TUDUHAN Presiden Reagan pada Muammar Qadhafi sebagai teroris di bandar udara Roma dan Wina tidak berdasar. Yang mendalangi serangan serempak itu bukanlah Qadhafi, tapi Presiden Syria Hafez Assad. Mengapa Assad? Mendagri Italia Oscar Luigi Scalfaro memastikan, pekan lalu, bahwa gerilyawan Palestina yang beraksi di Roma dan Wina bukan dilatih di Libya, melainkan di Lembah Bekaa, wilayah Libanon, yang sudah lama diduduki tentara Syria. Kemudian keempat gerilvawan memasuki Italia. Lewat Trieste. Yugoslavia. Dalam bentrok senjata tiga orang tewas, kecuali Mohammed Sarham, yang hanya luka ringan. Sarham inilah yang untuk pertama kali menghubungkan gerakannya dengan Abu Nidal, tokoh misterius, bekas anggota Al-Fatah, yang kemudian membentuk Dewan Revolusioner Fatah. Tidak jelas bagaimana Reagan bisa menuding Libya. "Kami tahu lokasi kamp dan tempat latihan mereka," kata Presiden AS itu. "Ada bukti-bukti," ujarnya mantap, persis seperti lima tahun silam, ketika Reagan menuduh Qadhafi mendalangi tim penembak yang, katanya, ditugasi membunuh dirinya di Gedung Putih. Mendagri Austria Karl Blecha, yang dikutip Washington Post, juga menyatakan tidak ada keterkaitan Libya dengan aksi bersenjata di Roma dan Wina. Kata Blecha, gerilyawan berangkat dari Damaskus dengan paspor Marokko, lalu dalam perjalanan ke Wina menggantinya dengan paspor Tunisia. Menanggapi Scarfello dan Blecha, Robert Oakley, pejabat antiteroris pada Deplu AS, berkomentar bahwa sanksi ekonomi bisa saja diberlakukan atas Syria, kelak. "Tapi rencana belum ada, karena bukti juga belum ada," kata Oakley lebih lanjut. Para pejabat Syria tentu saja terperanjat dan merasa tidak senang. "Apa pun yang kami lakukan, kami tidak berada di bawah perintah Reagan," ujar seorang pembantu dekat Hafez Assad. "Kami membantu AS menyelamatkan warganya yang diculik, tapi Anda (maksudnya: Reagan) terus saja menyebarkan spekulasi dan kabar bohong. Lalu, apa lagi yang bisa kami harapkan dari Anda?" Secara resmi Syria mengaku tidak membantu Abu Nidal. Tapi ada pejabat Syria menyatakan, anak buah Nidal mungkin sekaii banyak yang bermukim di Syria. Bahkan seorang duta sebuah negara Barat memastikan Nidal punya dua apartemen di pusat Kota Damaskus. Kalau benar, tentu hubungan Nidal dengan Syria, yang dulunya putus, kini dibina lagi. Boleh jadi, Presiden Assad memerlukan tenaga algojo seperti Nidal untuk tugas-tugas tertentu yang tidak bisa dikerjakan orang lain. Bukankah Nidal terkenal dengan daftar mautnya? Sebuah sumber lain meragukan Abu Nidal mengatur serangan dari Syria. Ia yakin tokoh sempalan Dewan Revolusioner Palestina ini berada di Libya. Betulkah? Harian Al-Wihda di Abu Dhabi, yang berhasil mewawancarai Abu Nidal, sesuai dengan perjanjian mereka, tak menyebutkan tempat tokoh itu memberikan keterangan persnya, dan juga tak mengeluarkan potret terakhirnya. Tapi Abu Nidal, yang ditemui Al-Wihda Rabu pekan lalu, mengakui dirinya bertanggung jawab atas serangan di Roma dan Wina. "Serangan itu memang tugas kami . . . masih ada gerilyawan lainnya tersebar di Brussels, Madrid, beberapa kota." Dengan Qadhafi, Nidal mengaku punya hubungan erat. Katanya, pemimpin Libya itu suka menolong, jujur, tanpa mengungkit-ungkit sifat hubungan mereka. Ia kemudian lebih banyak mengungkapkan dirinya sendiri. Dengan bangga bapak "teroris" Palestina ini mengaku punya delapan paspor dengan delapan nama, yang dikeluarkan oleh berbagai negara Arab dan Afrika. Abu Nidal bercerita, ketika Reagan memerintahkan untuk memburunya, ia sedang melakukan kunjungan pribadi di negeri Paman Sam itu. Bagaimana gerilyawan Palestina mengenali tokoh dengan sejumlah samaran itu? Untuk identifikasi Abu Nidal cukup menunjukkan luka bekas operasi jantung di AS, sembilan tahun lampau. "Waktu itu, saya memakai nama keluarga Arab terkenal, dan, tentu saja. dengan paspor palsu," katanya. Bagaimana Abu Nidal bisa lolos ke mana-mana tanpa dikenali? Ia, selain penyamarannya rapi, mengaku menjalani operasi bedah plastik di Italia, beberapa bulan lalu. Dan, ia kini menjadi orang "asing". Bahkan anak dan istrinya tak lagi mengenali wajahnya. "Mereka mengenali saya lewat suara," katanya. Dibandingkan dengan Abu Abbas, ia lebih misterius dan lebih profesional. Dewan Revolusioner Fatah yang dipimpinnya menjalin kerja sama dengan sel-sel komunis di Belgia. organisasi separatis Basque Eta di Spanyol, Brigade Merah di Jerman Barat, dan IRA di Irlandia. Harian Christian Science Monitor memperingatkan agar kasus Qadhafi jangan menyita minat pemerintah AS, karena perhatian itu seharusnya diberikan pada perdamaian Timur Tengah. John Lofton dari Washington Times bertanya, "Mengapa Libya, negara kecil itu, yang mesti dikucilkan, bukan Soviet yang membunuh ribuan anak Afghanistan?" Tanpa keterlibatan Palestina, sengketa AS-Libya sebenarnya sudah dimulai tahun 1980, ketika AS menarik semua diplomatnya dari Tripoli sebagai protes terhadap teror yang dilancarkan Qadhafi membasmi lawan-lawan politiknya. Paling sedikit sudah 12 orang oposan terbunuh oleh tim penembak jitu Libya waktu itu. Tidak ketinggalan pemerintah dan media massa di AS gembar-gembor tentang sebuah hit team dari Qadhafi yang kabarnya akan menembak Reagan, tapi terbukti omong kosong belaka. Tak urung julukan "teroris atau barbar" tetap lekat pada Qadhafi, hingga hubungan diplomatik benar-benar putus Mei 1981. Peristiwa penembakan dua pesawat Libya, Sukhoi SU-22, oleh Tomcat milik AS di atas Teluk Sidra, Agustus 1981, merupakan puncak pertikaian, dan waktu itulah Qadhafi untuk pertama kali bicara tentang kemungkinan pecahnya Perang Dunia III. Peristiwa penembakan terhadap demonstran Libya dari Biro Rakyat di London menandai terputusnya hubungan diplomatik Libya-Inggris, pada 1984. Pada tahun yang sama orang Ikhwanul Muslimin, yang mendapat latihan militer di Sudan, mencoba melancarkan kudeta terhadap Qadhafi, tapi dapat digagalkan. Kendati hubungan AS--Libya putus, dengan bantuan bekas agen CIA (dinas rahasia AS) Franke Terpill, Qadhafi berusaha lagi membina persahabatan, yang ternyata tidak diacuhkan Washington. Bahkan karena kolonel itu sibuk memburu nyawa oposannya di seantero Eropa dan Amerika, terorisme Qadhafi sempat diidentikkan dengan perbuatan Carlos dari Brigade Merah. Apakah AS dan Libya sulit sekali menjalin kembali persahabatan lama, padahal CIA dulu pernah ikut membantu Tripoli? Masalahnya, menurut Qadhafi, terletak pada strategi AS yang bersikap anti Libya, dan tiap kali menanamkan kesan bahwa Qadhafi itu adalah dewa pelindung kaum teroris, seperti yang pernah digembar-gemborkan Alexander Haig, bekas Menlu AS. Tidak heran kalau seorang tokoh minyak menyesalkan sikap ini. "Andai kata pemerintahan Reagan bisa luwes dan berusaha hidup berdampingan dengan tokoh Dunia Ketiga seperti Qadhafi, maka pemimpin Libya itu tentu akan mau bersahabat?" Dan ini sudah dibuktikannya Ahad lalu, ketika ia menitipkan undangan kepada Presiden Reagan. Masalahnya sekarang, kalau Qadhafi sudah mengajak berdamai, mengapa Reagan harus tetap menolak. Isma Sawitri Laporan P. Nasution (Washington), Ekram Attamimi (Kuala Lumpur).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini