Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Penelitian Ini Dibiayai Sponsor

Wawancara Rektor Universitas Airlangga Surabaya Mohammad Nasih soal kombinasi obat Covid-19 dan kontroversinya.

22 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rektor Universitas Airlangga, Mohammad Nasih./Youtube/Universitas Airlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMBINASI obat yang dihasilkan peneliti Universitas Airlangga, Surabaya, dengan dukungan Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat resmi disampaikan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), Rabu, 19 Agustus lalu. "Kalau nanti dievaluasi ada yang kurang, akan kami perbaiki," kata Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih dalam wawancara via telepon dengan Abdul Manan, wartawan Tempo, Kamis, 20 Agustus lalu. Ia menjelaskan ide awal pembuatan kombinasi obat ini serta keterlibatan BIN dan militer, juga kontroversinya.

Bagaimana ide awal pembuatan kombinasi obat ini?

Awalnya, kami ingin bikin obat baru. Proposal ide itu kami kirimkan kepada berbagai pihak awal Maret lalu. Mendengar kabar itu, ada pihak (BIN) yang tertarik. Tapi obat baru itu perlu proses lama, sementara negara butuh yang cepat. Obat baru selesainya 2021 dan mungkin Covid-19 sudah pergi. Lalu muncul ide mencari yang cepat. Untuk itu, kami bikin penelitian obat-obat yang sudah dipakai dokter, mana yang paling efektif. Lalu muncul ide, bagaimana kalau dikombinasikan? Kalau kita ke dokter biasanya kan diberi kombinasi empat-lima obat. Ide dasarnya itu.

Target awalnya seperti apa?

Sebenarnya target awal di tahap in vitro (pengujian laboratorium). (Menemukan) obat yang paling efektif. Output-nya berupa rekomendasi kepada pengguna obat. Kalau mau kombinasi, pakai obat ini. Hanya itu. Tapi kemudian di masyarakat ada pertanyaan, ini belum diuji klinis. Kemudian kami uji klinis. Setelah uji klinis, ramai lagi. Oke, kami sempurnakan.

Bagaimana BIN ikut membiayai penelitian ini?

Ketika tahu Universitas Airlangga punya lima senyawa, yang kami beri nama Unair 1-5. Unair tak punya uang untuk membiayai penelitian. Dalam diskusi (dengan BIN) kemudian muncul penjadwalan. Waktu itu baru tahap uji pada tikus besar. September baru bisa disampaikan hasilnya secara bertahap. Dari situ uji klinis lagi pada manusia tiga-delapan bulan. Baru Februari 2021 insya Allah kelar. Nunggu segitu kan kelamaan. Lalu muncul solusi jangka pendek, menguji kombinasi obat ini.

Kenapa menerima tawaran kerja sama dengan BIN dan TNI AD?

Ini kerja sama terbuka. Mungkin yang awalnya lebih care, tahu kondisi, sempat memprediksi, itu kan BIN. Jadi dia lebih terdorong untuk tertarik menangani ini. Kami di Unair juga ikut solidarity trial WHO, Oxford, dan penelitian serupa lain. Yang ini kok yang lebih tertarik kawan-kawan itu (BIN dan TNI AD). Ada yang membiayai, ya, jalan, karena peneliti kan tidak punya uang.

Subyek penelitian banyak diambil dari siswa Sekolah Calon Perwira (Secapa) Angkatan Darat yang terkena Covid?

Itu hukum alam juga. Awalnya kami siap ambil subyek di beberapa tempat, sampai akhirnya Tuhan menakdirkan ada peristiwa di Secapa itu. Kami diminta menangani Secapa. Jadi di tempat lain berjalan, tapi tidak secepat di Secapa. Jadi tidak kami rekayasa.

Benarkah orang tanpa gejala (OTG) di Secapa yang menjadi subyek uji klinis?

Kalau OTG, sudah kami keluarkan. Kami punya ribuan subyek. Dari sekitar 1.100 subyek, yang kami temui di rumah sakit hanya 784. Ada 400-an OTG dan tak memenuhi syarat.

Efektivitas obat juga dipertanyakan karena memakai obat yang tidak dilanjutkan pengujiannya untuk Covid-19....

Bukan dilarang, lho, ya. Hanya kemudian dihentikan proses di solidarity trial-nya. Dalam temuan kami, ketika disandingkan dengan yang lain, ternyata ada kekuatan yang saling mendukung. Pasien yang punya penyakit jantung tidak ada di subyek kami. Klorokuin konon berpengaruh pada penderita jantung. Di pasien kami tidak ada.

Karena itulah subyek uji klinis ini dinilai kurang mewakili demografi?

Nanti kami carikan lagi (kalau itu dibutuhkan). Kami diberi target waktu. Harus cepat. Oleh Badan POM diberi target minimal 600 subyek. Ketika sudah mencapai target, hasilnya kami laporkan. Bahwa nanti kalau dievaluasi ada yang kurang, akan kami perbaiki. Obat ini yang dipakai para dokter. Tanpa hasil penelitian itu, dokter sudah pakai. Insya Allah dijamin aman.

Efektivitas kombinasi obat ini bagi penyembuhan pasien Covid kan dipertanyakan. Seperti apa hasilnya?

Dari yang bisa diungkap, negatif-positif. Dari semula positif jadi negatif. Itu bisa kami tunjukkan. Kalau dengan itu masyarakat tidak cukup puas, sebenarnya yang perlu diungkapkan lagi dan sudah ada datanya adalah data klinisnya, data hasil laboratorium. Kalau hanya melihat kesimpulannya, memang mencengangkan.

Kenapa tidak mempublikasikan data detailnya?

Sekarang banyak mata-mata yang melihat. Tentu tak bisa menyampaikan data yang sangat detail. Begitu masuk ke detail, para pihak siap langsung memproduksi dengan menambah beberapa tahap. Jadi kami harus memberikannya kepada yang memberi pekerjaan dulu, BIN dan TNI. Kalau kami publish sejak awal, itu tidak dalam bentuk jurnal, ada potensi tersebut, di samping masyarakat juga belum tentu paham data yang sangat detail. Tapi intinya datanya ada. Sudah diberikan kepada sponsor kami.

Penelitian ini menjadi polemik karena data tidak dipublikasikan detail?

Itu salah satunya. Tapi lagi-lagi ini bukan penelitian untuk tujuan itu. Ini dibiayai sponsor, dengan tujuan tertentu. Kalau Anda mendapat proyek gambar jembatan, apa iya gambar perlu di-publish dulu? Tapi tentu saja akan masuk ke sana. Meski itu bukan tujuan utama dari penelitian ini.

Anda berharap Badan POM memberikan izin produksi?

Kami minta kawan-kawan di Badan POM bisa menelaah dengan sangat obyektif. Kalau memang masih ada beberapa penyempurnaan bahan, tindak lanjut yang harus dilakukan, dengan senang hati akan kami lakukan. Sebab, kalau ada risiko apa-apa, kami juga yang kena. Harus tetap hati-hati. Dengan obyektivitas dan kehati-hatian itu, tentu kami juga punya keyakinan izin produksi akan diberikan. Kalau tidak ada efek samping berlebihan, tidak mematikan, apalagi obatnya dipakai banyak dokter, lha ngapain nunggu lama-lama. Soal poduksinya, itu bukan lagi urusan Unair.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus