiskan waktu senggangnya dengan menunggang kuda, mendengarkan musik klasik, terutama karya Beethoven, dan membaca. Dari bacaan favoritnya, Uncle Tom's Cabin (Harriet Becham Stowe), Roots (Alex Haley), dan The Outsider (Colin Wilson), dapat ditebak bagaimana pandangannya tentang kehidupan Barat. Keluhannya terhadap segala jenis budaya Barat diduga merupakan cerminan luka bangsanya, yang selama ratusan tahun dijajah berbagai bangsa itu. "Andalah, Barat, yang harus dipersalahkan. Bahkan sejak seribu tahun silam Anda telah membantai kami. Juga kemarin dan sekarang!" kata Qadhafi menjawab pertanyaan wartawati beken Oriana Fallaci, 1979, tentang revolusi. Maka, Qadhafi mencoba menyatukan negara-negara Arab di bawah satu panji. Usaha persatuan diawali Qadhafi dengan sukses, ketika Libya, Mesir, dan Sudan sepakat membentuk federasi pada 1970. Bahkan Syria kemudian menyatakan kesediaannya bergabung. Wafatnya Nasser, ditambah perbedaan pendapat yang kompleks dari keempat negara itu, membuat gagasan persatuan dari Qadhafi berantakan. Kendati demikian, Qadhafi tetap sulit melepaskan kekagumannya pada buah pikiran Nasser. Ia kemudian membentuk institusi Uni Sosialis Arab (USA) sebagai pelengkap DKR, yang merupakan model jiplakan dari ide Nasser. Ternyata, eksperimen itu gagal, dan kepercayaan Qadhafi kepada bentuk perwakilan dalam sistem negara pun mengalami krisis. Sementara itu, petualangannya dalam sengketa sesama negara Arab menyebabkan ia semakin dikucilkan dan dicurigai. Pertikaiannya dengan Mesir menyebabkan Anwar Sadat pernah menyebut Qadhafi "100 persen gila". Gaya berhadapan langsung dengan rakyat ternyata mengena di hati Qadhafi, yang tak pernah tercabut dari akar Baduinya. Buktinya, ia melanjutkannya dengan revolusi kebudayaan, yang menghapuskan sistem perwakilan dalam kenegaraan. Sistem ini, dalam buku hijau Jamahiriya disebut merupakan jawabannya untuk mengatasi persoalan teknis dalam melaksanakan sistem demokrasi lansunng. Dalam sistem ini, semua keputusan negara diambil dalam musyawarah-musyawarah kecil di tingkat desa. Dan, mereka, yang semuanya dianggap sederajat, kemudian memilih pimpinan musyawarah untuk menyampaikan putusan ke tingkat yang lebih tinggi - dalam hal ini mereka bukan mewakili, melainkan sekadar menyampaikan keputusan rakyat. Para menteri wajib melaksanakan keputusan musyawarah tertinggi itu, dan bertanggung jawab kepada Jamahariya. Secara teoretis, dengan sistem ini, kedudukan Qadhafi sama seperti rakyat biasa. Tapi, dalam praktek, siapa yang berkharisma akan berkuasa. Dan Qadhafi punya segudang kharisma. Cara ini, yang mirip seperti gaya kaum Badui, tentu punya pendukung dan penentang. Para penentang, kebanyakan kaum intelektual, menuduh sistem ini memperkuat kekuasaan Qadhafi sebagai diktator. Menurut mereka, keputusan musyawarah ternyata hanya menampung keinginan orang-orang yang lihai berbicara, karena sebagian besar peserta musyawarah tak mengerti masalah yang dibicarakan. Misalnya, dalam mencapai kesepakatan penentuan pendirian sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir, yang punya dampak lingkungan sangat kompleks. Kaum intelektual itu, yang menentang kebijaksanaan Qadhafi tentunya, dikategorikan sang kolonel sebagai pembangkang. Dan, Qadhafi bertindak keras terhadap mereka. Lebih dari 50.000 "pembangkang" Libya hengkang ke luar negeri, sekitar 30.000 di antaranya bermukim di Irggris, dan tetap dikejar-kejar kaki tangan Qadhafi. Insiden penembakan di London oleh diplomat Libya, April 1984, dan serangkaian pembunuhan kaum pembangkang di berbagai negara sebelumnya, menunjukkan bagaimana Qadhafi membungkam oposisi. Inilah awal mulanya Reagan menyebut Qadhafi sebagai ,"teroris". BHM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus