BERSAMA dengan makin pastinya kemenangan Ayahtullah Khomeini di
Iran, di Barat orang melihat gerakan Islam dengan setengah
kagok. Sebagian melihat suara-suara keras yang dilontarkan
Khomeini sebagai suara khas Islam yang menentang kemajuan.
Sebagian lagi melihatnya sebagai pekik fanatik sebuah agama yang
bermusuhan dengan segala yang asing. Ada juga yang mulai melihat
Islam dengan lebih simpati. Pemimpin delegasi AS ke PBB Andrew
Young, misalnya, awal bulan lalu mengatakan: Islam "suatu
kekuatan kebudayaan yang bersemangat di dunia kini, dan bukan
sesuatu yang telah mati bersama Abad Pertengahan. "
Bagi orang Islam di banyak negeri di dunia, ucapan Young
hanyalah peneguhan apa yang selama ini mereka yakini. Dan bagi
mereka yang seksama mengamati perkembangan kehidupan sosial
politik sebagian Dunia Ketiga -- dari rimur Tengah sampai dengan
Asia Tenggara --hal itu tak mengejutkan. Sebab yang terjadi kini
di Iran bukanlah sesuatu yang tersendiri. Apa yang lazim disebut
"bangkitnya fundamentalisme Islam" sudah agak lama terjadi di
banyak tempat.
Bahkan di Mesir misalnya. Di Kairo buat pertama kalinya semenjak
tiga tahun terakhir sejumlah wanita muda nampak di jalanan
mengenakan cadar Di kios-kios pita rekaman khotbah Syekh Abdul
Hamid Kishk, seorang ulama buta yang menyerukan puritanisme
Islam, terjual laris. Pengajian dan sembahyang jemaat yang
diselenggarakan oleh bekas organisasi terlarang Ikhwanul
Muslimin dikunjungi banyak orang. Poster Ikhwanul Muslimin juga
terpampang jelas di jendela bis-bis kota.
Ikhwanul Muslimin dulu disangkutkan dengan gerakan teror yang
pernah mencoba membunuh Presiden Nasser almarhum, pemimpin Mesir
yang besar pengaruh nasionalismenya ke seluruh Timur Tengah. Di
bawah Presiden Sadat kini salah seorang tokoh organisasi itu,
yang menyebut diri "puritan", bahkan menerbitkan majalah
"Seruan". Mereka mungkin tak sekeras dulu lagi. Tapi di tahun
1977, sebuah grup Islam lain membunuh seorang bekas Menteri
Agama.
Presiden Sadat sendiri menampakkan diri sebagai Muslim yang
taat. Ia juga membiarkan kritik dari kalangan Universitas Al
Azhar tentang keluarga berencana. Tapi dia tak mengijinkan ada
partai politik dibentuk berdasarkan agama. Dan meskipun Islam
disebut sebagai agama negara, hukum syari'ah nampaknya tak
diberlakukan. Minuman keras dan babi terjual luas dan bebas.
Sadat tentunya makin harus mendengarkan perubahan yang terjadi.
Di banyak universitas di Mesir, mahasiswa Islam mulai menuntut
perubahan aturan yang sesuai dengan keyakinan mereka -- misalnya
pemisahan antara tempat untuk cewek dengan cowok. Dan ketua
parlemen yang baru, Sufi Abu Talib, menyeru kepada
sarana-sarJana Al Azhar untuk mendiskusikan kemungkinan
menyesuaikan hukum Mesir dengan hukum Al Qur'an. Tak heran bila
dalam menyimak perasaan yang lagi tumbuh seperti itu, Mesir awal
tahun lalu mengeluarkan undang-undang melarang orang berpindah
agama, khususnya dari Islam ke kepercayaan lain.
Agak jauh dari Mesir dan lebih dekat ke Mekah ialah Persatuan
Emirat Arab. Sejak satu setengah tahun yang lalu, nampak
kecenderungan memberlakukan syari'ah Islam secara lebih ketat.
Masuknya orang-orang asing semenjak petrodollar menyembur telah
mencemaskan orang-orang di sini. Apalagi setelah semburan uang
itu mereda. Bulan Mei 1977, kasino satu-satunya di Persatuan
Emirat Arab yang terletak di Ras al-Khamah, ditutup. Di Abu
Dhabi toko-toko buku utama dipaksa ditutup karena menjual buku
"yang menghina kaum Muslimin." Dan itu tak lain adalah buku
komik petualangan yang tegang-lucu, Tin Tin Di Negeri Emas
Hitam.
Pengetatan seperti itu terutama memang dipelopori oleh Abu
Dhabisalah satu anggota gabungan negara yang bersifat federal
itu. Di Abu Dhabi jugalah mulai nampak perasaan kurang suka
kepada penasihat Barat setelah keadaan ekonomi agak muram. Namun
di negara anggota Persatuan yang lain, kebutuhan nyata rupanya
hendak menghindarkan ketatnya penafsiran atas hukum agama.
Sharjah, misalnya, yang ingin mengembangkan industri
turismenya, terus saja membangun hotel -- dan sebuah Marbella
Club di pantai Montaza.
Memang cukup banyak cara menghindar dari ketatnya penafsiran
hukum agama, dengan menampilkan penafsiran yang lebih leluasa.
Tapi pertemuan bahkan bentrokan, dengan dunia Barat justru
mendesakkan negara-negara dengan penduduk Islam yang kuat itu
untuk menegaskan identitas sendiri. Dari sekitar Mekah sampai ke
pelbagai pelosok Dunia Ketiga yang muslim, para pemimpin ummat
mencoba terus merumuskan "sistem ekonomi Islam," "kesenian
Islam" dan "sistem politik, dan hukum Islam."
Dari bermacam ragam lingkungan, dan interpretasi, yang paling
menonjol, dewasa ini agaknya ialah yang di Arab Saudi, Iran dan
Pakistan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini