Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Matahari menyengat. Kami menanjak bukit di luar Auvers.... Kemudian kami tiba di kuburan, sebuah permakaman kecil yang baru, bertaburan dengan batu nisan anyar. Di bukit kecil di atas ladang yang siap disemai, di bawah langit biru nan luas, yang pasti masih dia cintai. Mungkin. Lalu dia dipusalarakan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
(Surat dari pelukis Emile Bernard kepada pengamat seni Gabriel-Albert Aurier, menceritakan penguburan Vincent van Gogh di Auvers-sur-Oise pada 30 Juli 1890.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUNJUNG Auvers-sur-Oise, desa berjarak 35 kilometer arah barat laut dari Paris, Prancis, dengan mudah bisa menyusuri jalan menanjak menuju permakaman Vincent van Gogh, yang berdampingan dengan adik dan orang terdekat dalam hidupnya, Theo van Gogh. Theo menyusul kakaknya enam bulan kemudian, pada usia 33 tahun, antara lain karena begitu sedih ditinggalkan Vincent. “Theodore van Gogh, yang begitu setia kepada kakaknya, yang selalu mendukung (Vincent) dalam perjuangan seninya, menangis tersedu-sedu sepanjang hari,” kata Emile Bernard dalam suratnya.
Lanskap ladang gandum dan jagung di bawah langit biru ini masih persis seperti digambarkan Bernard 130 tahun yang lalu. Kuburan Vincent dan Theo, dengan batu nisan sederhana yang diselimuti belukar dan bunga matahari, terletak di tembok sebelah kiri permakaman, yang masih tetap dipakai penduduk setempat.
Makam Vincent dan Theo van Gogh, di Auvers-sur-Oise, Pancis, 2 Agsutus lalu. Linawati Sidarto
Auvers-sur-Oise seakan-akan mengajak pengunjung kembali ke masa lebih dari seabad silam, saat seorang seniman Belanda yang melarat tiba di sana dan menyewa kamar di penginapan milik keluarga Ravoux. Di penginapan itu, Van Gogh membayar 3,5 franc sehari untuk ongkos tidur dan makan. “Dia datang dan tentu bertanya tentang harga dan apakah ada tempat kosong. Ah, orang tua saya langsung cocok dengan dia dan dia menjadi tamu kami,” ujar Adeline Ravoux, yang berumur 14 tahun ketika Van Gogh tiba di Auvers. Ingatan Ravoux ini terekam dalam wawancaranya dengan sebuah stasiun radio Prancis pada 1953 dan dimuat dalam buku Attacked at the Roots karya sejarawan peneliti Van Gogh, Wouter van der Veen.
Penginapan Ravoux tak banyak berubah. Namun sayang, karena pandemi, semua kamar, termasuk ruang tidur berukuran 7 meter persegi yang disewa Van Gogh, tertutup untuk pengunjung sampai tahun depan. Adeline Ravoux sendiri pernah diminta Van Gogh menjadi model lukisannya yang kelak tersohor, berjudul Woman in Blue. “Dia meminta saya duduk, yang kemudian saya ikuti dengan senang hati karena dia begitu sederhana dan baik hati,” katanya. Bahkan Ravoux beberapa kali menjadi model lukisan lelaki asal Zundert, Belanda, itu.
Menurut Ravoux, saat itu Van Gogh sering pergi ke luar desa, lalu kembali dengan sketsa. Namun sering juga pria itu mengerjakan lukisannya di penginapan. Tak jarang pula, kalau sketsanya belum selesai, Van Gogh akan pergi lagi sesudah makan siang. Ia lanjut bekerja di lokasi lukisannya, lalu kembali tepat waktu saat jam makan malam.
Hari-hari di Auvers adalah masa paling produktif untuk Van Gogh: dia menghasilkan lebih dari 70 lukisan, puluhan sketsa, dan gambar dalam 70 hari. Termasuk beberapa lukisannya yang terkenal, seperti Church in Auvers-sur-Oise, Wheatfield with Crows, dan Portrait of Doctor Gachet. Obyek lukisan ini bisa dijumpai pengunjung sampai sekarang. Dari Gereja Auvers yang memuat informasi soal lukisan Van Gogh sampai ladang gandum. Atau memandang goresan warna biru terang Van Gogh di langit.
“Kalau kita berdiri di hadapan Gereja pada jam tertentu saat fajar, warna langitnya persis biru seperti yang dilukis Van Gogh di kanvasnya,” ucap Regine Cirotteau, seniman asal Paris yang sudah 20 tahun tinggal di desa berpenduduk 7.000 orang yang disambangi sekitar 300 ribu pengunjung setiap tahun itu.
Kedatangan Van Gogh ke Auvers pada Mei 1890 tak lepas dari jasa adiknya. Theo van Gogh-lah yang membantu sang kakak pindah setelah keluar dari Rumah Sakit Jiwa St. Rémy-de-Provence di Prancis selatan. Adapun Theo tinggal di Paris bersama istrinya, Johanna Bonger, dan bayi mereka, Vincent Willem. Pada saat itu, Auvers sudah dikenal sebagai desa seniman dan menjadi tujuan favorit warga Paris berakhir pekan.
Salah satu pemilik rumah liburan di Auvers adalah Paul-Ferdinand Gachet, dokter yang juga pencinta dan kolektor seni. Menurut peneliti senior Museum Van Gogh Amsterdam, Teio Meedendorp, Theo meminta Gachet mengawasi Vincent van Gogh. “Sebetulnya Gachet menyarankan Vincent untuk menyewa penginapan lebih dekat ke rumahnya, tapi tempat Ravoux lebih murah. Jadi akhirnya Vincent menetap di sana,” kata Meedendorp kepada Tempo.
Walau semangat melukis Van Gogh menyala-nyala, tak ada yang tahu persis dengan semangat hidup pria itu. Kemurungannya mulai menjadi setelah kunjungan terakhirnya ke rumah Theo di Paris pada 6 Juli, seperti terbaca lewat surat-suratnya. Hari itu sang adik mengaku soal kemungkinan keluar dari pekerjaannya di galeri seni.
Selain itu, kesehatan Theo dan anak bayinya buruk saat itu. Theo, tulis Van der Veen dalam Attacked at the Roots, pusing memikirkan situasi keluarganya. “Dia tidak sediplomatis biasanya ketika kakaknya berkunjung,” ujarnya. Sepulang dari kunjungan tersebut, Van Gogh “sangat terganggu oleh pengalamannya di Paris”, dan yakin bahwa dia adalah beban berat untuk situasi keuangan adiknya serta ragu akan kebahagiaan keluarga kecil itu.
Sejak hari itu, Van der Veen melanjutkan, Van Gogh tidak lagi melukis figur orang di kanvasnya. “Bahkan dalam lukisan Balai Kota Auvers yang dia buat pada 14 Juli, hari nasional Prancis, tidak terlihat satu pun orang.”
Adeline Ravoux (tengah) bersama keluarga Ravoux di depan penginapan mereka, sekitar akhir abad ke 19. Institut Van Gogh, Auvers-sur-Oise
Peneliti sang perupa, seperti Steven Naifeh dan Gregory White Smith, yang menulis biografi Van Gogh: The Life pada 2011, tidak yakin Van Gogh bunuh diri karena dia kelihatan tenang dan produktif di Auvers. Naifeh dan Smith kemudian mengajukan teori alternatif: Van Gogh secara tidak sengaja ditembak oleh dua anak remaja yang mengganggunya, tapi dia berbohong untuk melindungi kedua remaja tersebut. Teori ini mendapat sambutan publik setelah alur cerita tersebut diangkat ke layar lebar, seperti dalam film Julian Schnabel at Eternity’s Gate (2018), yang dibintangi Willem Dafoe.
Namun ahli Van Gogh lain, seperti Van der Veen dan Meedendorp, menampik pendapat ini. Keduanya berpegang pada sejarah ketidakstabilan jiwa Van Gogh serta kesaksian sejumlah orang yang dekat dengan sang pelukis, seperti Adeline Ravoux dan Emile Bernard. Pada 28 Juli 1890, kata Ravoux, Van Gogh pergi keluar untuk melukis seperti biasanya. Namun, saat kembali, dia tampak aneh. Di kamarnya, Van Gogh menunjukkan lukanya kepada ayah Adeline Ravoux, sebuah lubang kecil di badannya. “Kali ini tidak luput seperti dulu. Kali ini saya berhasil,” kata Van Gogh.
Keluarga Ravoux memanggil Dr Gachet malam itu juga, tapi dia tidak bisa lagi menolong Van Gogh. Sejarawan dan kurator Antoon Erftemeijer menganggap Van Gogh pada hari-hari terakhirnya masih produktif, tapi bukan berarti dia tidak mengalami depresi. “Kadang kerja keras justru dipakai untuk mencoba menyingkirkan pikiran lain,” ujar Erftemeijer.
LINAWATI SIDARTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo