GILIRAN Filipina dikoyak gempa bumi dahsyat. Senin pekan lalu, "kiamat" datang mendadak di sejumlah kota di Luzon, pulau terbesar di negeri itu. Tanah menganga lebar, jalan-jalan terputus, 200 jembatan hancur, sejumlah gedung bertingkat merata dengan tanah. Maklumlah, gempa terakhir itu berkekuatan 7,7 skala Richter, lebih tinggi dibanding gempa hebat yang melanda Iran (7,3 skala Richter, dan membunuh lebih dari 70 ribu orang), akhir bulan lalu. Inilah gempa terburuk yang mengguncang Filipina -- menurut para pakar memang merupakan salah satu wilayah paling rawan gempa di dunia -- sepanjang 22 tahun terakhir ini. Pusat gempa (episentrum) diduga di Kota Cabanatuan, 115 km utara Ibu Kota Manila. Di sini sebuah gedung sekolah berlantai enam ambruk. Pemandangan paling mengenaskan tampak di gedung sekolah yang berubah menjadi tumpukan puing, tempat ratusan murid terperangkap di bawah reruntuhannya. Puluhan staf pengajar dan murid ditemukan telah tewas. Banyak di antaranya yang masih menggenggam pulpen. Di satu sudut, Cresencio Rabor mencoba mengungkit puing yang menimpa kedua kaki putrinya, Maylen. Pelajar 14 tahun ini melolong kesakitan. "Papa, Papa, keluarkan saya dari sini. Saya tak tahan lagi," ujar Maylen memelas. Usaha pertolongan dengan perangkat berat tak mungkin dilakukan, karena tumpukan puing mengancam mereka yang terperangkap di dalamnya. Upaya sang ayah tentunya makan waktu lama. Karena itu, Maylen meminta agar kedua kakinya dipotong saja. Tapi tak seorang pun siap melakukan permintaan gadis malang itu. Di sudut lain seorang pelajar pria nekat memotong sebelah kakinya yang terperangkap. Ia dan Maylen termasuk yang "beruntung". Dolly Aberger, pelajar putri yang terperangkap di lantai dua, cuma bisa berkomunikasi dengan ayahnya, Isaac, melalui suara. Dolly sama sekali terperangkap reruntuhan bersama seluruh teman sekelasnya. Setelah berbicara dengan sang ayah, dan meminta bantuan, beberapa menit kemudian Dolly tewas. Di Baguio, kota pegunungan 246 km di utara Manila, korban kebanyakan ada di seputar 28 gedung bertingkat yang ambruk. Di antaranya lima hotel yang padat pengunjung, dan beberapa pabrik perusahaan multinasional. Di sebuah pabrik, 150 orang yang terperangkap di bawah puing terpanggang hidup-hidup, ketika si jago merah merangsek. Diduga, api menjalar cepat karena adanya bahan kimia di pabrik itu. Presiden Cory Aquino, yang datang meninjau Baguio Rabu pekan lalu, memerintahkan agar operasi perbaikan jalan menuju kota itu dipercepat. Konon, Cory sempat berang karena lambannya operasi penyelamatan di Kota Cabanatuan dan Baguio. Banyak pihak juga menuduh Pemerintah Filipina kurang cepat bergerak, ketika kabar gempa pertama kali disiarkan. Tapi medan operasi memang sulit. Apalagi cuaca buruk dan hujan lebat ikut menghalangi operasi pertolongan. Terlebih lagi, gempa masih terus menggoyang tiap 15 menit. Rabu pekan lalu, guncangan di Baguio masih tercatat berkekuatan 5,4 skala Richter. Isu bahwa gempa bakal terjadi lagi membuat penduduk ketakutan. Mayoritas penduduk merasa lebih aman tinggal di tenda-tenda. Kamis pekan lalu, di Manila, sas-sus gempa membuat sejumlah besar gedung di pusat perdagangan Makati dalam beberapa menit jadi melompong. Sementara akibat sas-sus itu, Jumat pekan lalu, diberitakan sekitar 30.000 penduduk meninggalkan Baguio, dengan berjalan kaki. Banyak pelabuhan di utara Luzon masih terisolasi. Termasuk Kota Nueva Vizcaya. Kota Dagupan, yang terletak di tepi pantai, yang 80 persen tanahnya berpasir, anjlok rata-rata satu meter. Akibatnya, gedung-gedung berantakan, termasuk pusat perdagangan yang baru saja didirikan di sana. Menurut Presiden Cory, Dagupan menderita kerugian ekonomi terparah. Seluruhnya tiga provinsi dan enam kota dinyatakan sebagai wilayah berbahaya. Korban keseluruhan diduga lebih dari 1.000 tewas. Di Baguio, peti mati susah ditemukan. Akhirnya, turun perintah agar jenazah dibalsem (diawetkan) saja, menunggu keadaan normal. Kerugian seluruhnya diperkirakan ratusan juta dolar. Lea Makabenta (Manila) dan FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini