Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dinding depan kediaman Suharni penuh retakan. Para tetangganya, yang juga berada di RW 2 Gatak, Desa Blabak, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, juga mengalami hal serupa. Mereka sempat mengganti kaca yang pecah akibat getaran mesin dari pabrik PT Kertas Blabak, yang berlokasi tak jauh dari permukiman penduduk.
Jika musim hujan tiba, air limbah pabrik yang berada dalam kolam meluap dan meluberi selokan di depan kediaman Suharni. ”Baunya sangat menyengat dan badan anak-anak sering merasa gatal,” kata ibu tiga bocah ini, Selasa pekan lalu. Pabrik ini juga membuang sludge atau sisa-sisa kertas daur ulang ke lahan bagian belakang seluas 1.000 meter. Lahan itu dan permukiman warga Desa Blabak cuma dibatasi tembok setinggi dua meter yang di atasnya terdapat jeruji kawat.
Saka Agung, yang rumahnya juga retak, memperkirakan sludge yang dibuang mencapai beberapa ton setiap harinya. Menurut dia, tiga tahun lalu warga pernah melakukan unjuk rasa dan membuat surat pernyataan yang memprotes bisingnya mesin pabrik dan getarannya yang merusak dinding rumah, serta bau limbah yang sangat menyengat dan mengganggu kesehatan. Namun, hingga saat ini pengelola pabrik, bupati, dan DPRD Magelang tidak menanggapinya.
Respons yang ada malah datang dari Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, yang Senin (8/8) lalu mengumumkan hasil Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) tahun 2004-2005. PT Kertas Blabak dimasukkan ke kelompok perusahaan yang masuk kategori hitam atau sama sekali belum melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan. Tahun lalu, perusahaan ini juga mendapat penilaian yang sama.
Di dalam daftar yang dibuat Dewan Pertimbangan Proper, PT Kertas Blabak merupakan salah satu badan usaha milik negara yang mendapat predikat jeblok. Perusahaan negara lainnya adalah PT RNI (PG Tersana Baru) pabrik gula di Cirebon; PTPN II Kebun Sawit Sebrang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara; PTPN IX PG Tasik Madu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah; PTPN IX PG Mojo Kabupaten Sragen, Jawa Tengah; PTPN XI PG Semboro Kabupaten Jember; dan PTPN XIV PG Takalar, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Rendahnya tingkat pengolahan limbah pada tujuh badan usaha milik negara (BUMN) jelas membuat gusar Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar. ”Iya nih, keterlaluan. Saya akan tegur kawan-kawan di kabinet yang mengurus BUMN. Itu kan uang rakyat,” katanya. Dia mengaku telah melayangkan surat dan memberikan data hasil penilaian Proper tersebut kepada perusahaan yang masuk kategori hitam dan juga kepada departemen terkait yang membawahkan beberapa BUMN. Dengan begitu, Witoelar berharap departemen terkait ikut melakukan pengawasan agar BUMN tersebut mau mengelola lingkungannya dengan baik.
Kekecewaan Witoelar tentu saja beralasan. Maklum, dari 251 perusahaan yang diteliti, tidak ada satu pun perusahaan di bawah bendera BUMN yang mendapat peringkat hijau, apalagi emas. Peringkat emas, atau penilaian paling baik, diberikan kepada perusahaan yang telah berhasil melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dengan hasil memuaskan. Peringkat hijau bagi perusahaan yang telah melaksanakan pengelolaan lingkungan lebih baik. Peringkat biru diberikan kepada perusahaan yang telah melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan syarat minimum peraturan mengenai lingkungan. Peringkat merah diberikan bagi yang belum mencapai persyaratan minimum pengelolaan lingkungan. Dan yang terburuk disebut peringkat hitam.
Ketua Dewan Pertimbangan Proper, Prof Koesnadi Hardjasoemantri, sudah mengeluarkan ancaman terhadap perusahaan yang dua periode berturut-turut memperoleh peringkat hitam. Dari 72 perusahaan yang masuk kategori ini, ada 14 yang tahun lalu juga memiliki nilai jeblok, termasuk PT Kertas Blabak itu. ”Kita akan memberi waktu sebulan setelah pengumuman ini, agar perusahaan kategori hitam segera melakukan perubahan. Jika tidak ada perubahan, akan dilanjutkan ke jalur hukum," katanya.
Ancaman itu agaknya cukup ampuh, dan membangun kesadaran bagi PG Tersana Baru, yang berlokasi di Cirebon. Menurut Kepala Humas PG Rajawali II, Gunadi, pihaknya akan memasang IPAL (instalasi pengolahan air limbah) di Tersana dan Sindang Laut dengan biaya masing-masing Rp 1,3 miliar. Dia membantah perusahaannya memiliki limbah cair, namun mengakui bahwa terdapat pencemaran udara.
Benar. Jelaga hitam memang memenuhi atap rumah warga yang berada di sekitar pabrik gula. Karno, warga setempat, mengaku pernah mengumpulkan jelaga yang mencapai 5 karung ukuran 50 kg setiap memasuki musim giling pada Mei hingga September. ”Langit-langit di balai desa ini tahun lalu sudah runtuh akibat adanya jelaga dari Pabrik Gula Tersana Baru,” ujar Ahmad, Kepala Desa Pakusamben, Kecamatan Babakan, Cirebon. Sampai saat ini langit-langit tersebut tak kunjung diperbaiki karena ketiadaan dana.
Ahmad mengakui pihaknya sudah melaporkan kerugian yang diakibatkan warganya ke pemerintah Kabupaten Cirebon. Namun, alih-alih ditanggapi, dirinya justru dimarahi salah satu kepala dinas. ”Kami saat itu tidak bisa ngomong apa-apa dan hanya menunjukkan buktinya di atap-atap rumah milik penduduk desa ini,” tuturnya. Dia berharap perusahaan memberi ganti rugi bagi warganya yang rumah dan pohonnya rusak akibat jelaga dari PG Tersana Baru.
Lemahnya kontrol pemerintah daerah menjadi salah satu penyebab merosotnya pengelolaan limbah perusahaan milik negara. Bukan apa-apa, saat ini merekalah yang punya kewenangan memberi izin dan menindak perusahaan yang membandel. ”Departemen teknis tidak lagi memiliki kewenangan melakukan pembinaan terhadap badan usaha milik negara,” kata juru bicara Departemen Pertanian, Hari Priyono.
Menurut Hari, instansinya hanya bertugas membuat pedoman dan aturan tentang perkebunan yang ada di daerah. Gubernur dan bupati yang memiliki Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang mengawasi dan menindak perusahaan pelanggar analisis mengenai dampak lingkungan. Termasuk sejumlah PT perkebunan nasional yang mendapat peringkat hitam dalam pengelolaan limbahnya.
Faktor lain yang berperan penting adalah dana pembuatan IPAL. Tinung Taberi, Kepala Sumber Daya Manusia PT Kertas Blabak, menjelaskan perusahaannya tidak mampu membeli alat seharga Rp 2 miliar tersebut. ”Kami sebenarnya sudah berusaha mengikuti seluruh ketentuan, tapi biayanya kan sangat besar. Kami saat ini sedang berusaha survive terlebih dahulu,” katanya.
Tahun 2003 silam, PLN memutus aliran listrik selama tiga bulan karena PT Kertas Blabak belum membayar tunggakan. Apalagi manajemen perusahaan kini sudah dialihkan ke PT Indhasana Group. Asiyati, sekretaris tim pengelolaan limbah PT Kertas Blabak, mengusulkan agar pemerintah daerah menyediakan incinerator atau alat pembakar limbah. ”Fasilitas itu bisa dimanfaatkan sejumlah perusahaan,” ujarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Magelang, Sumarjoko, mengakui kondisi PT Kertas Blabak setengah collapse. ”Untuk menghidupi karyawannya saja sulit,” katanya. Dia mengakui sludge sudah mencemarkan lingkungan. Agar pencemarannya nol persen, ujarnya, sludge harus dibakar dalam incinerator atau alat pembakaran teknologi canggih.
Untung Widyanto, Syaiful Amin, dan Ivansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo