Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Babad Baru Tanah Gaza

Evakuasi pemukim Yahudi di Jalur Gaza telah dimulai pada 15 Agustus. Inilah babak baru dalam upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel. Perdana Menteri Israel Ariel Sharon mendapat tentangan hebat di dalam negeri. Kontributor Tempo melaporkan dari Gush Katif dan Khan Younis, Jalur Gaza.

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jabra Ibrahim Jabra, penyair Pa-lestina yang lahir di Bethlehem pada 1919, menghabiskan sebagi-an masa hidupnya di Irak. Di peran-tau-an, ia menuliskan sajak-sajak yang menyalurkan rasa pedih ka-r-ena tercerabut dari tanah airnya yang diduduki Israel sejak 1967. Dalam salah satu syairnya berjudul Di Gurun-gurun Pengasingan, Jabra menuliskan frase ini kepada Palestina:

O, tanah kami di mana masa kanak kami..
Berlalu bagai mimpi..
Di bawah lindap kebun jeruk, di antara pohonan badam di lembah kami.
Kenanglah kami kini...

Syair ini seolah diratapkan oleh w-a-ni-ta-wanita penghuni Kfar Darom, salah satu permukiman Yahudi tertua di Jalu-r Gaza. ”Ke mana kami harus pe-rgi? Di tanah ini anak-anak kami lahir dan tumbuh dewasa,” Nadia Bezalel, 53 t-a-hun, menangis sejadi-jadinya. Kelua--rga Nadia bermukim di Kfar Darom—di wi-la--yah tengah Gaza—selama 32 t-ahun ter-akhir. ”Di sinilah kami mencari peng-hi-dupan selama ini,” Nadia meratap pilu.

Gaza yang kerontang bukanlah ne-ge-ri berkelimpahan susu dan madu. S-ulit menemukan kebun jeruk hijau royo-ro-yo atau barisan pohon ara yang sarat oleh buah di sana. Tak mudah menemukan kerimbunan pohon badam di tepi ja-lan. Tapi Gaza telah menjadi ”tanah air” bagi 8.000 lebih pemukim Yahudi.

Menyebar dalam 21 permukiman, me-reka mendiami wilayah itu sepanjang 38 tahun terakhir. ”Tak sejengkal pun kami akan meninggalkan tempat ini. Tak akan pernah,” kontributor Tempo Ramiz Ass’af menyaksikan seorang pria tua menandak-nandak dengan putus asa di hadapan tentara yang ngotot masuk ke rumahnya di permukiman Neve Dekalim, di selatan Gaza.

Senin pekan lalu pemerintah Isr-ael me-mulai evakuasi—dengan sukarel-a mau-pun paksa. Tentara dan polisi ber-derap masuk ke Gaza. Pemerintah menyiagakan 55 ribu tentara dan polisi guna mengamankan boyongan akbar itu. Aparat keamanan dan para serdad-u memecah pasukan mereka. Mulai dari per-mukiman Elei Sinai di ujung utara hingga Morag di titik selatan Jalur Ga-za. Semuanya mendapat kunjungan pa-ra serdadu Ariel Sharon.

Buldoser melindasi rumah-rumah kosong. Aparat menggedor bangunan yang masih berpenghuni. Menyodorkan surat perintah dari kantor Perdana Menteri Israel (lihat esai foto ”Air Mata Membasahi Taurat”), mereka meminta penghuninya segera hengkang karena wi-layah itu akan dikembalikan kepad-a Pa-lestina. Yang menolak ditelikung, lalu dibopong ke dalam bus-bus angkutan yang ambil posisi di dekat pintu-pintu ke luar.

Ketika buldoser mulai merobohkan ru-mah-rumah di Kfar Darom, Nadia terkenang kembali saat ia tiba di permu-kiman tersebut bersama suaminya, Reu-ben Bezalel, suatu hari pada 1972. ”Anak saya yang terkecil lahir di sini,” ujarnya. Berdiri pada 1970, Kfar Darom adalah salah satu ”kampung Yahudi” tertua di Jalur Gaza. Sekitar 475 warga berdiam di sana. Termasuk Nadia dan Reuben, tiga anak mereka, serta Rebecca Nadab, ibu Nadia yang berumur 74 tahun. Rambutnya seputih perak. Kulit tangannya berkeriput. Tapi mata Rebecca belum redup.

Amarah mencorong dari matanya saat menatap tentara muncul di jenjang pintu rumahnya. Rebecca memekik: ”Terkutuklah Sharon. Terkutuklah dia di ha--dapan para leluhur kita karena dia me-nyesah kaumnya sendiri, yang seda-rah dan sebangsa.” Seorang prajurit mu-da segera ditendang Rebecca dengan ka-ki-nya yang ringkih. Tiga serdadu lain yang lebih kekar mendekat, membopong nenek tua itu ke dalam bus. Kendaraan itu segera melaju ke utara Gaza.

Di sana, pemerintah Israel telah mene-gak-kan ratusan caravilla—rumah-ru-mah semipermanen yang pembangu-n-annya dikebut dalam dua bulan terakhir untuk menampung mereka yang ”bedol desa”. Ada pula yang dikirim ke permukiman baru di Tepi Barat. Namun, untuk menghindarkan amarah yang lebih meruap, pemerintah maupun pemda setempat telah mengatur agar boyongan massal itu tak menimbulkan ”gegar” yang terlampau berat. Mereka yang di-ke-luarkan dari Gaza diupayakan dapat mengisi caravilla yang tak begitu jauh di sana. Begitu pula di Samaria Utara, Te-pi Barat. Bahkan para tetangga dan famili dapat memilih rumah secara berdampingan seperti di permukiman mere-ka dulu.

Untuk mereka memulai hidup baru, pe-merintah Israel memberikan uang gan-ti rugi yang lumayan. Mingguan The Economist (edisi 18 Agustus 2005) me--laporkan rata-rata warga mendapat satu caravilla—dilengkapi pendingin uda-ra—serta uang tunai sebesar US$ 250 ribu-US$ 300 ribu (setara dengan Rp 2,85 miliar). Di Nitzan, sebuah desa di utara Gaza, telah berdiri 350 caravilla siap huni, dan 100 unit lain tengah dibangun.

Tadinya tak melirik sama sekali, kini para pemukim yang boyongan mulai berkompromi. Walau jauh dibandin-gkan dengan rumah-rumah yang mereka ting-galkan di permukiman, ”Permintaan te-rus bertambah,” ujar Ari Kildar, pemimpin proyek pembangunan di Nitzan, seperti yang dikutip kantor berita BBC. Tersedia pula bonus uang bagi mereka yang mau menempati Galilea dan Negev. Kedua wilayah ini banyak didiami warga keturunan Arab. Pemerintah ingin lebih banyak warga Yahudi yang membaur di sana.

Dalam pidato resmi penarikan mundur yang disiarkan televisi secara nasio-nal pada 15 Agustus, Ariel Sharon berjanji: ”Kami akan melakukan segala upaya untuk menyokong Anda sekalian menata kembali hidup di tempat baru.” Dalam pidatonya itu, Perdana Menteri Israel juga menyampaikan alasan-alas-an pokok mengapa langkah dramatis itu harus ia ambil. ”Kita tak dapat bertahan selamanya di Gaza. Sejuta le-bih warga Palestina yang hidup di sana. Dan akan terus bertambah pada setiap generasi.” Sharon mencoba meredakan amarah pa-ra pemukim dengan mengi-ngatkan, betapapun kerasnya pertikaian yang tim-bul karena keputusan evakuasi ini, ”Kita adalah satu dan bersaudara.”

Pidato Sharon yang menyentuh dan ”rendah hati” itu tampaknya tak cuku-p berhasil menenangkan para pemukim. Di Morag, permukiman di selatan Gaza yang banyak dihuni ”ultra-kanan” reli-gius, warga melawan mati-matian. Ada wanita yang meliliti diri dengan tali. Di lokasi lain, aparat polisi dan tentara di-sambut siraman cairan asam yang melepuhkan kulit. Seorang polisi mengaku kepada wartawan BBC, ”Belum pernah saya menghadapi medan seberat ini, harus bentrok dengan saudara-saudara sa-ya sendiri.”

Bentrokan yang lebih berbahaya sebe-tulnya bukan datang dari pemukim, me-lainkan dari para pengunjuk rasa—ter-utama kelompok militan muda Yahu-di dari Tepi Barat. Mereka mengalir ke Gaza dari segala arah, menghadang di pintu-pintu masuk permukiman di wi-la-yah selatan, terutama. Sekelo-mpok pe--muda menduduki dua sinagoga dan baku adu otot dengan aparat. Sejauh ini tak ada korban jiwa yang jatuh di Gaza. Evakuasi di Tepi Barat diwarnai penem-bakan empat orang Palestina oleh seorang militan Yahudi warga permukim-an.

Pada hari pertama penarikan mundur, Presiden Otoritas Palestina Mahmud Ab-bas muncul dengan wajah berseri di bandara internasional Gaza. Dia meraya-kan peristiwa bersejarah itu bersama sejumlah warga. ”Pendudukan Israel te-lah berakhir hari ini. Jangan sampai ki-ta memberi mereka satu pun alasan yang dapat menunda kepergian mere-ka.” Warga bertempik sorak gembira, me-nandak-nandak sembari menyampirkan bendera Palestina di tubuh mereka.

Di kamp pengungsi Palestina Khan You-nis, kontributor Tempo Osama Sara-wan membaur dengan warga yang berjoget diiringi musik Arab yang mengen-tak-entak serta lagu Insyalla yang di-lantunkan Lathefa, seorang penyanyi asal Tunisia yang lagu-lagunya amat akrab di Khan Younis. Mereka bersorak, saling berpelukan, melupakan lingkung-an hidup yang miskin, padat, dan kumuh. ”Youm istiqlal…youm istiqlal (Ini hari kemerdekaan…),” teriak Jamiil Asghar, 45 tahun, seorang tukang kredit. ”Malam nanti kita berpesta,” ujarnya disambut senyuman lebar warga.

Beramai-ramai mereka menonton eva-kuasi di permukiman Neve Dekalim. Tempo meriung dengan beberapa laki-laki yang berkumpul di atas dak sebuah rumah. Mulut mereka mendesis, ko-mat-kamit menyebut tasbih, tahmid, dan tah-lil, ketika beberapa mobil warga Israel yang penuh barang-barang pindahan me-lintas di depan rumah.

”Rasanya baru kemarin mereka me--ngo-yak tubuh keluarga kita, pemim-pin. Sekarang Allah telah memperlihat-kan kekuatan-Nya, kebesaran-Nya. Sub-ha-nal-lah,” ucap Hamdi Abduh, si pemilik rumah, kepada Tempo. Air matanya meleleh. Dia teringat pada Osman Hamdi, anaknya yang terkena peluru tentara Israel ketika mereka mengepung kamp pengungsi Khan Younis beberapa waktu lalu.

Keriangan di kamp pengungsi Pales-tina sungguh kontras dengan hawa mu-rung di Neve Dekalim. Aviv Gross, se-orang pemukim di Neve Dekalim, me-ngatakan dia akan meninggalkan lokasi itu bersama keluarganya. ”Tak ada pilih-an lain. Dengan uang kompensasi di ta-ngan, saya akan berusaha menata kembali hidup kami, entah di Tepi Barat atau tempat lain,” ujarnya kepada Tempo.

Penarikan mundur dari Gaza adalah keputusan yang membuat Ariel Sharon merosot popularitasnya di dalam negeri. Dia bahkan dihujat oleh anggota kabinetnya sendiri. Salah satu menterinya, Benyamin Netanyahu, mundur pada dua pekan lalu. Tapi tekanan internasional dan pertikaian yang tak kunjung padam di Gaza membuat pemimpin Israel itu mengambil langkah yang, harus diakui, mengejutkan—mengingat Sharon pernah bersumpah berkali-kali, ”Kita tak akan bergeser seinci pun. Kita tak sudi duduk berunding, selama Palestina belum membereskan para terorisnya.”

Pertikaian di Gaza belum reda. Bom-bom buruh diri belum sepenuhnya pupus. Perundingan dua pihak juga rendet tak keruan. Tapi Sharon memutuskan mengakhiri pendekatan militer yang ia emban selama ini (lihat kolom Daoud Kuttab, ”Setelah Israel Undur Diri”).

Lebih dari 90 persen tanah Palestina jatuh ke Israel. Maka, 1,2 juta orang Pa-lestina melakukan nakba, mengungsi, ke Jalur Gaza dan Tepi Barat. Tapi Israel lagi-lagi mencaplok wilayah ini setelah kemenangan spektakulernya me--lawan negara-negara Arab dalam Pe-ra-ng Enam Hari pada 1967. Sejak itu, pemukim Yahudi berbondong-bondong mengisi Gaza dan Tepi Barat. Di t-anah kerontang itu warga Yahudi berhas-il membangun hidu-p yang makmur—sem-bari si Palestina menjadi tetangga miskin yang sebagian bekerja menjadi orang upahan mereka.

Sakit hati mulai tumbuh. Para pejuang garis keras muncul. Bentrokan berdarah pecah selama tiga dekade terakhir. Di Gaza, lahirlah Intifadah yang membikin Israel gemetar karena anak-anak muda Palestina dengan enteng menyerahkan nyawa untuk ”mengusir penjajah dari tanah kita”.

Gaza menjadi sentrum pertikaian pan-jang kedua jiran. Sampai Pak Tua Sharon menyerahkan kembali ”tanah sengketa” itu pada pekan lalu.

”Ini hari kemerdekaan kita,” pekik Ja-miil Asgar, warga Palestina di kamp Younis. Di Yerusalem, Ariel Sharon me-natap televisi melihat anak-negeri-nya ditelikung polisi. Dia menyerah, n-amun masih berusaha gagah ke arah Palestina. Sharon menegaskan, dunia kini menantikan reaksi Palestina; damai atau teror yang akan mereka ulurkan.

Di pihak Israel, kata Sharon: ”Kami akan siap sedia. Ada ranting-ranting zai-tun. Ada juga gemuruh tembakan yang paling mematikan.”

Hermien Y. Kleden (Jakarta), Ramiz Ass’af (Gush Katif), Osama Sarawan (Khan Younis), Zuhaid el-Qudsy (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus