Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

As berubah sikap

Amerika serikat tidak lagi mengakui koalisi perlawanan kamboja pimpinan sihanouk. perubahan sikap amerika itu disambut hangat pemerintah muangthai. sihanouk akan terus berjuang bersama khmer rouge.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMIS lalu Menteri Luar Negeri Amerika James Baker mangumumkan di Paris bahwa Amerika tidak lagi mengakui koalisi perlawanan Kamboja yang dipimpin Sihanouk. Baker mengatakan, koalisi yang lebih dikenal dengan CGDK itu terlalu didominasi oleh Khmer Merah. Amerika bersedia membuka dialog dengan Vietnam. Belum jelas benar apa yang dimaui Washington. Baker tak memberi keterangan lebih jauh. Padahal, Amerikalah yang pada 1978 menekan PBB agar memberikan tempat di Majelis Umum kepada koalisi tersebut dan menolak untuk mengakui pemerintahan Hun Sen di Phnom Penh yang dicapnya sebagai "boneka" Hanoi. Pada 1975, ketika tembak-menembak di Phnom Penh yang mendahului kedatangan gerilyawan Khmer Merah, Dubes Amerika John Gunther Dean buru-buru lari ke helikopter yang kemudian menerbangkannya ke Bangkok. Pekan lalu, dengan mengenakan setelan jas yang sama, diplomat karier itu kembali lagi ke Phnom Penh untuk bertemu dengan Perdana Menteri Hun Sen. "Tak ada apa-apa," katanya kepada para wartawan yang menghadangnya sebelum bertolak. "Kunjungan saya adalah untuk keperluan pribadi." Tapi lima hari kemudian keluarlah pernyataan Baker di Paris. Para pengamat di Bangkok yang dihubungi TEMPO mengatakan, selain desakan politik dalam negeri, faktor pendorong perubahan sikap Amerika itu adalah laporan CIA. Rupanya, kelompok gerilya Khmer Merah makin kuat dan pemerintahan Hun Sen tanpa bantuan Hanoi takkan mungkin bertahan. "Sedangkan Hanoi, sejak penarikan pasukannya September lalu, tak bisa lagi memberi bantuan militer kepada Phnom Penh secara terbuka. Juga, adakah pihak-pihak yang ingin melihat Khmer Merah berkuasa lagi?" kata seorang diplomat ASEAN. Dasar laporan CIA itu dibenarkan pula oleh suatu sumber Kedubes Amerika di Bangkok. Sumber yang juga ahli intel itu menyampaikan bahwa strategi Khmer Merah untuk mengepung dan menguasai semua ibu kota provinsi adalah serupa dengan taktik yang dipakai mereka pada 1974 dan 1975. Dengan cara itulah Khmer Merah berhasil menggulingkan pemerintahan Lon Nol. Kekuatan Khmer Merah sekarang ia taksir sekitar 40 ribu gerilyawan, dan setiap tahunnya memperoleh US$ 100 juta dari RRC. Kongres Amerika juga marah setelah menerima laporan bahwa bantuan yang diberikan pada kelompok Sihanouk dan Son Sann sering diberikan juga kepada Khmer Merah. Seorang wartawan AP yang selama lima pekan mengikuti operasi pasukan Sihanouk mengatakan, Khmer Merah sekarang telah menguasai ratusan desa di utara dan barat. Sedangkan frekuensi serangan terhadap kota-kota utama makin gencar saja. "Strategi kami adalah mengisolasi Kota Kompong Speu, Battambang, dan Kompong Thom," kata Ta Pok, seorang komandan brigade Khmer Merah, kepada Nat Thayer, wartawan AP itu. Ta Pok juga mengatakan Khmer Merah memiliki jaringan jalur-jalur yang memudahkan pengangkutan senjata, mesiu, dan pasok lainnya dari tempat-tempat persembunyian kepada gerilyawan mereka. "Tahun lalu kami masih menggunakan tenaga manusia, sekarang kami sudah menggunakan truk," katanya lagi. Ada dua sasaran utama yang dituju Amerika. Pertama adalah membuat Khmer Merah makin bergantung pada Cina. Dengan demikian, akan mudah menekannya lewat Beijing. Faktor ekonomi, antara lain penempatan Cina sebagai negara yang diperlakukan istimewa dalam perdagangan dengan Amerika. Itu bisa dipakai untuk menekan Cina supaya menekan Khmer Merah. Kedua, dengan cara mendekati Vietnam, Amerika berharap bisa membuat Vietnam menekan Hun Sen supaya mau berunding dengan Son Sann dan Sihanouk. Di Bangkok perubahan sikap Amerika itu pasti akan disambut hangat oleh Muangthai. Keputusan itu sama benar dengan sikap yang dianut pemerintahan Chatichai dalam dua tahun belakangan ini. Chatichai, yang terpilih kembali dengan suara 220 lawan 30 di parlemen, mengatakan bahwa sudah lama ia menunggu-nunggu perubahan sikap Amerika itu. Tapi, bagi negara-negara ASEAN lain, hal tersebut memunculkan fenomena baru. Jelas itu bertentangan dengan prinsip bahwa masalah regional mesti diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung di kawasan itu. Menteri Ali Alatas, misalnya, berkali-kali menjelaskan penyelesaian Kamboja harus menyeluruh dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang bertikai. Jelas, keadaan baru itu akan membuat pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Jakarta, pekan mendatang, menjadi kompleks. Dan James Baker, yang akan datang di Jakarta, pasti harus menghadapi pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan tajam. Menteri Alatas, yang pernyataannya dikutip oleh The Straits Times, meragukan kalau keputusan AS itu akan mewujudkan suatu jalan keluar yang komprehensif. "Posisi Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya sangat meragukan kalau pada tingkat perundingan seperti sekarang ini langkah tersebut akan menelurkan jalan keluar yang disetujui semua pihak," kata Alatas. Hanoi tentu saja akan menyambut keputusan Amerika itu, lantaran ia sangat mengharapkan bantuan ekonomi untuk membangun kembali kerusakan akibat perang. Tapi Sihanouk dengan segera memberi komentar bahwa keputusan Washington itu "tak adil". Ia malah bersumpah akan meneruskan perjuangannya bersama-sama dengan Khmer Rouge, walaupun kemudian dikatakannya ia takkan sudi berkuasa di Phnom Penh bersama dengan partai yang berlumuran darah rakyat Kamboja itu. Reaksi Beijing sangat keras dan bersumpah akan terus membantu Khmer Merah. Hadirnya Khmer Merah dalam kelompok perlawanan memang telah membuat persoalan Kamboja makin kompleks dan sering kontroversial. Partai itu bertanggung jawab atas pembantaian terhadap dua juta rakyat Kamboja selama ia berkuasa pada 1975-1979. Amerika nampaknya tak punya pilihan lain kecuali apa yang diputuskannya pada minggu silam. Publik dan Kongres Amerika sangat berpengaruh terhadap segala kebijaksanaan pemerintah termasuk politik luar negeri. Sejak pemerintahan Carter faktor hak-hak asasi selalu dikaitkan dengan diplomasi Amerika. Jadi, yang diumumkan Baker di Paris tak lain dari refleksi keinginan masyarakat Amerika. Babak baru di Kamboja telah dimulai. Dan itu akan berpengaruh terhadap ASEAN, mengingat pencetus perubahan sikap Amerika itu tak lain dari Muangthai, anggota ASEAN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus