Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH Ferrari abu-abu metalik menghantam seorang polisi bersepeda motor, menyeret tubuhnya di jalan beraspal, kemudian melesat cepat meninggalkan mayat yang koyak. Mengikuti tetesan oli rem yang tercecer di sepanjang jalan, polisi Bangkok mendapati jejak mobil mewah itu masuk melintasi gerbang rumah keluarga terkaya di Thailand.
Hampir lima tahun berlalu sejak insiden maut pada awal September 2012 itu. Sampai sekarang, pemeriksaan pengadilan atas Vorayuth Yoovidhya alias "Boss"-ahli waris perusahaan minuman berenergi berskala global, Red Bull-tak juga tuntas. Setiap kali pengadilan memanggil, pengacara Vorayuth yang selalu muncul dengan berbagai alasan: kliennya sedang sakit atau berada di luar negeri untuk urusan bisnis.
Pekan lalu, Associated Press menerbitkan hasil investigasi mereka menelusuri jejak Vorayuth, 31 tahun, sejak kecelakaan nahas itu. Dari berbagai foto dirinya di media sosial, terlacak bagaimana Vorayuth menjalani gaya hidup jetset di lokasi-lokasi mewah di seluruh dunia.
Beberapa pekan setelah peristiwa tabrak lari itu, Vorayuth berkeliling dunia dengan pesawat milik perusahaan ayahnya. Dia tampak di kursi VIP dalam balapan Formula 1, sedang sibuk mengelu-elukan tim Red Bull Thailand. Di London, dia tetap mengendarai Porsche kesayangannya yang berpelat nomor B055 RBR-kependekan dari Boss Red Bull Racing.
Pada Maret lalu, reporter AP menemukan Vorayuth dan keluarganya berlibur di kota kuno Luang Prabang di Laos. Mereka menginap di sebuah rumah peristirahatan dengan tarif US$ 1.000 per malam, makan malam di restoran termahal di sana, mengunjungi kuil-kuil, dan berendam di kolam renang.
Pendek kata, Vorayuth tak tersentuh. Pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Thailand hanya bisa mengangguk ketika pengacara Vorayuth kembali tak kuasa menghadirkan kliennya di sidang. "Vorayuth Yoovidhya sedang berada di luar negeri untuk urusan bisnis," kata si pengacara, dan sang hakim pun menunda sidang hingga 27 April nanti.
Sementara itu, keluarga polisi yang tewas diseruduk Ferrari Vorayuth sampai kini menanti keadilan. Sersan Polisi Wichean Galansplasert adalah anak termuda dari lima bersaudara yang hidupnya jauh dari gemerlap kota besar. Wichean anak pertama di keluarganya yang lulus perguruan tinggi dan mendapat pekerjaan di kota.
Dari penghasilannya yang sedikit, Wichean mengongkosi pendidikan keponakannya. Dalam keadaan yang serba sempit inilah keluarga Wichean menerima tawaran kompensasi sebesar US$ 100 ribu dari keluarga Vorayuth. Uang sebesar itu diberikan dengan syarat keluarga Wichean tidak mengajukan gugatan hukum atas Vorayuth.
Sejak itulah Vorayuth selalu menghindari panggilan pengadilan. Dia terus mengulur waktu, menunggu perkara atas dirinya kedaluwarsa. Tahun lalu, tuntutan pertama soal pelanggaran pasal mengenai "mengendarai kendaraan di atas kecepatan yang diizinkan" gugur. Tahun ini, tuntutan kedua soal "tabrak lari" bakal menyusul. Tinggal satu lagi: tuntutan soal "mengendarai mobil dengan ceroboh", yang akan kedaluwarsa lima tahun lagi.
Pakpong Srisanit, guru besar ilmu hukum dari Thammasat University, Bangkok, mengakui semua manuver Vorayuth masih dalam koridor hukum di sana. Meski polisi sudah menyerahkan berkas perkara ini ke tangan jaksa, perkaranya tak kunjung diadili karena jaksa terus menolak melimpahkan kasus ini ke pengadilan. "Ada masalah dengan sistem hukum Thailand," ujar Pakpong.
VORAYUTH Yoovidhya lahir pada 1986, ketika kemiskinan dan hidup yang prihatin pergi jauh dari keluarganya. Tatkala dia berumur setahun, perusahaan minuman berenergi Red Bull yang dibangun kakeknya go international. Sejak itu, keuntungan dan keberuntungan tak pernah lepas dari keluarga Yoovidhya.
Kakek Vorayuth, Chaleo Yoovidhya, adalah putra seorang pedagang bebek. Ia adalah pekerja keras yang senantiasa berjuang melawan kemiskinan yang melilit keluarganya. Kerja kerasnya membuahkan hasil pada 1956, saat ia mendirikan sebuah perusahaan farmasi, TC Pharma, yang banyak mengimpor obat-obatan dari Eropa. Namun lelaki yang berjiwa entrepreneur ini tak berhenti sampai di situ. Chaleo belakangan menciptakan minuman karbonasi mengandung kafein yang kemudian laris manis di kalangan pekerja kerah biru di Thailand. Itulah Red Bull.
Kemajuan bisnis Chaleo tak tertahan lagi tatkala TC Pharma menggandeng seorang pengusaha Austria, Dietrich Mateschitz, untuk masuk ke pasar global. Pada 2016, Red Bull sudah menebarkan sayap bisnisnya di 170 negara. Kini Red Bull adalah gurita bisnis yang memiliki klub sepak bola, mobil-mobil balap, dan pesawat-pesawat serta kerap menjadi sponsor utama dalam acara olahraga berskala internasional.
Dalam suasana yang serba melimpah inilah Vorayuth, cucu sang pionir, tumbuh. Seperti anak-anak taipan kaya lain di Thailand, sejak kecil Vorayuth mendapat pendidikan ala Inggris di Bradfield College yang sangat elitis. Setiap hari ia mengenakan jas-dasi, belajar, serta bergaul dengan anak-anak kalangan kelas atas dan ningrat Inggris. Biaya pendidikan di sana sekitar US$ 40 ribu setahun.
Perbedaan antara Vorayuth dan kakeknya seperti bumi dan langit. Vorayuth menghabiskan hidupnya dari satu pesta ke pesta lain, dari acara hiburan yang satu ke acara hiburan lain. Foto-foto di akun Instagram miliknya mempertontonkan hedonisme yang telanjang. Dia mengunjungi Rumah Harry Potter di Osaka, Jepang; dan berpacu di atas speedboat di pelabuhan Monako. Di Facebook, Vorayuth memamerkan foto-foto dari pesta ulang tahunnya di restoran supermewah milik koki kenamaan Gordon Ramsay di London.
Lima tahun lalu, di bawah tekanan dan cibiran masyarakat, juru bicara kepolisian wilayah Bangkok, Comronwit Toopgrajank, sempat bersumpah akan menegakkan keadilan bagi Wichean Galansplasert. Proses hukum atas penabrak anggota polisi yang tewas mengenaskan ketika melakukan patroli itu, kata dia, tak akan menguap begitu saja. "Kami tak akan membiarkan anggota kepolisian ini tanpa keadilan. Percayalah, kebenaran akan muncul dari kasus ini," ucap Comronwit. Namun, sampai ia pensiun pada 2014, pengadilan Vorayuth masih panggang dari api. "Saya sangat kecewa," ujar Comronwit.
Inilah Thailand, negeri yang kerap berganti rezim, acap diroyan konflik politik. Kini ia tumbuh dengan kelas menengah yang membesar tapi disparitas miskin-kaya yang terus menganga. Dua tahun lalu, seorang jenderal mengambil alih kekuasaan, memproklamasikan perang melawan korupsi dan ketidakadilan. Namun seorang pemuda baby-faced kini berdiri menghalangi jalannya.
"Hampir pasti ada budaya kekebalan hukum di sini; orang-orang besar, orang-orang dengan kekuasaan dan kekayaan, dapat bebas dari hukum setelah melakukan hal-hal yang buruk," kata Chris Baker, jurnalis yang banyak menulis tentang kondisi ekonomi dan politik di Thailand.
IDRUS F. SHAHAB (ASSOCIATED PRESS, BANGKOK POST, THE NEW YORK TIMES)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo