Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aksi Hana-Rawhiti Maipi-Clarke, anggota parlemen Selandia Baru dari Te Pati Maori, yang memimpin tarian Haka di parlemen Selandia Baru menjadi sorotan publik. Maipi-Clarke berasal dari Suku Maori dan dia menari Haka sebagai bentuk protes terhadap rancangan undang-undang (RUU) kontroversial dalam sidang yang digelar pada Kamis, 14 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUU yang diusulkan Partai Libertarian Act itu memuat perubahan penafsiran undang-undang perjanjian Selandia Baru antara suku Maori dengan Kerajaan Inggris. Aturan kontroversial dinilai berpotensi mengancam hak-hak Suku Maori di Selandia Baru karena menghapus prinsip-prinsip penting yang tertuang dalam perjanjian Waitangi-- perjanjian yang ditandatangani 184 tahun lalu antara lebih dari 500 kepala suku Maori dan Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah gerakan tarian dan nyanyian, Maipi-Clarke juga merobek salinan RUU tersebut. RUU ini pun menuai kritik keras dari masyarakat luas. Ribuan orang hkoi atau pawai protes selama sembilan hari. Demonstran ini diperkirakan tiba di parlemen pekan depan sebagai bentuk solidaritas.
Haka adalah tarian tradisional sejenis tari perang yang dilakukan oleh suku Maori kuno. Tarian ini dilangsungkan saat berbagai kelompok berkumpul dalam kondisi aman dan damai ketika di medan perang.
Suku Maori merupakan suku pertama yang menghuni di Selandia Baru. Dilansir dari Britannica, tarian haka melibatkan seluruh bagian tubuh dalam gerakan berirama yang berenergi, seperti bergoyang, menepuk dada dan paha, menghentak, serta gerakan lainnya.
Berbagai gerakan tersebut disertai dengan nyayian serta mimik muka yang galak dengan makna mengintimidasi. Ada pula ekspresi mata melotot dan menjulurkan lidah, dengan makna persiapan di medan perang yang dilakukan oleh prajurit pria.
Tarian Haka muncul karena legenda dari suku Maori, ketika dewa matahari yaitu Tama-nui-te-ra dan salah satu istrinya, Hine-raumati dan putranya Tane-rore, ingin mewujudkan esensi musim panas.
Suku Maori menganggap gerakan yang menggetarkan udara pada hari musim panas sebagai tanda tarian untuk dewa matahari. Gerakan tersebut yang mendasari munculnya berbagai tarian Haka.
Dulu tarian haka dilakukan sebagai bentuk ritual pertemuan antara dua belah pihak, serta penyambutan anggota suku yang baru. Namun seiring berjalannya waktu, tarian ini mulai dilakukan untuk menyambut acara ulang tahun, pernikahan dan pemakaman, serta acara perayaan lainnya. Sejak 1972, pertunjukan tarian Haka menjadi salah satu ciri khas festival seni pertunjukan Te Matatini yang sangat populer dan diadakan dua tahun sekali di Selandia Baru.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini