Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RABU pekan kedua bulan Juni, kantor berita kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang sibuk mengingatkan kita bahwa perang sektarian tengah terjadi. Bertekad mengembalikan Iran ke era Sunni--sebelum Dinasti Safavid yang Syiah berkuasa pada abad ke-16-18--enam teroris menyusup masuk ke Teheran.
Garda Revolusi kecolongan. Pukul 10.30 waktu setempat, empat teroris bersenapan serbu dan granat--salah seorang memakai rompi bom bunuh diri--melewati penjagaan Gedung Majelis Perwakilan di pusat kota. Mereka menahan serta menembaki pegawai dan anggota majelis. Bom meledak, kemudian meletuslah baku tembak dengan aparat keamanan yang lantas mengakhiri hidup mereka.
Sementara itu, di bagian selatan Kota Teheran, dua teroris, satu di antaranya perempuan, dengan mudah masuk ke Mausoleum Imam Khomeini yang tidak dijaga ketat. Di tengah keramaian orang yang sedang berziarah, mereka meledakkan diri berkeping-keping. Dalam dua serangan yang berlangsung susul-menyusul tersebut, 12 warga Iran tewas, 42 lainnya luka-luka, dan 6 teroris itu terbunuh.
"Sebelumnya mereka pergi meninggalkan Iran dan terlibat dalam kegiatan kriminal kelompok teroris di Raqqa dan Mosul," demikian pernyataan dari kementerian intelijen tentang enam teroris itu--seperti yang dikutip kantor berita nasional IRNA. "Tahun lalu mereka kembali ke Iran… untuk melancarkan serangan teror di kota-kota suci Iran."
Tentu saja ISIS terpekik bangga. Menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu, ISIS merilis video rekamannya. Bukankah Ayatullah Khomeini, bapak pendiri Revolusi Islam Iran yang mengguncang dunia pada 1979, dan mausoleum itu tidak lain dari simbol revolusi yang menumbangkan kepemimpinan Shah Reza Pahlevi yang otoriter dan pro-Barat.
Sudah lama ISIS bernafsu menghantam Iran di kandang sendiri. Iran adalah musuh yang selalu menyulitkan di medan tempur Suriah dan Irak sekaligus lawan ideologinya. Sekarang teori yang menyatakan bahwa Iran yang Syiah bukanlah habitat yang tepat buat berkembang biaknya kelompok jihadi ini tampak kedaluwarsa. Sejak dua teror yang mengejutkan itu, pihak keamanan Iran telah menahan 41 orang yang dicurigai punya hubungan istimewa dengan ISIS. Salah satunya bernama Serias Sadehi, seorang Kurdi Iran yang berasal dari Kota Paveh, bagian barat Iran. Dalam laporan intelijen, Sadehi disebutkan sebagai perekrut ISIS.
ISIS merasuk ke suatu negeri ketika pemerintah lemah dan stabilitas goyah. Di Suriah yang dilanda perang saudara, di Irak yang mengalami kevakuman sepeninggal pasukan pendudukan Amerika Serikat, juga di antara minoritas Sunni Iran yang luput dari perhatian pemerintah pusat, seruan kelompok neo-wahabi ini mendapat sambutan. Delapan persen penduduk Iran penganut Sunni dan tinggal di Provinsi Baluchistan, Kurdistan, Kermanshah, Khorasan, dan Khuzestan. Mengalami diskriminasi dan terjepit oleh tingkat pengangguran yang tinggi, sebagian anak muda Sunni ini tumbuh dengan semangat menolak Teheran.
Awal tahun ini, sayap militer kelompok Gerakan Perlawanan Arab untuk Pembebasan Al-Ahwaz menyatakan telah meledakkan pipa minyak di bagian barat Khuzestan, dekat Kota Omidiyeh dan pelabuhan Deylam. Kementerian Dalam Negeri membantah dan menuding adanya "tangan asing" ikut bermain di balik pernyataan itu. Bagaimanapun, semangat memisahkan diri di kalangan minoritas Ahwaz bukan isapan jempol. Dan ini bukan cuma di bagian barat Khuzestan. Pada April lalu, kelompok militan lainnya, Jaish al-Adl, menewaskan sepuluh orang penjaga perbatasan Iran-Pakistan dalam sebuah tembak-menembak.
"Kota-kota di perbatasan, desa-desa, suku-suku di wilayah perbatasan timur, barat, dan selatan yang miskin itu rentan terhadap ekstremisme," kata Mashallah Shamsolvaizin, wartawan senior Iran, kepada majalah Newsweek. "Tingkat pengangguran yang tinggi membuat mereka mudah dirayu dan direkrut."
ISIS adalah kelompok sempalan, pecahan Al-Qaidah yang, di bawah kepemimpinan Syekh Abu Bakar al-Baghdadi, memproklamasikan sebuah kekhalifahan Islam pada Juni 2014, Daulah Islamiyah, dengan wilayah yang membentang dari selatan Irak hingga utara Suriah. Becermin dari Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki, ISIS membayangkan satu peradaban baru Islam akan memancar dari kekhalifahan itu.
Popularitas ISIS yang menanjak secepat kilat setelah keberhasilannya merebut kota-kota di Irak, seperti Mosul, ini telah memukau tak sedikit orang. Jemaah yang berasal dari bermacam latar belakang dan negara itu menyatakan sumpah setia kepada sang "khalifah", "Amirul Mukminin" Abu Bakar al-Baghdadi. Ya, ISIS adalah "musuh bersama" negara-negara yang pernah mengalami hantaman teror kelompok itu, tapi juga pencipta solidaritas di antara orang-orang radikal yang siap mengangkat senjata.
Gerakan profetik yang berpretensi membangun dunia baru ini tidak pernah ragu memutar kembali jarum waktu ke masa lalu. Mereka seperti Taliban yang menghancurkan patung Buddha terbesar di Bamyan, Afganistan. Atau--pada ekstrem sebaliknya--seperti Khmer Merah di Kamboja yang menghalalkan pembantaian warganya untuk membangun masyarakat baru tanpa kelas.
Di wilayah-wilayah yang dikuasainya, eksperimentasi kelompok Sunni garis keras ini berlangsung mengerikan. Penyembelihan tahanan sengaja dipertontonkan di hadapan publik, untuk menciutkan nyali para penentang. Demi pemurnian agama, mereka membantai orang-orang Syiah, menghancurkan situs makam Nabi Yunus di Mosul, bahkan--kalau mungkin--berhasrat menghancurkan Ka'bah, bangunan yang dianggap telah membuat orang menyembah bentuk kubus itu ketimbang menyembah Allah Yang Maha Esa.
Ada satu ciri ISIS yang mencorong: pandai menciptakan lawan, ketimbang kawan. Tiga tahun setelah tegaknya khilafah, ISIS menerima serangkaian gempuran hebat dari berbagai pihak--ini membuat wilayahnya menyusut sampai 20 persen. Tapi, untuk menunjukkan bahwa bendera hitam ISIS belum waktunya diturunkan, mereka semakin gencar melancarkan teror di berbagai penjuru dunia, termasuk di Iran.
MALAM itu, warga Iran sejenak melupakan politik. Dengan lilin menyala di tangan, berbondong-bondong mereka menyatakan solidaritas kepada para korban teror. Di malam setelah Peristiwa 9/11 yang merobohkan menara kembar World Trade Center di New York, Amerika, pada 2001 itu, rasa berduka telah mengalahkan perbedaan.
Iran tak mudah melupakan teror. Kini, dua dasawarsa sejak kelompok Mojahedin e-Khalq menebar bom untuk memadamkan revolusi yang baru seumur jagung, Iran kembali merasakan pedihnya teror. Kecuali Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dunia menunjukkan solidaritasnya kepada para korban. Dunia juga melihat Trump menarik jarak: ia berduka, tapi juga tetap menyalahkan Iran yang selama ini diyakininya sebagai negara sponsor teror. Sayang sekali, Trump tidak dapat membedakan antara perbedaan politik dan rasa kemanusiaan.
Idrus F. Shahab (The Huffington Post, Reuters, The Atlantic)
Iran tak mudah melupakan teror. Kini, dua dasawarsa sejak kelompok Mojahedin e-Khalq menebar bom untuk memadamkan revolusi yang baru seumur jagung, Iran kembali merasakan pedihnya teror.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo