SEORANG anak muda yang ketahuan mencuri ditangkap oleh "Polisi
Islam" di kota suci Qom beberapa hari yang lalu. Ia segera
dibawa ke pusat pemerintahan Islam di kota itu. Orang banyak
menantikan keputusan hukum potong tangan. Ulama tua yang
memimpin komite di sana memerintahkan pembantunya mencari orang
tua anak muda itu. Melewati pembicaraan singkat, anak muda
tersebut dibolehkan pulang ke rumahnya. Ia bebas.
Kepada orang banyak yang bengong, salah seorang juru bicara di
markas itu menjelaskan: "Hukum potong tangan baru akan
dilaksanakan jika terpaksa sekali. Anak itu kelihatannya masih
bisa jadi orang baik." Jika tangannya dipotong, seumur hidupnya
ia akan jadi beban orang lain, sebab ia tidak bisa bekerja
secara normal.
Beberapa hari kemudian -- ketika Iran sepenuhnya sudah berada di
bawah pemerintahan Republik Islam -- 4 orang jenderal ditembak
mati. "Kesalahan mereka jelas. Merekalah yang menjadi sebab
kematian ribuan orang yang berjuang menegakkan negara menurut
hukum Allah," kata seorang juru bicara pemerintahan yang baru
itu. Sejumlah orang penting masa pemerintahan Shah masih menanti
nasib mereka dalam tahanan para pengikut Ayatullah Kholneinl.
Itulah baru yang diketahui dari tindakan pemerintahan Republik
Islam Iran yang berusia beberapa pekan ini. Hari-hari takala
Khomeini dan orang-orang kepercayaannya, Perdana Menteri
Baargan, sibuk menarik negerinya dari sebuah kekacauan, cerita
lebih lengkap tentang bagaimana praktek sebuah pemerintahan
Islam nampaknya memang masih harus ditunggu. Orang nampaknya
terpaksa harus cukup puas membaca pernyataan para pemimpin Iran
sekarang -- dalam tahap berjuang, belum sepenuhnya berkuasa.
Ayatullah Ruhullah Khomeini terusir dari Iran Juni 1963 setelah
mengecam Shah Mohammed Reza -- pada tahun 1970 melakukan
serentetan kuliah tentang pemerintahan Islam di tempat
pembuangannya di Irak. Pada salah satu kuliahnya, orang tua yang
berpengaruh itu menjelaskan tentang Republik Islam Iran yang
dicita-citakannya " .... sesuatu yang sama dengan pemerintahan
yang dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad dan Imam Ali."
Pada masa yang disebutkan kehidupan jelas jauh lebih sederhana
dari sekarang. Tidak ada bioskop, tidak ada bank. Apakah karena
mau kembali kepada zaman nabi dan Imam Ali itu maka bioskop dan
bank jadi sasaran amukan para pengikut Khomeini beberapa waktu
yang lalu?
Khomeini maupun para pengikutnya secara terbuka mengutuk
kekerasan dalam melaksanakan cita-cita mereka. Tapi dalam soal
bank dan bioskop -- dan serentetan soal lagi, peranan dan
kedudukan wanita, misalnya -- mereka tak selalu sepakat.
Mengenai hal pengambilan bunga dari kegiatan perbankan, sejumlah
mullah dan ayatullah bersikap keras: itu haram. Tapi tokoh
moderat seperti Bazargan, secara amat diplomatis menggunakan
landasan zakat untuk mengatur perbankan dan perpajakan. Para
pemuka agama hampir sepakat mengharamkan bioskop, tapi Bazargan
berpendapat lain. Untuknya, bioskop boleh tetap ada, tapi harus
mempertunjukkan "film-film yang sehat. " Bazargan secara
terang-terangan berpendapat bahwa wanita dan lelaki harus
mempunyai status yang sama. Khomeini terus terang berkata:
"Dalam urusan ini saya amat konservatif. "
Berapa luas perbedaan orang tua "konservatif" itu dengan
Bazargan yang berpendidikan Barat? Pertanyaan ini akan terjawab
pada hari-hari mendatang jika Republik Islam itu berkesempatan
jalan. Kini, di hari-hari pertama pemerintahan yang berambisi
mencontoh zaman "Nabi Muhammad dan Imam Ali" itu, yang lebih
penting dipercakapkan adalah hal-hal yang dasar. Di Teheran para
pemimpin Iran berbicara tentang negeri mereka yang menjadi
"materialistis dan korup oleh pengaruh Barat." Karena itulah
"reaksi muncul," kata seorang dosen di Universitas Teheran
beberapa hari yang lalu.
Republik Islam Iran lahir sebagai reaksi? Ini bukan cerita baru
Baik kegairahan modernisasi maupun ketakutan akan pembaratan mau
tak mau merupakan usaha menjawab tantangan ide, teknologi dan
penjajahan Barat.
Di tahun dua-puluhan, ketika dinasti Qajar terusir dari tahta
kemaharajaan Iran, para pemimpin keagamaan negeri itu mendesak
Kolonel Reza Pahlevi untuk mengenakan mahkota. Sang kolonel
tadinya cuma ingin jadi presiden, tapi karena di Turki seorang
presiden, Kemal Ataturk, mengobrak-abrik Islam, ulama Iran jadi
ketakutan pada bentuk republik. Ternyata kemudian Reza Pahlevi,
dengan mahkota di kepala, malah lebih leluasa melukai hati para
pemimpin keaamaan. Hal yang kemudian juga dilakukan oleh
anaknya. Muhammed Reza, yang terusir beberapa pekan silam itu.
Terbuktilah bahwa bentuk pemerintahan tertentu saja belum
sanggup menjamin terlaksananya hukum Islam - sebelum ahli hukum
Islam berkuasa. Karena itulah Khomeini menekankan pentingnya
peranan kaum fukaha, ahli fikih, dalam pemerintahan.
Perundang-undangan Islam secara terperinci dan siap pakai
masih dalam pembentukan. "Kodifikasi untuk mendapatkan buku
hukum seperti hukum Barat sedang dilakukan," kata M. Natsir,
Wakil Presiden Muktamar Alam Islami, rekan silam. Di Iran,
negeri yang sedang berusaha keluar dari kegalauan, para mullah
dan ayatullah di berbagai tempat, secara darurat menjalankan
hukum Islam sesuai dengan penafsiran masing-masing.
Sementara ini, yang dinyatakan ialah bahwa Republik Islam Iran
"tidak akan sama dengan l.ibya atau Arah Saudi". Bagaimana itu,
sistim itu kini sedang memasuki ruangan uji setelah
bertahun-tahun mendekam sebagai teori dan harapan para ayatullah
dan mullah. Kalau ternyata tidak lebih baik dibandingkan dengan
sistim yang digantikannya, akan jadi bahan kekecewaan. Kalau
berhasil baik, masih jadi pertanyaan bisakah ia dicontoh negeri
lain -- misalnya Arab Saudi atau Libya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini