Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Arab Saudi

Negara Islam lebih merupakan negara yang melaksanakan syari'at dari pada negara yang dibentuk oleh konsep syari'at. (ln)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI mesjid Nabi s.a.w. di Madinah, di mana merpati beterbangan di bagian yang tanpa atap, khatib ibadat Jum'at mengecam "sikap yang meniru-niru cara hidup Barat, praktek zina atau perbuatan yang menjurus ke sana" -- dan mengajak kembali kepada Qur'an. Di negeri Islam di mana dunia lelaki dan perempuan (di luar rumah) sama sekali terpisah, di mana "hukum adalah ayat-ayat Qur'an itu sendiri," seperti kata seorang pejabat Departemen Penerangan, isi khotbah 2 Pebruari itu bisa terasa "janggal" bagi seorang pendatang. Bukankah ina sudah dihukum dengan cambukan 100 kali, atau bahkan rajam tubuh dipendam sampai leher, wajah dilempar batu sampai mati? Tapi hukuman yang keras memang tidak berarti tertutupnya kesempatan bagi yang mau melanggar. Pergaulan memang ketat: wajah wanita hanya bisa disaksikan lewat cadar hitam. Tapi konon, di balik cadar yang tipis itu kadang satu-dua kali bisa dilihat bibir yang tersenyum atau mata yang jeli. Dan bila seorang lelaki iseng memberi isyarat dengan jari atau kedipan, si wanita bisa saja mengiringinya berjalan dengan jarak katakanlah 15 meter. Maka yang diperlukan hanyalah sebuah mobil pribadi dan rumah tinggal -- yang biasanya dikelilingi tembok tinggi. Itu hanyalah contoh bahwa kehidupan privat hampir sepenuhnya di luar kontrol hukum. Seorang galis Saudi asli, yang merasa akan berkurallg kehormatannya bila berjalan tanpa cadar, akan mempertunjukkan "kckayaan tubuhnya" hanya setelah ia masuk rumah. Berbagai macam acara seperti arisan, atau kadang juga dansa-dansi ataupun ramai-ramai nonton video-tape dengan film terlarang, misalnya, bisa bebas dilaksanakan dalam rumah tanpa seorang polisi berhak masuk pekarangan. Kccuali bila seseorang katakanlah ngeloyor ke luar dalam keadaan mabuk, yang berarti mengundang penggerebekan. Lebih dari itu semua ulama akan suka menerangkan bahwa Qur'an, yang telah menetapkan hukum-hukum itu, juga "membuat perzinaan hampir tak mungkin dihukum". Yakni karena dibutuhkannya empat orang saksi yang 'adil (jujur) yang melihat dengan mata kepala perbuatan itu. Asas "pra-duga tak bersalah" itu dipertegas lagi dengan bentuk hukuman yang diberikan kepada orang yang menuduh berzina tanpa membawa empat saksi sebagai dimaksud: 80 kali cambuk -- kecuali bila itu terjadi antar suan-iisteri. Seorang suami (dan juga, menurut tafsir mutakhir, seorang isteri) yang tanpa saksi menuduh pasangannya berzina, bisa bersumpah empat kali -- ditambah satu sumpah-kutuk kepada dirinya sendiri kalau ia bohong. Sebaliknya sang pasangan juga bisa menghindar dengan jumlah sumpah yang sama -- dan bila demikian, pasangan itu bercerai selama-lamanya. Diakuinya lembaga sumpah, tidak hanya sebagai penopang kesaksian tapi juga alat melepaskan diri (selama saksi tak cukup atau bukti tak meyakinkan), agaknya sejajar dengan kenyataan tidak dikenalnya lembaga pembela dalam pengadilan menurut Islam, juga di Saudi. Bukan karena hukum Islam lebih sederhana dari hukum Barat. Tapi karena hukum Islam tampaknya dimaksud untuk diletakkan dalam satu lingkungan yang punya moral tinggi -- di mana sumpah palsu dan kesaksian palsu (sya'badatuz zuur) ditanamkan sejak kanak-kanak sebagai salah-satu dosa besar sesudah syirik dan durhaka kepada ibu-bapa. Tentulah tugas pemerintah menjaga kehidupan moral ini -- misalnya menghadapi perobahan atau pengaruh asing yang sangat deras sekarang. Bisa difaham bila pengadilan yang demikian berada dalam kompetensi kalangan ulama. Juga dalam berbagai organ peradilan seperti Dewan Keluhan, Komite Untuk Kasus Pemalsuan, Komisi Untuk Kasus Penyuapan, Komisi Untuk Tuduhan Para Menteri, Komisi Perselisihan Harta, Komite Pusat Kasus Perzinaan, Komisi Tinggi Perselisihan Perburuhan, berbagai dewan penertib pegawai sipil dan militer. Sampai-sampai di bidang notariat. Seperti diucapkan Dr. Fouad Al-Farsy, Asisten Deputi Menteri Penerangan, "tidak ada peraturan hukum terperinci (qanun) bersifat umum yang sengaja dibikin." Undang-Undang adalah Qur'an. Dan beberapa hakim yang memutuskan suatu perkara, lebih dulu akan mendengar tuduhan, kesaksian atau bukti atau sumpah, melihat aturan permainan atau perjanjian dalam hal murni perdata, membandingkannya dengan Qur'an, hadis-hadis, dan kitab-kitab fiqh -- khususnya fiqh Hambali, salah-satu dari empat mazhab besar dalam hukum Islam maupun kupasan-kupasan baru. Dalam kasus ketidakpuasan, tersedia pengadilan banding. Tersedia juga beberapa 'komisi peninjauan syari'ah', sebagaimana juga konsultan ahli -- misalnya untuk kasus pencurian yang menyangkut gangguan jiwa. Dalam perkara hukuman badan yang besar, seperti vonis mati atau potong tangan, putusan haruslah lebih dahulu diserahkan kepada Raja yang akan mempertimbangkan persetujuan (bukan pengampunan). Dan Raja dalam hal ini didampingi penasehat syari'ah. Maka proses terakhir itu bisa berjalan 2-3 tahun. Yang menarik ialah, bentuk hukuman yang paling banyak dilaksanakan ialah penjara, ganti rugi dan cambuk. Seorang sopir yang menabrak mati penyeberang jalan misalnya bisa dihukum satu tahun penjara plus ganti rugi kepada keluarga korban sebanyak 30.000 sampai 50.000 rial (SR.1 = kira-kira Rp 200). Bahkan dalam kasus pembunuhan, pengadilan selalu membujuk keluarga korban untuk lebih baik menerima ganti rugi, untuk anak-anak yang ditinggalkan almarhum misalnya, daripada menuntut hukum qisas alias pancung. Adapun hukuman cambuk dikenakan misalnya kepada pencurian ringan. Atau kepada "perbuatan mendekati zina" seperti laki-wanita (bukan suami-isteri dan bukan muhrim) yang ngumpet di kamar tidur secara mencurigakan. Bentuk-bentuk hukuman itu sebagian besarnya bersifat ijtihadi -- bukan dengan jelas tertulis dalam ayat maupun hadis. Referensi mereka, selain kitab-kitab fiqh, juga praktek yang selama itu berjalan. Toh bisa difahami terdapatnya perbedaan dalam jumlah cambukan misalnya, seperti juga keras-lemahnya pukulan. Seorang karyawan Indonesia di bandar udara Dhahran, yang mengaku menyaksikan hukuman kepada AsmaraAsmari dan kawan-kawannya (TEMPO 6 Januari 1979) menyatakan bahwa cambukan yang mereka terima "sebenarnya tidak sakit". Sebaliknya pekerja yang lain di pelabuhan Abha menerangkan pernah melihat cambukan yang dicicil: supaya tidak pingsan, si terhukum dicambuk sekian dulu, minggu depan ditambah lagi dan seterusnya. Seorang mahasiswa Indonesia di Universitas Islam Madinah menuturkan bahwa orang-orang Yaman dan Pakistan yang dicambuk karena pencurian harta jemaah haji kemarin, dihukum "di bawah pengawasan dokter". Bagaimana dengan hukum potong tangan? Sepanjang tahun lalu hanya terjadi selama tiga kali, dan semuanya orang asing. Sedang hukum lempar batu sama sekali tidak terdengar. Yang ada ialah pancung. Dan ini disebabkan, selain sukarnya pembuktian zina, juga kadang hubungan laki-wanita itu mengambil bentuk perkosaan yang diiringi pembunuhan. Jadi pembunuhannya itulah yang dihitung. Tidakkah perkosaan itu (seperti juga tanda-tanda homo seksualitas) justru disebabkan oleh ketatnya pemisahan hubungan laki-wanita? Barangkali. Tapi lebih mungkin agaknya disebabkan oleh tingginya harga mahar alias maskawin-sekitar Rp 10 juta, di samping sebuah rumah yang untuk ukuran menengah berharga Rp 50 - 100 juta -- satu masalah adat yang seringkali dikritik pemerintah. Mahalnya maskawin itu juga menyebabkan jarangnya poligami -- dan banyaknya gadis usia lanjut. Juga lebih berakar kepada adat, dan bukan agama: kerudung yang menutup wajah wanita -- yang dalam pakaian ihram (haji) justru harus dibuka. Memang, seperti dikatakan seorang sopir di Dammam, wajah cantik itu "menimbulkan gangguan perasaan". (Sopir ini bicara tentang makin banyaknya wajah cantik dibolehkan muncul di TV Saudi). Tapi betapapun itu boleh diperdebatkan, yang agaknya akan tetap dipertahankan ialah pemisahan tegas laki-wanita dalam pekerjaan dan pendidikan - bukan jenisnya, melainkan ruangannya. Tidakkah ada protes, misalnya dari pihak wanita? "Sebenarnya ada juga. Misalnya dari satu dua orang yang mendapat pengaruh asing," kata Dr. Khuwaitir, Menteri Pendidikan. "Tapi mereka biasanya terserap kembali. Sebab para wanita di lingkungan mereka sendiri akan memandang mereka rendah." Dan jangan dilupakan: sejak zaman sebelum Nabi sampai zaman Khumaini, laki-wanita Saudi memang belum pernah mengalami pergaulan "bebas" --sebagaimana belum pernah meng,alami penjajahan maupun "sopan santun asing". Mula-mula memang terasa "kaku". Seperti perasaan seorang pendatang ketika pertama kali melihat polisi di bandar Jiddah membayangkan jangan-jangan dia segera akan menyeret kita begitu kita melirik wanita yang umumnya ramping dan eksotik itu. Tapi makin lama "perasaan umum" agaknya bisa ditangkap: di pasar, di jalan-jalan. Yakni sebuah perasaan aman, bersih dari fikiran untuk berbuat yang tidak-tidak, dengan suara hingar-bingar dari penduduk yang akrab, kasar dan terus-terang. Laki-wanita, dibatasi kerudung wajah, tawar-menawar sebagai biasa. Orang bahkan tidak teringat bahwa di sini berlaku hukum pancung atau potong tangan -- karena memang sangat jarang -- dan mereka biasanya terkejut bila ditanya tentang itu. Seorang cendekiawan misalnya, sambil agak kesal akhirnya berkata: "Yah, saya lebih baik melihat orang dipancung daripada melihat isteri atau anak saya, yang masuk taman di New York, diculik dan diperkosa -- lalu menghadapi proses hukum yang bertele-tele." Maka terdengarlah azan di tengah pasar. Dan "polisi budipekerti (nahi munkar)" akan berseru: "Shalaaah ! Shalaaah!". Rasanya hanya seperempat saja dari isi pasar yang shalat. Tapi toko-toko harus tutup -- dengan jala, atau ditutup setengah pintu -- hanya sebagai tanda buat polisi dan pembeli, dan bukan buat menghindari pencurian. Tapi orang asing, baik Barat atau para wanita Arab yang pakai rok terbuka (biasanya dianggap saja orang Kristen dari Libanon atau sekitar situ) dibiarkan tetap menikmati isi cangkirnya di gahwaji (warung kopi terbuka), sementara pemiliknya pergi sebentar. Yang bukan Islam memang leluasa-bahkan mendapat hak keadilan yang sama. Beberapa tahun lalu, tiga orang gadis anak seorang usahawan Inggeris (yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Jeddah) ditipu lalu dibawa ke padang pasir, diperkosa dan dibunuh. Si usahawan pasrah kepada Pemerintah Saudi Arabia. Dan setelah pengusutan empat bulan, tiga orang Saudi dipancung. Keunikan negara Islam yang sebuah ini, seperti dituliskan Fouad Farsy dalam disertasi doktoratnya di Duke University, AS, Saudi Arabia, A Case Study in Development, tidak pernah mengalami problim pluralitas agama -- dan memang satu-satunya negeri Arab yang demikian. Orang Saudi adalah mutlak Islam. Dan kebijaksanaan yang kemudian diambil Pemerintah ialah mempertahankan status quo itu. Tak ada sebuah gereja atau sinagog yang boleh dibangun. Para pekerja Barat Kristen, Korea, perantau Yahudi, boleh saja beribadah di kediamannya (atau bangunan sementara seperti di kompleks pekerja Aramco di Dhahran). Tapi jangan sebarkan sesuatu, dan jangan panggil misionaris khusus. Mahasiswa asing di Universitas Minyak dan Mineral di kota itu juga demikian. Tak ada tempat ibadat disediakan. "Kalau mereka memang ingin punya gereja, mereka boleh sekolah di negeri sendiri," kata seorang pejabat Departemen Penerangan. Memang, orang non-muslim pada umumnya di sini tidak dikenal. Pengikat paling kuat di sini memanglah Islam. Perbedaan rasial tidak atau belum nampak di sini. Dan ada rasa kesamaan. Seorang sopir bisa makan bersama Menteri dan tamu-tamunya. Tapi apakah kesederajatan itu mengizinkan dikeluarkannya pendapat secara bebas? Tak ada parlemen di Arab Saudi. Memang ada Majlis Syura, yang diangkat dari tokoh-tokoh bukan keluarga Kerajaan, disamping Dewan Menteri. Tapi yang paling penting adalah kembali peranan ulama dan kepala suku memperoleh legitimasinya berdasar syara. Dan ulama lebih diidentikkan dengan rakyat daripada dengan penguasa, hingga bisa selalu "mengontrol" mereka yang memang murid-muridnya. Maka tak seorang bisa misalnya menyalahkan ketentuan sekarang ini bahwa, misalnya, seorang amir mendapat SR.30.000 sebulan. Pokoknya ulama tak memandang itu salah, dan para kepala suku, wakil paling khas pribumi, menganggapnya sebagai wajar. Tapi tidakkah syari'at Islam memberi kesempatan rakyat biasa buat berpolitik, dan bukan sekedar bekerja pada Kerajaan? Sampai berapa jauh oposisi dibolehkan bangkit? Bukankah bentuk kerajaan sendiri tak dicita-citakan Nabi? Betapapun itu berarti bahwa negara Islam, dengan mengambil contoh Saudi, lebih merupakan negara yang melaksanakan syari'at, daripada negara yang dibentuk oleh konsep syari'at. Pada akhirnya memang bisa terdapat beberapa model negara menurut ajaran Islam. Orang awam di jalan-jalan Riadh tentu saja tak peduli pada fikiran semacam itu. Kenyataan menunjukkan bahwa Arab Saudi, negeri ke-2 paling kaya di dunia (sesudah Kuwait) mampu memberi makan mereka secara berlebih menyediakan sekolah gratis sampai universitas bahkan menambahnya dengan uang jajan, rumah sakit untuk segala jenis penyakit ringan maupun berat tanpa bayar, dan pinjaman 2/3 harga rumah bagi warganegara dengan syarat-syarat tertentu yang belum punya rumah. Tak heran bila fikiran aneh dan panas dianggap bisa mendatangkan petaka. Tak heran, ketika seorang cendekiawan di warung kopi ditanya: benarkah kerajaan satu-satunya bentuk paling tepat untuk menyatukan seluruh suku dan kelompok di Arab Saudi? Ia menjawab. "Ya. "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus