Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam masih pekat ketika ribuan tentara dan polisi menyeruak ke delapan permukiman Yahudi di Jalur Gaza. Mengetuk setiap pintu, mereka memaklumatkan perintah dari Yerusalem: hendaklah setiap warga Yahudi mengosongkan rumah mereka, meninggalkan tanah Gaza dan ”kembali” ke Israel. Maklumat itu diterima dengan salak perlawanan. Bentakan serdadu berbaur pekik amarah, jerit tangis, serta lolong putus asa warga permukiman tiba-tiba mendidihkan hawa dini hari.
Hari itu, Senin 15 Agustus, Perdana Menteri Ariel Sharon memulai langkah dramatis dalam sejarah politik Israel: memaksa lebih dari 8.000 pemukim Yahudi hengkang dari tanah Palestina di Jalur Gaza. Amarah kaum Yahudi militan tiba-tiba berpijar laksana tanur api: Gaza adalah Kanaan yang dijanjikan Yahwe kepada para leluhur Bani Israil. Gaza adalah tempat mereka menempuh hidup dan beranak-pinak. Meng-apa Sharon yang sedarah dengan mereka justru mencerabut anak-anak Bani Israil dari tanah ini setelah 38 tahun?
Dari permukiman paling terisolasi di Morag, Kfar Darom, dan N-et-zarim hingga Kerem Atzmona yang punya fasilitas pelatihan m-iliter bagi kaum religius militan, tangan-tangan merentang dililit kain oranye anti-Sharon.
Serdadu pun merangsek. Tubuh para pembangkang dibopong pa-ksa ke dalam bus—menyisakan rumah-rumah kosong dan dinding-din-ding penuh coretan amarah. Berhelai-helai bendera Bintang Daud di-gulung dari bubungan rumah secara paksa atau sukarela.
Permukiman itu kini suram dan senyap. Esok atau entah kapan, akan datang orang ”asing” Palestina dan mengisi rumah-rumah yang pernah menjadi ruang paling nyaman di atas tanah yang dijanjikan Taurat itu.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo