Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari Qadhafi, Kejutan Untuk Reagan Membidik Qadhafi

Buntut tragedi el al, Reagan mengutuk Libya & melancarkan sanksi ekomoni. Libya tidak terpancing & berbalik mengundang Reagan dengan ramah. Sebaliknya AS terkucil karena tidak mendapat dukungan barat.

18 Januari 1986 | 00.00 WIB

Dari Qadhafi, Kejutan Untuk Reagan  Membidik Qadhafi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BAGI Presiden Ronald Reagan tokoh paling berbahaya di dunia bukan Ayatullah Khomeini, Daniel Ortega, atau Michael Gorbachev, tapi Muammar Qadhafi. Selama lima tahun terakhir, dengan segala cara dan daya, Reagan berusaha menggulung pemimpin Libya yang alot, banyak akal, dan banyak bicara itu. Ternyata, sampai sekarang ia belum berhasil. Seruan Reagan agar sekutunya di Eropa Barat beramai-ramai melancarkan sanksi ekonomi terhadap Libya juga tidak dihiraukan. Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl menolak dengan alasan "tidak efektif", sedangkan PM Inggris Margaret Thatcher berpendapat, "sanksi seperti itu bisa menimbulkan khaos, karena melanggar hukum internasional." Masyarakat dunia kini bisa menyaksikan bagaimana Presiden AS yang dijuluki Ronbo itu (gabungan Ron dan Rambo) tiba-tiba terkucil sendiri. Ia tak ubahnya seorang paria, bernasib lebih malang dibandingkan Qadhafi, tokoh yang menurut Reagan justru pantas menjadi paria. Mengapa situasi begitu cepat berbalik, dan senjata makan tuan? Mungkin hanya Qadhafi yang tahu jawabnya. Dan, di luar dugaan, pemimpin Libya itU, lewat lima wartawati, menitipkan undangan ramah kepada Presiden AS, Ahad baru lalu. Ia berharap Reagan dapat berkunjung ke kemahnya di Tripoli, untuk membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa tuan rumah bukanlah teroris, seperti yang dituduhkan kepala negara AS itu. Washington belum menjawab undangan ini. Tapi Qadhafi menyatakan keyakinannya bahwa kalau Reagan datang, pastilah ia berubah pendapat. Mengapa? "Reagan dapat melihat bahwa saya tidak hidup dengan granat di tangan dan pistol di pinggang," ujar Qadhafi, yang sebelum ini selalu dicerca AS sebagai barbar, teroris, orang paling berbahaya di muka bumi. Tuduhan itu sudah bergema sejak 1980, ketika AS menarik semua diplomatnya dari Tripoli, dan selalu diulang lagi dengan penuh rasa benci. Dua pekan lalu, bersama-sama Israel, Amerika dengan gencar kembali menuding Libya "teroris", tak lain karena, menurut mereka, Qadhafi mendalangi serangan gerilyawan Palestina di bandar udara Roma dan Wina, 27 Desember silam. Tak ayal lagi Reagan sesumbar supaya Qadhafi dikucilkan dari pergaulan dunia, sementara Senator Howard Mentzebaum malah menuntut agar pemimpin Libya itu dihabisi saja. Mengapa Reagan begitu berang? Sebab, yang diserang adalah perusahaan Israel El Al, juga karena dari 19 korban jiwa, lima di antaranya warga Amerika, termasuk gadis kecil berusia 12 tahun. Tanpa buang waktu kapal induk Sea Coral dengan Armada VI bergerak menuju perairan Libya. Tapi sebelum apa-apa Liga Arab dan Uni Soviet sudah mengecam keras. Kata mereka, kalau Libya diserang, Moskow, yang baru saja menyuplai rudal SAM-5 untuk Qadhafi, menyatakan tidak akan tinggal diam. Juru bicara Gedung Putih Larry Speakes terpaksa menjelaskan bahwa Sea Coral hanya melakukan patroli, padahal siapa pun tahu bahwa kapal itu justru melancarkan provokasi. Dengan begitu, konfrontasi akhirnya dapat dihindarkan, tapi amarah Reagan belum terlampiaskan. Masih dengan tuduhan "Libya membiayai dan melatih pasukan teroris Abu Nidal", Presiden AS itu mengancam akan memboikot negara tersebut. Keesokan harinya, Rabu, Reagan mencanangkan sanksi ekonomi dalam bentuk pembekuan semua aset Libya yang berada di AS. "Jika sanksi ini gagal menyetop teror Qadhafi, tindakan lain akan segera dilaksanakan," kata Reagan dalam sebuah konperensi pers. Sanksi itu mencakup dua hal penting: larangan memberi atau memperpanjang kredit pada pemerintah Libya, dan larangan bagi warga AS bekerja di negara yang kaya minyak itu. Berlaku sejak I Februari 1986, empat hal lain yang tercakup dalam sanksi ekonomi AS ialah: semua ekspor Libya ke AS dan ekspor AS ke Libya dilarang, kecuali yang bermanfaat untuk publikasi, informasi, dan sumbangan kemanusiaan transaksi yang menyangkut angkutan ke dan dari Libya dilarang pembelian barang untuk ekspor Libya ke negara lain dan transaksi yang menyangkut kegiatan apa saja, kecuali kegiatan pers, juga dilarang. Ternyata, sanksi ini adalah yang kedua kalinya dihadiahkan AS terhadap Libya. Sanksi pertama diberlakukan Maret 1982, ketika Reagan melarang impor minyak dari Libya, karena solider pada Yaman Utara, Sudan, dan Somalia yang, waktu itu, terancam oleh Libya. Di samping itu, Qadhafi ketahuan punya rencana jahat, membantai orang-orang Amerika di Sudan. Sanksi itu ternyata tidak beroleh dukungan negara-negara Eropa Barat, hingga pekan lalu Reagan mengatakan, "belum terlambat untuk mengikuti jejak langkah Amerika." Tapi, sampai awal pekan ini, ke-12 negara anggota Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) belum berusaha "melangkah", mungkin sedang menunggu prakarsa Nederland yang menjajaki kemungkinan supaya organisasi itu paling tidak membahas tindakan Amerika. Karena "tekanan" Amerika juga, Italia mengurangi suplai senjatanya pada Libya, sedangkan Kanada berjanji akan membatasi perdagangan dengan Tripoli. Di Washington, Presiden Reagan memastikan bahwa perbedaan sikap mengenai sanksi ekonomi atas Libya tidak akan memecahkan persatuan Barat. Benarkah ? Yang pasti, ia tidak seberuntung Presiden Carter, yang ketika memberlakukan pembekuan aset Iran beroleh dukungan penuh Eropa Barat, dan yang menolak hanya Swiss serta Jepang. Kini 12 anggota MEE lebih suka menjadi penonton, sementara Bonn dan Roma jadi salah tingkah, karena keduanya sangat bergantung pada minyak Libya. Jerman Barat misalnya, selama tahun 1984 mengimpor minyak seharga US$ 19 milyar, Italia US$ 25 milyar, Prancis US$ 753 juta. Adapun volume perdagangan Inggris - Libya banyak berkurang sejak penembakan demonstran Libya di gedung Biro Rakyat, St. James, London. Sejak itu, hubungan diplomatik kedua negara putus hingga kini. Bagaimana pengaruh sanksi terhadap volume perdagangan AS-Libya? "Qadhafi tidak dirugikan," ujar Muhammed Mehdi, Ketua Komite Arab--Amerika di New York. Mengapa? Karena dua hal: Adanya sanksi, popularitas tokoh Libya itu justru melambung dari Jakarta sampai Casablanca, sementara hubungan perdagangan keduanya tidak perlu dihiraukan, karena sudah merosot sejak tahun 1980. Contohnya, dalam tujuh tahun, ekspor AS ke Libya merosot dari US$ 860 juta menjadi hanya US$ 200 juta setahun. Menlu Libya Ali Abdel-Salam al-Tureiki berpendapat, sanksi itu malah merugikan ekonomi AS, bukan Libya. Perlu dicatat juga aset Libya yang dibekukan di AS sekitar US$ 200 juta, dan ini dianggap sebagai jaminan bagi modal Amerika di Libya, sekitar US$ 400 juta. Andai kata perusahaan minyak AS di Libya (Mobil Oil Occidental Petroleum, Conoco, Marathon Oil, dan Cverron), diambil alih oleh Libya, maka tak dapat tidak Amerika menjadi korban keputusannya sendiri. Libya sebaliknya, sehari sebelum pembekuan, kabarnya, telah mentransfer US$ 100 juta dari bank-bank AS. Dan menurut Los Angeles Times, justru karena transfer itu AS membekukan aset Libya. Benar atau tidak, AS dan Libya sebagai pihak-pihak yang bersengketa tampaknya sama-sama lihai mengamankan diri. Dalam pertemuan dengan korps diplomat negara-negara Eropa Barat di Tripoli, Qadhafi menegaskan, sanksi ekonomi AS sama sekali tidak akan mengganggu ekonomi Libya, karena tindakan pengamanan sudah dilakukan sejak beberapa tahun silam. Mengenakan kemeja merah dengan setelan safari biru, pemimpin Libya yang tampak santai itu kini tengah mempertimbangkan kemungkinan untuk membalas pembekuan dengan pembekuan. Diingatkannya, sanksi AS sewaktu-waktu bisa mendorong Libya condong ke kubu komunis, dan menjalin kerja sama lebih erat dengan Soviet. Sekalipun begitu, supaya terbebas dari jangkauan Armada VI, Qadhafi ingin juga menggalang kerja sama yang lebih erat dengan negara MEE. Walaupun hati-hati, dalam konflik AS-Libya, Moskow akhirnya ikut bersuara. Tidak kurang dari tiga tokoh yang bicara: Anatoly Gromyko, putra Preside Andrei Gromyko Michael Kapitsa, Wakil Menlu dan Menlu Eduard Shevardnadze. Pada hematnya, mereka tegaskan tindakan Reagan membahayakan perdamaian di Timur Tengah, dan apa pun yang terjadi Soviet akan berdiri di pihak Libya. Tapi sampai sejauh ini yang justru menarik adalah rudal SAM-5 berikut 2.500 penasihat militer Soviet yang kini ditempatkan di Libya. Seolah menggertak - dengan SAM-5 - Qadhafi menyatakan, jika AS terus mengancam, ia mungkin terpaksa memberikan fasilitas pelabuhan pada Soviet. Kemungkinan bahwa akhirnya pihak ketiga, dalam hal ini Soviet, mengambil keuntungan dari konflik AS-Libya, tampaknya disadari oleh Qadhafi, tapi bisa saja tidak tertangkap oleh Reagan. Mungkin karena itu pula ia berusaha maksimal: mengundang Reagan, mencoba kerja sama dengan Eropa Barat, menawarkan Jasa untuk menjadi penghubung dengan gerilyawan Palestina, seraya menggalang suara Arab untuk menyokong Libya. Dengan tujuan sama, ia memperlakukan 1.500 warga AS di Libya sebagai tamu terhormat. Mereka boleh meninggalkan atau menetap di Libya, bahkan kalau perlu mendapat suaka politik. Seorang dari 1.500 warga AS di Libya, Ahad lalu, memilih untuk pulang ke tanah air. "Presiden saya memerintahkan pulang," kata Clifford Razier, yang baru 18 bulan bekerja di sana. "Saya tidak akan menyokong penguasa seperti itu, saya orang Amerika," tutur Razier, yang terus terang berkata bahwa Qadhafi memperlakukan warga Amerika dengan baik. Tidak heran jika seorang eksekutif dari sebuah perusahaan minyak AS menyesalkan sikap Reagan. Di Libya tidak ada yang kurang, gaji besar (US$ 100.000 setahun), bebas pajak, dan rumah tersedia. "Ancaman justru datang dari pemerintah Amerika," kata orang yang tidak mau disebutkan namanya itu. "Krisis itu terjadi dalam otak Reagan sendiri," cetus seorang warga AS lainnya yang bekerja pada Mobil Oil. Diperkirakan ada 1.500 warga Amerika di Libya (sedikit sekali yang mau pulang), 5.000 warga Inggris, 1.500 warga Jerman Barat, 1.000 Prancis, 12.000 Italia, 1.300 Kanada, ditambah ribuan orang Arab dari berbagai negara yang jumlahnya sekitar 30.000 jiwa. Banyak pengamat meragukan keberhasilan AS menumpas terorisme, kalau Washington tidak membidikkan sasarannya pada penyebab teror itu sendiri, yakni tiadanya pengakuan hak-hak bangsa Palestina. Mereka kini justru cemas melihat gelagat Reagan yang seperti tidak mengerti bahwa ada hubungan antara terorisme internasional dan konflik Timur Tengah. Hal ini jugalah yang disesalkan Qadhafi, hingga ia terdorong menilai presiden AS itu dungu, satu ejekan yang sudah beredar sejak 1981. Menurut kolumnis Washington Post, William Raspberry, ketidakpedulian internasional serta penolakan AS dan Israel terhadap PLO, tentu menambah penderitaan orang Palestina. Raspberry khawatir sekali waktu kelak terorisme bisa meluas sampai ke Amerika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus