Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Agresi dan Gertak Sambal Trump

Amerika Serikat untuk pertama kalinya melancarkan serangan militer terhadap rezim Suriah. Strategi Gedung Putih guna menangkis tudingan kedekatan dengan Rusia.

17 April 2017 | 00.00 WIB

Agresi dan Gertak Sambal Trump
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Inilah ultimatum yang melempem. Ketika Rex Tillerson mendesak Kremlin untuk memilih antara Washington, DC, dan rezim Bashar al-Assad dalam konflik Suriah, Menteri Luar Negeri Amerika itu segera memperoleh jawaban. "Kita semua paham, (mereka yang) datang dengan ultimatum akan berakhir sia-sia," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova.

Tillerson melontarkan ultimatum itu menjelang kedatangannya di Moskow, Rusia, Selasa malam pekan lalu. Sejak sehari sebelumnya, pria 65 tahun itu menghadiri pertemuan menteri luar negeri negara-negara G7 di Lucca, Italia utara. Di Moskow, Tillerson bertemu dengan timpalannya, Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov. Mereka membahas situasi mutakhir setelah serangan Amerika terhadap sebuah pangkalan militer Suriah, lima hari sebelum itu.

"Kami ingin meringankan penderitaan rakyat Suriah," kata Tillerson kepada juru warta sesaat sebelum lawatan pertamanya ke Moskow sebagai bagian dari kabinet Donald Trump. Rusia, menurut dia, bisa berperan penting dan menjadi bagian dari masa depan Suriah. "Atau Rusia dapat mempertahankan aliansinya (dengan rezim Suriah dan Iran)."

Jawaban yang diterima Tillerson setibanya di Moskow tak mengagetkan. Kepada Tillerson, Lavrov mengatakan bahwa Amerika harus mempertegas sikap di tengah meningkatnya ketegangan dalam konflik Suriah. "Sangat penting bagi kami untuk memahami posisi Anda dan maksud sebenarnya pemerintah Anda," ujarnya pada awal perbincangan mereka.

Reaksi dari Lavrov itu sudah dinyana. Apalagi Presiden Vladimir Putin mempertegas posisi Kremlin, yang bakal tetap setia membela Assad. "Suriah dan Rusia, kami dianggap sebagai musuh bersama, menjalin hubungan makin erat," kata Putin. Sementara itu, hubungan Rusia dan Amerika, menurut Putin, justru di simpang jalan sejak Trump menguasai Gedung Putih. "Kerja sama militer bisa dibilang memburuk," ucapnya.

Hubungan itu semakin koyak setelah serangan Amerika pada 7 April lalu. Sebanyak 59 misil Tomahawk membombardir pangkalan udara Al-Shayrat di Provinsi Homs, 137 kilometer di timur laut Damaskus. Dua kapal perang Angkatan Laut Amerika, USS Ross dan USS Porter, masing-masing menembakkan 36 dan 23 misil dari Laut Mediterania. Serangan beruntun mulai pukul 03.40 itu menewaskan enam tentara Suriah dan menghancurkan 20 persen armada udara rezim Assad.

Trump seperti menghukum Assad, yang tidak manut. Di mata Trump, Assad bertanggung jawab atas serangan gas saraf di Khan Shaykhun, Idlib, tiga hari sebelumnya. Serangan lewat udara di wilayah pasukan oposisi itu menewaskan sedikitnya 87 orang, termasuk 16 perempuan dan 23 anak-anak, serta melukai ratusan warga sipil lainnya. "Saya perintahkan serangan terhadap pangkalan militer tempat senjata kimia itu diluncurkan," ujarnya.

Meski cukup menyentak "lawan-lawan" Washington, serangan itu tak menggoyahkan aliansi Suriah, Iran, Hizbullah, dan Rusia. "Agresi yang dilancarkan Amerika telah melanggar batas," begitu pernyataan bersama Iran dan Rusia. Presiden Iran Hassan Rouhani, dalam percakapan telepon dengan Assad, mengatakan, "Tudingan bahwa Suriah melancarkan serangan kimia hanya mengacaukan proses perdamaian Suriah."

Putin agaknya meradang terhadap ulah impulsif Trump. Apalagi Trump bersikap labil dalam isu Suriah. Selama kampanye, Trump berjanji akan terbuka untuk bekerja sama dengan Rusia dan Suriah. Menurut dia, melengserkan Assad bukan prioritas jika ia menjadi presiden. Namun aksi militer di Al-Shayrat menunjukkan sikap mendua Amerika. "Era kekuasaan Assad akan segera berakhir," kata Tillerson. Sedangkan Trump mengutarakan hal berbeda. "Kebijakan kami tetap. Kami tidak akan (terjun) ke Suriah," ujarnya.

Bagi Trump, serangan itu ibarat sekali tepuk dua lalat. Sejak konflik Suriah meletus enam tahun lalu, ini pertama kalinya militer Amerika melancarkan serangan langsung terhadap rezim Assad. Selama era Barack Obama, Negeri Abang Sam selalu menahan diri untuk terlibat dalam konfrontasi frontal dengan militer Suriah, meski mereka berhasrat mendongkel Assad. "Obama seharusnya melakukan hal ini sejak dulu," kata Trump.

Amerika seakan-akan kembali menggaungkan diri sebagai poros adidaya, kesan yang, menurut Trump, melemah di tangan Obama. Washington juga merapatkan barisan blok Barat-nya, yang berisi Inggris, Prancis, dan Turki. "Trump mengirim pesan bahwa Amerika tidak hanya siap menghadapi ancaman lokal (di Suriah), tapi juga tekanan dari Rusia," kata Anthony Cordesman, analisis militer dari Center for Strategic and International Studies.

Trump tidak hanya pamer otot di Timur Tengah. Sehari setelah serangan misil ke Suriah, Pentagon mengerahkan kapal induk USS Carl Vinson, yang sarat jet tempur, dan beberapa kapal perang lainnya menuju Semenanjung Korea. Kali itu Trump menantang Pyongyang, yang dikabarkan tengah menyiapkan uji coba nuklir. "Korea Utara telah menunjukkan perilaku yang provokatif," kata Kepala Penasihat Keamanan Nasional H.R. McMaster.

Di Suriah, aksi Trump rupanya juga mengusung motif pribadi. Anak ketiga Trump, Eric Trump, mengatakan serangan rudal jelajah terhadap pangkalan Al-Shayrat membuktikan bahwa Amerika berani melawan Rusia, dan Trump senior, sang ayah, tidak mudah "tunduk" pada Putin. "Ini menguatkan fakta bahwa (Trump) tidak ada hubungan dengan Rusia," ujar Eric setelah mengunjungi resor golf Turnberry milik ayahnya di Ayrshire, Skotlandia.

Bagi Trump, menjaga jarak dengan Moskow kini menjadi urusan krusial. Sebab, di dalam negeri, ia dan kroninya tengah berada di bawah kaca pembesar Biro Investigasi Federal (FBI) dan lembaga intelijen. Mereka diselidiki dalam kasus dugaan intervensi Rusia dalam pemilihan presiden pada November tahun lalu. Campur tangan Moskow diyakini turut berperan memenangkan Trump. Di Capitol Hill, kongres mengusut kecurigaan serupa.

Tudingan kedekatan Trump dan Kremlintanpa menyebut gamblang, Putinmerentang sejak insiden peretasan terhadap server Komite Nasional Partai Demokrat terkuak. Sejak itu mencuat tuduhan bahwa pejabat-pejabat dan agen telik sandi Rusia telah membantu Trump dengan menggembosi strategi pemenangan kandidat pesaingnya, Hillary Clinton.

Trump selalu menampik tudingan itu. Namun ia tampaknya mulai ketar-ketir karena satu per satu orang dekatnya masuk pengawasan FBI. Roger J. Stone, bekas penasihat Trump selama masa kampanye; Paul Manafort, bekas ketua tim kampanye; Carter Page, eks penasihat kebijakan luar negeri; serta Michael Flynn, mantan penasihat keamanan nasional. Belakangan, Jared Kushner, menantu Trump, juga masuk radar FBI.

Lewat aksi militer di Suriah, Trump mempertaruhkan perang melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Operasi anti-ISIS terancam limbung akibat naiknya tensi hubungan Amerika-Rusia. ISIS menjadi musuh bersama yang mempersatukan Washington, Moskow, dan Damaskus. "Kami harus melakukan penyesuaian operasi setelah serangan terhadap rezim Suriah," kata juru bicara Operasi Gabungan Anti-ISIS di Pentagon, Kolonel John Dorrian.

Amerika telah menerjunkan ratusan anggota pasukan khusus untuk membasmi milisi ISIS. Pentagon juga sepakat bertukar informasi intelijen dengan Rusia. Sepanjang pekan lalu, misalnya, koalisi anti-ISIS yang dipimpin Amerika telah melancarkan 123 serangan udara di ibu kota de facto ISIS, Raqqa. "Operasi militer harus secepatnya berjalan normal," ucap Dorrian.

Di Moskow, Tillerson mengemban tugas berat untuk menyampaikan isyarat yang diinginkan Trump. Bekas Chief Executive Officer ExxonMobil itu dulu dikenal dekat dengan Putin, berkat transaksi bisnis minyak dan gas bernilai miliaran dolar. Namun kali ini Tillerson kudu membujuk Putin, yang ternyata tak mudah. "Tingkat kepercayaan di antara negara kami sangat rendah," ujarnya setelah dua jam berbincang dengan Putin.

MAHARDIKA SATRIA HADI (AP, THE ATLANTIC, THE HILL, CNN, RT, NEW YORK TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus