Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tersengat Aturan Karet

Harian The Star harus menghadapi tekanan bertubi-tubi dari pemerintah Malaysia. Tersandung peraturan lawas yang kerap dinilai mengancam kebebasan pers.

26 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKSUD hati menyoroti isu terorisme di Kota Marawi, Filipina, apa daya laporan utama yang disajikan justru memercik muka sendiri. Tak disangka, halaman depan The Star, salah satu koran terkemuka di Malaysia, itu menyulut reaksi keras pemerintah. Kesalahan The Star: potret dan judul di berita utama tak serasi, karena itu telah melecehkan umat Islam.

Dalam edisi 27 Mei lalu itu, The Star memuat judul besar-besar: "Malaysian terrorist leader". Di bawah judul itu, berderet empat kalimat pengantar menuju artikel yang isi lengkapnya tercantum di halaman 3 koran tersebut. "Total 46 orang tewas, 31 di antaranya teroris," begitu isinya, yang disusul inti laporan utama yang menyebutkan, "Seorang di belakang itu adalah warga Malaysia, dosen yang menjadi teroris, Dr Mahmud Ahmad."

Lewat laporan utama tersebut, The Star bermaksud mengulas keterlibatan Mahmud Ahmad dalam konflik Marawi, yang meletus sejak 23 Mei lalu. Perang kota yang dahsyat antara militer Filipina dan kelompok-kelompok militan pro-Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di kawasan Mindanao, Filipina selatan, itu telah menewaskan lebih dari 200 orang.

Mahmud, 39 tahun, dosen di Departemen Studi Islam di Universiti Malaysia, Kuala Lumpur, masuk daftar kombatan asing yang bertempur di Marawi. Dia disebut sebagai otak di balik kelompok Maute dan faksi Abu Sayyaf pro-ISIS yang mendalangi serangan. "Dia pernah bergabung dengan Al-Qaidah serta berlatih paramiliter di Pakistan dan Afganistan," kata seorang pejabat intelijen Malaysia, seperti dikutip Channel News Asia.

Nahas bagi The Star. Bukannya menggubris isi laporan utama harian tersebut, pemerintah malah mempersoalkan judul berita yang disandingkan dengan potret warga muslim tengah menjalankan salat tarawih berjemaah di Masjid Sultan Mizan Zainal Abidin di Kota Putrajaya. "Kami sangat kecewa terhadap tajuk utama dan gambar halaman depan yang tidak berhubungan," begitu pernyataan Kementerian Dalam Negeri saat itu.

Alwi Ibrahim, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, menganggap pemuatan foto dan judul itu tidak tepat karena dapat membingungkan pembaca serta memicu salah paham dan syak wasangka terhadap umat Islam. "Ini secara tidak sengaja telah meremehkan agama Islam," ujarnya seperti diberitakan situs The Malaysian Insight.

Insiden ini berbuntut panjang. Kementerian memanggil tiga editor eksekutif The Star, Rozaid Abdul Rahman, Brian Martin, dan Dorairaj Nadason, serta seorang editor khusus, M. Shanmugam, untuk memberi penjelasan. Pemerintah juga melayangkan surat peringatan dan surat permintaan penjelasan atau show cause letter kepada tim editorial harian yang berafiliasi dengan Malaysian Chinese Association--partai utama etnis Cina dan partai terbesar kedua setelah Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO)--itu.

Berpegang pada Undang-Undang Percetakan dan Penerbitan Media 1984, Kementerian mendesak The Star memberhentikan sementara pemimpin redaksi Leanne Goh Lee Yen dan Dorairaj Nadason. Leanne berada di luar negeri sejak sebelum insiden itu terjadi. "Maaf, saya di Amerika," katanya lewat pesan instan, Sabtu pekan lalu. Leanne tak membalas permintaan Tempo untuk menanggapi perkara yang membelitnya dan The Star.

Setelah pemuatan judul dan potret yang tak tepat itu, The Star sebenarnya langsung memuat permintaan maaf. Dalam terbitan 29 Mei lalu, tim redaksi harian beroplah 250 ribu itu mengakui keputusan mereka yang kurang peka terhadap perasaan pembaca muslim, yang baru memulai ibadah puasa. "Sudah menjadi kebiasaan The Star untuk menghormati hari pertama Ramadan dengan memuat gambar umat Islam beribadah di halaman depan koran," begitu isi permintaan maaf mereka. "Tahun ini bertepatan ada cerita tentang pemimpin teroris, yang membuat orang-orang mengaitkan judul berita dan gambar. Kami tidak pernah bermaksud demikian."

Namun permintaan maaf saja tak cukup. Proses penghukuman telanjur bergulir. Selain desakan dari Kementerian Dalam Negeri, Polisi Diraja Malaysia ikut menggencet The Star. Kali itu polisi--menggunakan Sedition Act atau Akta Hasutan 1948 dan Pasal 298A Penal Code--menyelidiki lima editor dan seorang juru foto The Star, akhir Mei lalu. Selama dua jam, "Mereka diperiksa dengan tuduhan mengganggu ketertiban atau menebar kebencian atas dasar agama," ucap pengacara mereka, Amer Hamzah Arshad, kepada MalaysiaKini.

Kasus ini juga menuai pro-kontra di kalangan publik dan politikus. Ketua Informasi Partai Islam Pan-Malaysia Nasruddin Hassan Tantawi, misalnya, termasuk yang tersinggung. Ia menyebut halaman muka The Star itu ekstrem dan kasar serta memperolok penduduk mayoritas muslim di negeri jiran tersebut. Di dunia maya, netizen dan sejumlah organisasi sosial menghujani The Star dengan kritik dan kecaman seraya menyebut sampul harian itu menyesatkan.

Gerakan Media Merdeka (Geramm), aliansi independen bagi jurnalis dan aktivis media yang memperjuangkan kebebasan pers di Malaysia, juga buka suara. "Kami menganggap muka depan itu hasil kecerobohan The Star sendiri," kata juru bicara Geramm, Radzi Razak, saat dihubungi pada Sabtu pekan lalu. Namun, menurut dia, "Keputusan pemerintah memanggil dan memberi peringatan juga keterlaluan. Tindakan yang tidak proporsional."

Insiden yang menimpa The Star, Radzi mengatakan, tidak luput dari Undang-Undang Percetakan dan Penerbitan Media 1984. Ia menilai pemerintah kerap memakai aturan itu untuk menekan ruang gerak media massa. "Akta (aturan) itu perlu dicabut karena digunakan meluas untuk mencengkeram kebebasan pers," ujarnya. Sikap senada terlontar dari Institute of Journalists Malaysia, yang menyebut aturan lawas itu bersifat represif.

Pemerintah Malaysia punya sejarah panjang membungkam kebebasan pers. Pada 1976, misalnya, pemerintah menahan editor pelaksana koran New Straits Times, A. Samad Ismail, dengan Undang-Undang Keamanan Nasional (ISA). "Tulisannya tentang isu-isu sosial populer di mata publik," begitu menurut catatan Northwestern University Knight Lab di Kota Chicago, Amerika Serikat. Di era reformasi, 1998-2000, pemerintah Malaysia pernah melarang terbit sejumlah majalah politik, termasuk Detik, Tamadun, Wasilah, dan Eksklusif.

Bagi praktisi hukum Yusmadi Yusoff, reaksi keras pemerintah terhadap The Star patut dipertanyakan. "Kenapa ada begitu banyak tindakan dalam satu waktu?" katanya kepada Tempo. Apalagi, menurut Yusmadi, yang pernah menjadi legislator dari partai oposisi, Partai Keadilan Rakyat, bukan hanya The Star yang memuat sampul kontroversial. "Pada saat hampir bersamaan, ada laporan berita serupa dari Utusan Malaysia dan media lain."

Yusmadi juga menyoroti keputusan polisi memakai Akta Hasutan. "Betul, kasus ini telah mengundang reaksi publik, tapi ini bukan kasus penghasutan," ujar Yusmadi, yang menilai Sedition Act bersifat karet, tak ubahnya seperti pasal penistaan agama di Indonesia.

Menurut dia, kasus yang dijerat dengan aturan itu tidak mudah dibuktikan. "Jika Anda berada di lingkungan hukum yang represif, Sedition Act sangat mudah disalahgunakan."

Mahardika Satria Hadi (Channel News Asia, The Star, Malaysiakini)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus