Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anak-anak di panti asuhan yang dikelola Bruder Angelo terusir dan dipindahkan ke dua panti lain.
Ada 46 anak yang kini menempati rumah berukuran dua lapangan voli.
Komunikasi pengelola panti baru dan Keuskupan Bogor tak berjalan harmonis.
PULUHAN anak laki-laki meriung di ruang tamu rumah Darius Moa Rebong di Jalan Kamboja, Depok, pada Rabu, 19 Agustus lalu, menjelang magrib. Seorang di antaranya membagikan buku fotokopian. Anak lain memperingatkan mereka yang masih kasak-kusuk agar tenang. Bersama-sama, mereka kemudian mendaraskan ibadat penutup hari atau completorium.
Rumah Darius kini menjadi tempat penampungan anak-anak eks penghuni Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani yang dipimpin Lukas Lucky Ngalngola alias Bruder Angelo, rohaniwan Katolik dari ordo Blessed Sacrament Missionaries of Charity, yang bermarkas di Filipina. Sebelumnya, sekitar 70 anak tinggal di panti di Perumahan Mutiara Depok, Jawa Barat, itu. “Kini tersisa 46 anak,” kata Darius kepada Tempo, Kamis, 20 Agustus lalu.
Tak ada papan petunjuk yang menandai rumah berluas dua kali lapangan voli itu sebagai panti. Bagian depan rumah digunakan Darius dan keluarganya. Ruang tamu dan teras acap dipakai sebagai tempat makan dan ibadat bersama. Menurut Darius, di ruang tamu kerap digelar kasur lipat sebagai alas tidur mereka yang masih bocah.
Mereka yang menginjak remaja menempati kamar di bagian belakang. Ranjang-ranjang bersusun ditempatkan menempel dengan tembok, dengan sedikit celah di antaranya. Hanya ada satu kipas angin di sana. Ruang itu juga digunakan untuk menyimpan lemari pendingin dan bahan pangan, seperti beras. Ada juga dipan-dipan yang ditempatkan di “kamar” darurat, tak berpintu dan berlantai tanah. “Sebagian atapnya bahkan bocor,” ujar Darius.
Sejumlah anak yang ditemui Tempo bercerita bahwa kegiatan di panti ini dimulai pada pukul enam pagi. Pada masa pandemi corona, mereka belajar secara online. Setelah itu, mereka mengerjakan kewajiban masing-masing, seperti mencuci piring, mencuci baju, dan membersihkan rumah. Menjelang sore, ada kegiatan doa bersama. Setelah itu, mereka biasanya berolahraga di luar rumah. Pada malam hari, mereka berdoa bersama dan mengerjakan tugas sekolah.
Rumah Darius digunakan sebagai tempat penampungan setelah Bruder Angelo ditangkap pada 14 September 2019. Seorang pengurus panti, Tarsisius Usnaat, bercerita bahwa penduduk di sekitar panti itu meminta rumah kontrakan yang disewa Angelo segera dikosongkan. “Harus dikosongkan hari itu juga,” katanya. Pengelola panti kelimpungan mencari tempat baru untuk sekitar 70 anak.
Uskup Bogor, Paskalis Bruno Syukur, berinisiatif memindahkan mereka ke Panti Asuhan Griya Asih di Cempaka Putih, Jakarta Timur, dan Panti Asuhan Santo Yusup Sindanglaya, Cipanas, Jawa Barat, dua hari setelah Angelo ditangkap. Ada juga anak yang kembali ke rumah keluarganya. Namun, di dua panti asuhan itu, anak-anak yang bersekolah di Depok, di sekitar rumah yang dikelola Angelo, sulit ke sekolah. Padahal mereka sedang menjalani ujian tengah semester.
Ketua Komisi Pelayanan Hukum Keuskupan Bogor Agus Setyo Purwoko lalu menghubungi Darius. Agus, kata Darius, menceritakan nasib anak-anak itu dan meminta bantuannya. “Om, minta tolong dicarikan tempat kosong karena keuskupan mau mengontrak rumah untuk anak-anak ini,” ujar Darius menirukan permintaan Agus.
Darius lalu menawarkan bagian belakang rumahnya. Keuskupan setuju mengontrak rumah tersebut untuk durasi setahun. Setelah kontrak disepakati, istri Tarsisius Usnaat, yang akrab disapa Mama Michel, memboyong empat anak pertama ke rumah itu. Secara bergelombang anak-anak ini mulai boyongan ke Jalan Kamboja. Pada 30 September 2019, sebanyak 23 anak dari Panti Asuhan Santo Yusup Sindanglaya bergabung. Setelah itu, anak-anak eks asuhan Angelo yang berada di Panti Asuhan Griya Asih berbondong-bondong ke rumah Darius.
Untuk memastikan keberlangsungan hidup dan sekolah anak-anak ini, Darius menemui Uskup Paskalis Bruno Syukur pada 26 November 2019. Dalam pertemuan itu, hadir juga Agus Setyo Purwoko dan Direktur Panti Asuhan Santo Yusup, Pater Haryo. Paskalis Bruno menanyakan perkembangan anak-anak yang ditampung di rumah Darius. Menurut Darius, Uskup Bogor mempersilakan dia menangani anak-anak ini. “Gereja mendorong awam (masyarakat biasa) untuk berkarya di bidang sosial,” kata Darius menirukan ucapan Uskup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana panti asuhan Fransiskus Asisi yang dikelola Darius Rebong di Depok, Jawa Barat, pada 19 Agustus 2020. TEMPO/Wayan Agus Purnomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditemui Tempo pada Jumat, 21 Agustus lalu, Paskalis bercerita, ada beberapa opsi yang dikaji Keuskupan Bogor dalam pertemuan November tahun lalu. Salah satunya mengembalikan mereka ke kampung halaman. Namun opsi ini urung dipilih karena anak-anak saat itu tengah menjalani ujian akhir semester. Belakangan, komunikasi antara keuskupan dan Darius justru kurang harmonis. “Beliau berinisiatif mengambil alih dengan mendirikan yayasan,” ujar Paskalis. Yayasan itu didirikan Darius pada 10 Desember 2019. Dua hari berselang, dia mendirikan Panti Asuhan Santo Fransiskus Asisi.
Tinggal di rumah Darius, anak-anak kembali bersekolah. Jarak sekolah dengan rumah baru mereka tak terlalu jauh. Anak-anak yang bersekolah di SMP dan SMA Budi Bhakti, misalnya, cukup berjalan kaki selama 20 menit. Persoalannya adalah makanan yang disediakan untuk mereka. Sehari-hari, kata anak-anak ini, mereka kerap memakan nasi telur, yang sesekali diselingi mi instan. Dua anak bercerita, mereka pernah makan nasi yang berbau apak. Berasnya diambil dari gudang donasi milik Bruder Angelo yang telah lama tertimbun.
Pengelola panti milik Angelo yang kini ikut mengurus anak-anak di rumah Darius, Tarsisius Usnaat, membenarkan cerita itu. Menurut dia, saat itu terjadi kekurangan beras. “Sehingga kami terpaksa menanak beras apak,” ujarnya. Darius bukannya tak menyadari persoalan ini. Ia mengaku mengeluarkan duit pribadi untuk mengurus anak-anak itu. Dia pun mengandalkan sumbangan donatur untuk operasionalisasi panti asuhan. “Lewat seorang kawan, saya juga mengajukan proposal ke Dinas Sosial Kota Depok,” katanya.
Di luar masalah makan, Darius mengaku mencoba memulihkan mental dan trauma anak-anak. Menurut dia, sebagian anak mulai berani menceritakan perundungan seksual yang diduga dilakukan Bruder Angelo kepada mereka. Namun ada juga yang menganggap peristiwa itu sebagai aib yang harus disimpan rapat-rapat. Darius meyakini sebagian besar anak yang ditampungnya pernah dilecehkan.
Tiga anak yang pernah dilecehkan Angelo mengaku masih kerap teringat pada peristiwa suram tersebut. Mereka pun merasa muak saat memori itu kembali muncul. Namun ketiganya kompak bersyukur masih bisa tinggal bersama dengan teman-teman mereka. “Yang penting jangan sampai kami tercerai-berai,” ujar Simeon—bukan nama sebenarnya.
WAYAN AGUS PURNOMO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo