Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gara-gara Patok Perbatasan

Tokoh serikat buruh dan aktivis hak asasi manusia Rong Chhun ditangkap polisi setelah memprotes soal perbatasan negara yang merugikan petani. Incaran lama pemerintah Kamboja.

22 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penangkapan demontrasn yang menuntut pembebasan Rong Chhun di Phonm Penh, Kamboja, 3 Agustus 2020./ Reuters/Stirnger

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi menahan aktivis Kamboja yang menuntut pembebasan tokoh buruh Rong Chhun.

  • Rong Chhun ditahan setelah mengkritik pemerintah soal ketidakberesan di wilayah perbatasan dengan Vietnam.

  • 141 organisasi sipil memprotes penahanan Rong Chhun.

UNJUK rasa damai organisasi pemuda Khmer Thavarak di depan gedung pengadilan Phnom Penh, Kamboja, pada Kamis, 13 Agustus lalu, berubah rusuh. Polisi membubarkan paksa para demonstran yang menuntut pembebasan Presiden Serikat Pekerja Kamboja Rong Chhun itu. Bogem mentah dan tendangan mendarat di tubuh Chhoeun Daravy dan sekitar 30 rekannya anggota organisasi pengusung isu ketidakadilan dan lingkungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima pria berbaju preman memukul dan menarik rambut Daravy. Gadis berambut panjang itu lalu diseret masuk ke sebuah mobil sport utility vehicle Lexus hitam. Belakangan diketahui bahwa Daravy bersama lima anggota Khmer Thavarak lain ditahan di markas besar Komisi Kepolisian Nasional. Juru bicara Komisi Kepolisian Nasional, Chhay Kim Kheoun, mengatakan mereka didakwa melakukan penghasutan yang memicu gejolak sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khmer Thavarak adalah pendukung Rong Chhun, aktivis hak asasi manusia Kamboja yang ditangkap polisi pada 31 Juli lalu. Tanpa membawa surat penahanan, polisi mengerangkeng tokoh senior serikat pekerja itu di Lembaga Pemasyarakatan Nomor 1 di Phnom Penh. Pengadilan mendakwa Chhun telah melakukan tindak pidana yang bisa memancing pergolakan di masyarakat.

Penahanan itu memicu unjuk rasa para aktivis buruh dan hak asasi di Phnom Penh. Otoritas keamanan menjaga ketat para simpatisan Rong Chhun yang mengalir ke ibu kota negeri itu. Delapan biksu dari Provinsi Battambang, sekitar 300 kilometer dari Phnom Penh, bahkan dicegah bergabung. Polisi mengumpulkan para biksu di sebuah biara dan memaksa mereka pulang.

Penahanan itu diduga berkaitan dengan kegiatan Rong Chhun dalam menyuarakan kondisi para petani di perbatasan Kamboja dan Vietnam. "Pemerintah Kamboja telah mengawasi dan mengintimidasi Rong Chhun selama bertahun-tahun, bahkan pernah menahannya dengan dakwaan bodong," kata Wakil Direktur Human Rights Watch Asia Phil Robertson kepada Tempo, Jumat, 14 Agustus lalu.

Sepuluh hari sebelum polisi menyatroni rumahnya, Rong Chhun mengunjungi Distrik Ponhea Kraek, Provinsi Tbong Khmum, yang berbatasan dengan Vietnam. Para penduduk desa di sana tak bisa lagi bertani karena bergesernya patok perbatasan negara. Menurut Chhun, tentara Vietnam telah masuk ke wilayah Kamboja dan mengusir penduduk dari tanahnya. "Penduduk desa mengklaim bahwa mereka telah kehilangan tanah mereka karena (Vietnam) membuat batas-batasnya di tanah Kamboja sejauh sekitar 500 meter," ujar Chhun dalam siaran Radio Free Asia.

Di sejumlah daerah di perbatasan kedua negara memang kerap terjadi sengketa. Sebelum penangkapan Chhun, pemerintah Kamboja menemukan 42 tenda tentara Vietnam di Provinsi Kandal yang berbatasan dengan Vietnam. Kedutaan Besar Kamboja di Hanoi, Vietnam, sempat mengeluarkan protes diplomatik yang meminta tenda-tenda itu disingkirkan. Perundingan terakhir kedua negara mengenai peta batas terjadi pada awal Agustus lalu.

Namun Komite Urusan Perbatasan Gabungan Kamboja-Vietnam membantah temuan Chhun. Mereka menuding Chhun telah menyebarkan kabar bohong. "(Mereka) secara sengaja mengarang masalah dan menerbitkan berita palsu dengan niat buruk yang bertujuan membingungkan opini publik... dengan tuduhan tak berdasar tentang urusan perbatasan dan hilangnya wilayah pemerintah," ucap Komite dalam pernyataannya.

Kelompok oposisi Kamboja, Mu Sochua (kanan) dan Rong Chhun di Phonm Penh, Juli 2010./ Reuters/Chor Sokunthea

Tak lama kemudian, polisi menciduk Chhun di rumahnya di Distrik Meanchey, Phnom Penh. Kuasa hukum Rong Chhun, Sam Sokong, menyatakan kliennya tak bersalah. Tapi pengadilan Kota Phnom Penh tetap mendakwa Chhun telah melakukan kejahatan melalui komentarnya tentang pos perbatasan tersebut. Dia dijerat dengan Pasal 495 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghasutan dengan ancaman hukuman penjara hingga lima tahun. Pasal ini dianggap sebagai pasal karet yang sering digunakan pemerintah untuk menekan kebebasan berbicara dan berekspresi. Sejak 2010, Human Rights Watch sudah menyerukan agar pemerintah menghapus pembatasan ekspresi politik secara damai dalam undang-undang itu.

Selama bertahun-tahun, Rong Chhun dikenal sebagai tokoh serikat pekerja dan aktivis politik yang vokal terhadap kebijakan pemerintah. Bekas pemimpin Asosiasi Guru Independen Kamboja itu kerap mengkritik Perdana Menteri Hun Sen. Menurut dia, lebih baik menjadi incaran para pemimpin politik karena berani mengkritik pemerintah ketimbang disalahkan di media massa gara-gara diam. "Saya sudah siap bertarung," tutur anggota Cambodia Watchdog Council itu.

Kegiatannya membela hak asasi manusia, mengurusi serikat pekerja, dan menjadi oposan membuat Chhun bolak-balik berurusan dengan polisi dan penjara. Dia pernah ditahan tanpa pernah diadili selama tiga bulan pada 2005 gara-gara mengkritik perjanjian perbatasan antara Kamboja dan Vietnam. Pada 2014, Chhun dan sepuluh aktivis lain ditangkap setelah menuntut pemerintah membebaskan puluhan pengunjuk rasa yang memprotes hasil pemilihan umum 2013, yang dimenangi Hun Sen tapi ditolak oposisi karena dituduh curang.

Pada Desember 2018, Chhun dan lima pemimpin serikat pekerja lain divonis hukuman percobaan dua setengah tahun penjara karena demonstrasi yang berujung kisruh empat tahun sebelumnya. Dalam protes itu, menurut laporan Human Rights Watch, justru para polisilah yang menyerang para pengunjuk rasa dan orang-orang yang kebetulan berada di lokasi. Ketika demonstrasi berlangsung, Chhun dan koleganya justru sedang bertemu dengan Menteri Tenaga Kerja Kamboja untuk membahas upah pekerja.

Aliansi Serikat Pekerja dan Hak Asasi Kamboja menilai penahanan Rong Chhun sekarang telah melanggar hak menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi. Dalam surat pernyataan yang diteken 141 organisasi sipil itu, penahanan Chhun juga dinilai menjadi ancaman bagi setiap warga Kamboja yang seharusnya dilindungi negara.

Phil Robertson mengatakan Rong Chhun adalah tokoh yang progresif dan aktif mendorong penghargaan terhadap hak asasi dan demokrasi. Dia mengenal Chhun sebagai orang yang berani berbicara dan melakukan perubahan sosial. Aksinya sebagai pembela hak pekerja dan warga desa selalu dilakukan dengan damai. "Alih-alih menahannya dengan dakwaan palsu, pemerintah Kamboja seharusnya mendengarkan dia," ujarnya.

Penahanan Chhun juga memantik protes internasional. Kamboja masuk daftar negara yang memiliki hubungan dagang khusus dengan Uni Eropa melalui perjanjian "Everything but Arms". Perjanjian pada 2001 itu memungkinkan Kamboja mengekspor semua komoditasnya, kecuali senjata api, ke Uni Eropa dengan bebas pajak dan kuota. Kamboja menjadi salah satu negara yang meraup keuntungan besar karena memasok sekitar 40 persen komoditas ekspor ke negara-negara di Benua Biru tersebut. Tahun lalu, nilai ekspornya, yang didominasi produk garmen, mencapai 5,6 miliar euro.

Banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di Kamboja menjadi salah satu faktor yang membuat Uni Eropa meninjau ulang kesepakatan dagang itu. Organisasi negara-negara Eropa itu akhirnya mengurangi porsi komoditas ekspor yang bebas pajak. Sejak 12 Agustus lalu, sebagian produk ekspor Kamboja, seperti garmen dan alas kaki, dikenai tarif pajak yang sama dengan anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) lain.

Pemerintah Kamboja, menurut Robertson, terlalu menganggap remeh kondisi dunia dan merasa punya impunitas ketika menangkap Rong Chhun. Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa serta negara-negara di Benua Amerika dan Eropa sibuk menangani pandemi Covid-19, kondisi di Kamboja tetap terpantau. "Human Rights Watch dan asosiasi pekerja internasional akan terus mendesak pembebasan Rong Chhun," ucapnya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (RADIO FREE ASIA, CAMBODIA DAILY, PHNOM PENH POST, VOA CAMBODIA, EURO NEWS, CAMBOJA NEWS)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus