Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Akhir Suram Mencari Suaka

Kebijakan Australia menampung pencari suaka di pusat-pusat penahanan laut lepas dianggap tak manusiawi. Masalah kesehatan dan buruknya fasilitas jadi sorotan.

15 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hamid Kehazaei tergolek tak sadarkan diri di Rumah Sakit Mater Brisbane, Australia, akibat menderita septikemia atau peradangan di seluruh tubuh karena infeksi. Hidup pria 24 tahun ini hanya bergantung pada mesin yang terpasang di tubuhnya. Setelah Kehazaei sempat mengalami serangan jantung, dokter memvonisnya mengalami kematian otak. Dua hari kemudian, keluarganya mengambil keputusan sulit: mencabut semua mesin penunjang hidup Kehazaei.

"Saya ingin menyumbangkan organ tubuhnya, dan saya khawatir jantungnya tidak lagi berfungsi dengan baik jika kami terus menundanya," kata ibu Kehazaei, Goldone, sambil menangis, Jumat dua pekan lalu.

Kehazaei adalah salah satu pencari suaka asal Iran. Ia bermigrasi ke Australia untuk mendapatkan status pengungsi. Oleh pemerintah Australia, ia dipindahkan ke pusat penahanan dan penampungan imigran di Pulau Manus, Papua Nugini, pada September 2013. Berdasarkan kebijakan ketat Australia mengenai pengungsi, pencari suaka yang tiba dengan kapal setelah Juli 2013 dikirim ke rumah tahanan Pulau Manus atau Nauru, pulau kecil di Pasifik, untuk diproses dan ditempatkan secara permanen.

Selama berada di pusat penahanan Pulau Manus, Kehazaei telah berminggu-minggu menderita penyakit septikemia akibat infeksi di kakinya. Ia sempat dipindahkan ke rumah sakit Port Moresby untuk menjalani pengobatan sebelum dikirim ke rumah sakit Brisbane pada 27 Agustus lalu.

Kematian Kehazaei memancing protes keras dari pegiat hak asasi manusia internasional yang menilai pemerintah Australia mengabaikan kesehatan tahanan di Pulau Manus. "Kematian Hamid (Kehazaei) menunjukkan adanya pengabaian kesehatan dan ketidakpedulian yang ada di Pulau Manus. Ini tragedi yang tidak bisa dibenarkan," kata juru bicara Koalisi Aksi Pengungsi, Ian Rintoul, seperti dikutip Daily Mail.

Australia menjadi salah satu negara tujuan pencari suaka terutama setelah negara itu menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pengungsi. Kebanyakan pencari suaka berasal dari negara-negara berkonflik, seperti Suriah, Iran, Irak, Sri Lanka, Afganistan, dan Pakistan. Dalam kenyataannya, tak semua pencari suaka bisa melenggang masuk. Sebagian dari mereka berakhir di tempat-tempat penampungan, termasuk Pulau Manus, yang kondisinya dinilai buruk.

"Infeksi dan penyakit kulit menjadi endemis di pusat penahanan itu. Kondisi di sana tidak higienis, tidak sehat, dan tidak aman," ujar Rintoul.

Pada Desember 2013, organisasi hak asasi manusia Amnesty International mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan fasilitas di Pulau Manus. Amnesty menggambarkan Pulau Manus, yang sejak dibuka lagi pada 2012 sulit diakses jurnalis, sebagai tempat yang kejam, tak manusiawi, dan melanggar larangan penyiksaan.

Di pulau itu terdapat sekitar 1.100 orang yang ditempatkan di tiga bagian pulau. Kondisinya disebutkan sangat suram. Contohnya ketersediaan air minum. Amnesty melaporkan air minum di bagian terbesar pusat penahanan itu-yang disebut Oscar-dibatasi hanya setengah liter per hari. "Di sana air hanya disediakan melalui botol-botol dengan kapasitas 19 liter untuk 500 orang. Jelas tak cukup mengingat suhu panas dan lembap," begitu bunyi laporan Amnesty.

Peneliti dari Amnesty, Graeme McGregor, yang mengunjungi Pulau Manus, mengatakan kondisi toilet di sana juga dikategorikan tak higienis, tanpa fasilitas dasar. Akibatnya, penyakit gastroenteritis (peradangan pada saluran pencernaan) mewabah di beberapa tempat. "Dan kami berpendapat penderitanya akan lebih banyak karena ketiadaan sabun di dalam toilet," katanya.

Selain Pulau Manus dan Nauru, Australia memiliki tempat penahanan lain di Pulau Natal dan Christmas. Kedua tempat ini tak kalah suram. Seorang pencari suaka yang ditahan di Pulau Christmas sampai mengajukan gugatan class action terhadap pemerintah Australia pada 26 Agustus lalu atas tuduhan gagal menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai. Si penggugat adalah seorang anak perempuan berusia 6 tahun, yang mewakili para tahanan.

Jacob Varghese, pengacara dari perusahaan hukum Maurice Blackburn, mengatakan anak berinisial AS itu ditahan satu tahun dan didiagnosis mengalami trauma. AS juga menderita infeksi gigi dan alergi, mengalami cemas, serta menolak makan. "Standar pelayanan kesehatan di sana jauh dari standar masyarakat Australia," ucap Varghese.

Menteri Imigrasi Australia Scott Morrison menolak tudingan bahwa perawatan di pusat-pusat penahanan tak memadai. "Ketika seseorang jatuh sakit, mereka akan menerima perawatan kesehatan yang luar biasa dari staf sebagai bagian dari jaringan pelayanan kami di pulau penahanan," katanya.

Rosalina (Sydney Morning Herald, The Australian, Daily Mail, The Guardian, ABC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus