Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Momen

15 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRAK
Kabinet Abadi Terbentuk

Parlemen Irak menyetujui susunan kabinet pemerintahan baru di bawah Perdana Menteri Haider al-Abadi, Senin pekan lalu. Abadi, politikus Syiah, berjanji memimpin pemerintahan yang lebih inklusif dan mengusir kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), yang kini berganti nama menjadi Negara Islam (Islamic State).

"Negara ini mendapat serangan agresif, dan masyarakat sedang menunggu kita. Kita tidak perlu berdebat tentang nama dan posisi. Pemerintahan ini untuk melayani negara dan rakyat," kata Abadi dalam pidato resmi pertamanya, seperti dilansir The New York Times, Selasa pekan lalu.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama langsung mengucapkan selamat atas terbentuknya kabinet baru Irak yang dinilainya sebagai "pemerintahan berbasis luas". Ia juga menyinggung komitmen Amerika yang akan terus membangun koalisi untuk menghadapi ISIS.

Ketua Parlemen Irak, Salim al-Juburi, mengatakan pengumuman kabinet baru di hadapan anggota parlemen berjalan mulus setelah pihaknya berupaya keras menjaga ketertiban. Anggota parlemen ikut memilih kabinet yang terdiri atas 3 wakil perdana menteri dan 21 menteri. Masih ada dua posisi, menteri dalam negeri dan menteri pertahanan, yang belum ditentukan.

Jurnalis senior Ziad Nihad al-Zubaidy menyambut positif perbaikan di bawah pimpinan Abadi. "Saya sangat optimistis. Delapan tahun di bawah kekuasaan (Perdana Menteri) Nouri al-Maliki, banyak warga Sunni dan Syiah yang tewas. Kami butuh kekuatan untuk rekonsiliasi menyatukan semua etnis," katanya saat berkunjung ke kantor Tempo. Ia berada di Jakarta untuk mengikuti program seminar jurnalis senior yang diselenggarakan East-West Center.

Toh, skeptisme di antara rakyat Irak, terutama kaum Sunni yang merasa terpinggirkan oleh pemerintah sebelumnya, tak sepenuhnya surut. "Kami berharap akan melihat pemerintahan yang diisi teknokrat, tapi ternyata itu tidak terjadi," kata Syekh Mohammad al-Bajari, pejuang Falluja yang telah bersekutu dengan ISIS.

PALESTINA
Koalisi Fatah-Hamas Terancam Retak

Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas mengecam kelompok lawan politiknya, Hamas, dalam pertemuan Liga Arab, akhir pekan lalu. Abbas menuduh Hamas menjalankan pemerintahan bayangan di Jalur Gaza dan secara ilegal membalas dendam atas nama Palestina. "Jika Hamas tak ingin menerima negara Palestina dengan satu pemerintahan, satu hukum, satu senjata, tidak akan ada kemitraan di antara kami," ujarnya saat berpidato.

Fatah dan Hamas menandatangani kesepakatan pada April lalu untuk mengakhiri perpecahan tujuh tahun serta menyatukan Gaza dan Tepi Barat di bawah Pemerintahan Bersatu Palestina. Kenyataannya, Fatah belum bisa campur tangan di Gaza. "Pemerintah nasional bersatu tidak dapat melakukan apa pun di lapangan," ucap Abbas mengeluh.

Sami Abu Zuhri, juru bicara Hamas, menyebutkan pernyataan Abbas tak tepat dan tidak adil. Dia meminta Abbas berhenti berbicara di media terkait dengan hubungan kubunya dengan Otoritas Palestina yang dipimpin Fatah. "Beri kesempatan untuk dialog dan pemahaman di antara kedua gerakan," kata Zuhri.

Hamas merasa motivasinya dalam rekonsiliasi belum terpenuhi, yaitu mengamankan pembayaran gaji 43 ribu pegawai negeri dan pembukaan perbatasan Gaza dengan Mesir di Rafah. Amerika Serikat mengharuskan perbatasan dijaga polisi dari pihak Otoritas Palestina. Negara donor yang akan membantu rekonstruksi Gaza setelah perang dengan Israel sudah lebih dulu menganggap Hamas sebagai organisasi teroris.

SKOTLANDIA
Bujukan Cameron Menjelang Referendum

Perdana Menteri Inggris David Cameron membujuk rakyat Skotlandia tetap bergabung dalam Inggris Raya. Ia mengingatkan rakyat Skotlandia tentang sejarah panjang dan hubungan erat mereka dengan Inggris. "Saya akan patah hati jika bangsa-bangsa dalam satu keluarga ini terpecah," katanya saat berkunjung ke Edinburgh, Rabu pekan lalu.

Pihak oposisi Partai Buruh dan Partai Liberal Demokrat ikut mendukung pernyataan Cameron. Kedua partai ini mengimbau rakyat Skotlandia tak menjatuhkan pilihan pada pemisahan diri dari Inggris Raya. Bahkan pemerintah Inggris menjanjikan akan menyerahkan kekuasaan lebih besar kepada Skotlandia.

Tak hanya itu. Pemerintah Inggris juga menjanjikan kontrol lebih besar atas pajak penghasilan dan menjamin kesejahteraan rakyat Skotlandia. "Ini benar-benar akan menjadi jalan terbaik bagi kedua bangsa," kata Cameron, seperti dilansir Al Jazeera, Kamis pekan lalu.

Rencananya referendum akan dilaksanakan pada 18 September mendatang. Empat juta pemilih akan menentukan masa depan negara itu: mereka bakal memutuskan apakah tetap bergabung atau mengakhiri hubungan dengan Inggris Raya yang sudah berlangsung selama 307 tahun.

Survei terbaru oleh Survation untuk surat kabar Daily Record menunjukkan bahwa 53 persen rakyat Skotlandia menyatakan akan menolak berpisah dari Inggris Raya. Suara "yes" hanya 47 persen. Tapi ini tanpa menyertakan suara mereka yang masih ragu-ragu sebesar 10 persen.

Hasil survei itu berbeda dari perolehan lembaga jajak pendapat independen, YouGov, akhir pekan lalu, yang mendapati keinginan untuk memisahkan diri lebih unggul ketimbang mereka yang ingin bertahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus