Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HILLARY Rodham Clinton digoyang lagi. Setelah dilanda kontroversi soal surat elektronik, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat itu kembali diguncang lawan politiknya. Awal Juni lalu, Ketua Komisi Hukum Senat Chuck Grassley menyurati Menteri Luar Negeri Rex W. Tillerson agar menyelidiki dugaan campur tangan Hillary dan stafnya untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi Muhammad Yunus, pemenang Nobel dan pendiri Grameen Bank di Bangladesh.
Langkah Grassley, senator dari Partai Republik, ini merupakan penyelidikan resmi pertama terhadap Hillary sejak kekalahan istri Bill Clinton itu dalam pemilihan presiden 2016. "Kami tahu soal surat itu dan sedang menyiapkan tanggapannya," kata pejabat Kementerian Luar Negeri kepada Fox Business, 8 Juni lalu.
Dalam suratnya, Grassley mengutip laporan The Daily Caller News Foundation's Investigative Group mengenai tekanan Hillary terhadap Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina Wazed dan putranya, Sajeeb Wazed Joy. Saat menjabat Menteri Luar Negeri, Hillary mengirim sejumlah diplomat top Amerika menemui Hasina dan Wazed Joy ketika pemerintah Bangladesh sedang menyelidiki dugaan korupsi dan kesalahan manajemen di Grameen Bank, lembaga mikrokredit terkenal di negeri itu, pada 2013.
Muhammad Yunus, yang saat itu menjabat direktur utama bank tersebut, diduga mengalihkan dana hibah dari Badan Norwegia untuk Kerja Sama Pembangunan (NORAD) dan lembaga donor lain untuk Grameen Bank ke Grameen Kalyan, anak perusahaan yang didirikan Yunus tapi tak terlibat dalam program kredit mikro, selama 1990-an. Pemerintah Norwegia mempertanyakan pengalihan itu pada 1998.
Masalah ini meledak ketika diangkat dalam film dokumenter Terperangkap Utang Mikro karya Tom Heinemann, yang disiarkan stasiun televisi Norwegia, NRK, pada 30 November 2010. Yunus buru-buru membuat klarifikasi dalam sebuah konferensi pers dan menyatakan akan mengembalikan semua dana hibah itu. "Nanti, bukan hanya uang NORAD, tapi juga 100 persen uang donor yang mencapai hampir 3,5 miliar taka (sekitar Rp 458 miliar dengan kurs saat itu) ditransfer kembali dari Grameen Kalyan ke Grameen Bank," ujar Yunus.
Pemerintah Norwegia menyimpulkan tak ada korupsi dalam kasus ini dan menganggap beres setelah dana itu dikembalikan. "Menurut laporan NORAD, tak ada indikasi bahwa dana Norwegia telah dipakai untuk tujuan yang tak dikehendaki atau Grameen Bank terlibat praktik korupsi atau penggelapan dana," kata Menteri Lingkungan dan Pembangunan Internasional Erik Solheim.
Berbagai masalah itu tak sampai menyeret Yunus ke meja hijau. Tapi Yunus dipaksa mundur dari jabatannya sebagai Direktur Utama Grameen Bank pada 2 Maret 2011. Berdasarkan undang-undang perbankan negeri tersebut, usia pejabat bank maksimum 60 tahun, sedangkan Yunus saat itu 70 tahun. Yunus sempat mengajukan permohonan banding ke pengadilan tinggi, tapi ditolak.
Deputi Sekretaris Pers Perdana Menteri Bangladesh, Md Nazrul Islam, menyatakan Hillary Clinton menghubungi Hasina Wazed ketika Yunus dipecat. "Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menelepon Perdana Menteri Sheikh Hasina pada Maret 2011 yang mendesak Hasina agar tidak menggeser Muhammad Yunus dari posisi Direktur Utama Grameen Bank," ucapnya kepada Circa, media online berbasis di Amerika Serikat, via surat elektronik.
Komisi Grameen Bank, yang dibentuk pemerintah Bangladesh pada 2012 untuk menyelidiki masalah ini, menemukan bahwa bisnis bank itu dan kepemimpinan Yunus punya banyak masalah. Misalkan, selama bertahun-tahun Packages Corporation, bisnis keluarga Yunus, mendapat pinjaman dan proyek dari Grameen Bank tanpa melalui tender. Yunus juga mengambil banyak keputusan, termasuk pendirian 30 anak perusahaan dan menjadi direktur di sana tanpa melalui persetujuan Dewan Direksi Grameen Bank.
Ketika penyelidikan tengah berjalan selama 2012-2013, Sajeeb Wazed Joy mengaku didatangi berkali-kali oleh pejabat senior Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Mereka, kata Wazed Joy, menekan dia agar mempengaruhi ibunya untuk menghentikan penyelidikan itu. "Mereka mengancam saya bahwa laporan pajak saya akan diaudit oleh Biro Pajak (Internal Revenue Service)," ujar Wazed Joy kepada The Daily Caller, akhir April lalu. "Saya bermukim di sini (Amerika) secara legal selama 17 tahun dan tak pernah punya masalah. Tapi mereka bilang, 'Well, kau mungkin diaudit.'"
Wazed Joy adalah putra pasangan Sheikh Hasina dan ahli nuklir M.A. Wazed Miah. Lelaki kelahiran Dhaka, 27 Juli 1971, itu masuk Negeri Abang Sam ketika mulai kuliah teknik komputer di The University of Texas di Arlington pada 1994 dan lulus pada 1997. Dia kemudian mengambil gelar master administrasi publik di John F. Kennedy School of Government, Harvard University, pada 2007. Di sana pula dia menikah dengan Kristine Ann Overmire pada 2002 dan tinggal di sebuah rumah di Falls Church, Virginia. Di negeri itu, Wazed Joy mendirikan dua perusahaan, Wazed Consulting dan Sim Global Services.
"Mereka mengatakan berulang-ulang 'Yunus punya teman-teman yang berkuasa' dan kita semua tahu bahwa mereka berbicara tentang Menteri Clinton," kata Wazed Joy.
Chuck Grassley menyatakan beberapa orang yang telah menemui Wazed Joy itu adalah James Moriarty dan Dan Mozena, dua Duta Besar Amerika untuk Bangladesh; Jon Danilowicz, Wakil Kepala Misi Amerika di Bangladesh; serta Rajiv Shah, administrator USAID. Menurut dia, yang menyebut soal audit pajak itu adalah Jon Danilowicz. "Jika Menteri Luar Negeri memakai posisinya untuk mencampuri penyelidikan independen oleh sebuah pemerintah berdaulat hanya karena hubungan pribadi dan keuangan Clinton Foundation, yayasan yang didirikan keluarga Clinton, ketimbang kepentingan kebijakan luar negeri Amerika yang sah, hal ini tak dapat diterima," ucap Grassley.
Februari lalu, Perdana Menteri Sheikh Hasina juga mengungkap campur tangan Hillary. "Hillary Clinton menelepon saya dan mendesakkan hal yang sama. Bahkan Departemen Luar Negeri Amerika memanggil anak saya, Joy, tiga kali dan mengatakan bahwa kami akan menghadapi masalah," katanya.
Menurut Hasina, utusan Hillary itu juga mengancam akan menyetop dana untuk Jembatan Padma, proyek jembatan terbesar Bangladesh senilai US$ 3 miliar. Jembatan yang terletak sekitar 50 kilometer dari Dhaka itu akhirnya dibangun pada 2014 dan selesai pada 2018. "Ambasador Amerika Serikat selalu datang ke kantor saya dan mengancam saya bahwa dana untuk Jembatan Padma akan dihentikan jika Dr Yunus digeser dari Grameen Bank," ujar Hasina.
Hubungan Muhammad Yunus dan keluarga Clinton dimulai jauh hari. Pada mulanya Bill dan Hillary tertarik pada program kredit mikro yang dibikin Yunus melalui Grameen Bank pada 1978. Pada 1983, Bill--yang kala itu menjabat Gubernur Arkansas--mengundang Yunus ke negara bagian yang dipimpinnya untuk menjelaskan lebih jauh tentang kredit mikro. Saat itulah Hillary pertama kali bertemu dengan Yunus.
Hubungan Clinton dan Yunus makin rapat hingga Bill sendiri yang melobi Komite Nobel agar Yunus mendapat Hadiah Nobel. Pada 2006, Yunus dan Grameen Bank dianugerahi Nobel Perdamaian. Setelah itu, banyak bantuan dari Clinton kepada Yunus, begitu juga sebaliknya.
Selama Hillary menjadi menteri, menurut The Daily Caller, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menggelontorkan hingga US$ 13 juta dalam bentuk hibah, kontrak, dan pinjaman kepada Yunus. Dana pajak juga diberikan kepada Yunus melalui 18 transaksi USAID. Selain itu, lembaga lain yang berafiliasi dengan Yunus dan Grameen Bank mendapat kucuran US$ 11 juta dari USAID.
Yunus membalasnya dengan menyumbang US$ 100-300 ribu kepada Clinton Global Initiative, prakarsa dari Clinton Foundation. Grameen Research, yang diketuai Yunus, juga menyumbang US$ 25-50 ribu.
Campur aduknya urusan negara dan bisnis yayasan oleh keluarga Clinton ini sudah sering jadi sorotan, tapi tak pernah sampai diselidiki oleh Biro Penyelidik Federal (FBI). Associated Press pernah menurunkan laporan mengenai hal ini pada 25 Agustus 2016. Kantor berita Amerika Serikat itu menyatakan sekurang-kurangnya 85 dari 154 orang dari luar pemerintahan yang bertemu atau berbincang lewat telepon dengan Menteri Hillary telah memberikan uang--baik secara pribadi maupun melalui perusahaan atau grup--kepada Clinton Foundation. Jumlah total sumbangan mereka mencapai US$ 156 juta.
Waktu itu Hillary menilai berita tersebut hanya "melihat porsi kecil dari waktu saya" sebagai Menteri Luar Negeri dan menyimpulkan pertemuannya dengan para pemenang Nobel lebih berhubungan dengan yayasan daripada kerja mereka sebagai pemimpin dunia. "Ini absurd," katanya kepada CNN. Dia menggambarkan berita itu sebagai "asap semua, tak ada apinya".
Robert T. Hosko, mantan pembantu Direktur Divisi Penyelidik Kriminal FBI, yakin FBI ingin tahu lebih jauh hubungan para donatur itu dengan Clinton. "Itulah tepatnya yang hendak dilihat FBI dan itu harus diselidiki untuk menentukan ada-tidaknya tindakan korupsi," ujarnya.
FBI menolak berkomentar mengenai perkara Hillary dan Yunus ini. "Kami pada umumnya tak berkomentar mengenai apakah kami akan melakukan penyelidikan tertentu atau tidak," kata mereka.
Kurniawan (The Daily Caller, Dhaka Tribune, Associated Press)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo