Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pukul dua dinihari, Wan Ji Wan Hussin pasrah digiring ke kantor polisi Section 9, Shah Alam, Selangor, Malaysia. Foto pencidukan pembicara publik itu segera beredar di situs jejaring sosial Facebook pada Rabu pekan lalu. Ia menjadi orang teranyar yang ditangkap karena tuduhan melanggar Undang-Undang Penghasutan atau yang dikenal sebagai Akta Hasutan.
Wan Ji memang dikenal vokal mengkritik Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri Malaysia karena melarang penggunaan kata "Allah" dalam Alkitab. Pria 32 tahun ini juga menyentil Sultan yang menurut dia tak bisa disebut sebagai kepala keagamaan. "Yang lebih salah lagi di Malaysia, raja bisa disebut kepala keagamaan," ujar pendiri Sekolah Pemikiran As-Syatibi itu. Ia baru dibebaskan setelah pendukungnya menggalang dana 5.000 ringgit untuk membayar jaminan.
Tertuduh lain, jurnalis Malaysia Kini, Susan Loone, ditangkap lebih dulu, pada Ahad dua pekan lalu, di Penang karena tuduhan hasutan membenci kepolisian. Penyebabnya adalah Susan mewawancarai Komisaris Eksekutif Pasukan Peronda Sukarela (PPS) Phee Boon Poh via telepon terkait dengan penangkapan massal anggota PPS.
Dalam laporannya, Susan mengutip Phee, yang mengaku diperlakukan seperti pelaku kriminal selama dalam tahanan. Tulisan Susan yang berjudul "Disoal Siasat Selama 4 Jam, Dakwa Dilayan Seperti Penjenayah" dianggap memfitnah polisi. Setelah sempat ditahan sehari, Susan juga dibebaskan karena membayar uang jaminan.
Wan Ji dan Susan hanya dua dari daftar panjang nama yang dijebloskan ke terungku dengan jerat Akta Hasutan. Amnesty International menyebutkan sepanjang tahun ini sudah 15 orang dituduh menghasut di negeri jiran itu. Sebagian besar terjerat dalam sebulan terakhir, dari kalangan politikus, pembicara publik, jurnalis, aktivis mahasiswa, hingga pelajar yang baru berusia 17 tahun.
Menurut lembaga anti-pelanggaran hak asasi manusia itu, pemerintah Malaysia sedang memelihara iklim pengekangan. "Penggunaan hukum untuk melawan individu yang mengekspresikan sikap politik, agama, dan lainnya menciptakan efek menakutkan bagi kebebasan berekspresi di negara itu," demikian pernyataan Amnesty International.
Akta Hasutan merupakan warisan pemerintah kolonial pada 1948. Mulanya undang-undang ini ditujukan untuk memerangi komunis dengan melarang segala tindakan yang "mendorong ketidaksukaan" kepada pemerintah atau penyelenggara hukum di negeri jiran itu. Mereka yang melanggar diancam hukuman tiga tahun penjara atau denda 5.000 ringgit Malaysia atau bisa pula keduanya.
Pada 2012, Perdana Menteri Najib Razak berjanji mencabut akta ini dan menggantinya dengan Akta Harmoni Nasional. "Keputusan mencabut Akta Hasutan karena kami ingin mekanisme untuk menyeimbangkan kebebasan rakyat berbicara dengan konstitusi serta menghormati perbedaan di negeri ini," kata Najib kala itu. Ia berjanji akta baru mampu menangkal penistaan agama dan ras, dampak yang mungkin timbul jika Akta Hasutan dihapus. Kenyataannya, dua tahun berlalu dengan belasan penangkapan tertuduh, tanpa realisasi akta baru.
Bosan dengan janji, pihak yang menuntut penghapusan Akta Hasutan gerah. Kelompok yang menamakan diri National Young Lawyers Committee (NYLC) di bawah Dewan Advokat Malaysia meluncurkan gerakan #MansuhAktaHasutan. Setahun belakangan mereka berusaha mengedukasi sebanyak mungkin warga agar paham undang-undang ini.
Direktur NYLC Syahredzan Johan menyebutkan belum banyak orang paham bahwa pelanggaran yang dimaksud dalam Akta Hasutan terlalu luas. Berbagai bentuk perbedaan pendapat bisa dikategorikan menentang pemerintah. "Ambang batasnya sangat rendah. Tidak perlu bukti ada orang yang terhasut. Hanya perlu bukti ucapan Anda dipublikasikan, maka Anda jadi terdakwa," ujarnya.
Janji kosong Najib diyakininya akibat faktor politis, yaitu demi pihak yang kontra-penghapusan Akta Hasutan di tubuh UMNO, bagian dari koalisi Barisan Nasional. Pihak ini disebut mencegah Najib menjadi reformis. Karena itu, Syahredzan berfokus mengumpulkan tanda tangan penolak akta. "Perlu kemauan politik. Itu hanya akan terjadi jika pemerintah melihat ada jumlah signifikan rakyat Malaysia yang tidak menginginkan akta itu."
Perjuangan semacam yang dilakukan Syahredzan tampaknya masih panjang. Menteri Dalam Negeri Datuk Seri Ahmad Zahid Hamidi mengatakan penyelidikan atas kasus hasutan akan terus dilakukan meski sejumlah kasus penghasutan ditinjau ulang oleh jaksa penuntut umum negara. Sang Menteri berujar, "Investigasi akan berjalan terus, selama masih ada laporan polisi."
Atmi Pertiwi (Bernama, The Malaysian Insider, Malaysia Kini, The Diplomat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo