Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sidang Mahkamah Agung Facebook

Dewan Pengawas meminta Facebook memastikan nasib pemblokiran akun Donald Trump. Bisa menjadi preseden bagi kasus serupa yang melibatkan pemimpin politik di masa depan.

22 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Amerika Serikat ke-45 Donald Trump menjawab mengenai larangan gerakan kanan aktif di media sosial, saat berkantor di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat, Agustus 2018. Reuters/leah Millis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dewan Pengawas membenarkan keputusan Facebook menghapus sejumlah komentar Donald Trump.

  • Dewan juga meminta Facebook memastikan nasib pemblokiran akun Donald Trump.

  • Trump terancam kehilangan salah satu akses besarnya ke media sosial.

PADA suatu pagi, Mei 2019, 43 pengacara, akademikus, dan pakar media berkumpul dalam suatu pertemuan tertutup di lantai dasar Hotel NoMad New York di New York, Amerika Serikat. iPad tersedia di setiap kursi dan makanan berlimpah di tengah meja. Tentu saja ada ciri utama tuan rumah: buku catatan dan pena dengan merek Facebook.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Facebook mengumpulkan mereka untuk mempersiapkan pembentukan Dewan Pengawas, semacam “mahkamah agung” yang akan “mengadili” setiap gugatan pengguna Facebook terhadap keputusan raksasa media sosial itu. Dewan ini akhirnya terbentuk pada Mei 2020 dengan 20 anggota, yang terdiri atas jurnalis, ahli hukum, profesor, dan advokat hak asasi manusia dari berbagai penjuru dunia. Mereka termasuk Tawakkol Karman, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian; mantan Perdana Menteri Denmark Helle Thorning-Schmidt; dan Maina Kiai, Direktur Aliansi dan Kemitraan Global Human Rights Watch. Endy Bayuni, editor senior The Jakarta Post, juga menjadi anggota dewan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak berdiri pada 2004, Facebook mencanangkan diri sebagai medium kebebasan berpendapat. Tapi, beberapa tahun belakangan ini, isinya disesaki oleh ujaran kebencian, teori konspirasi, dan hoaks. Ribuan anggota redaksi yang dibantu mesin algoritma media tersebut sering menghapus konten semacam itu atau memblokir akun penggunanya dengan alasan melanggar standar komunitas Facebook. Namun tak semua keputusan itu tepat sehingga media itu sering digugat karena dinilai menyensor kebebasan berekspresi. “Facebook dinilai kuat sekali. Negara kalah,” ucap Endy Bayuni kepada Tempo pada Selasa, 18 Mei lalu.

Dewan Pengawas bertugas memutuskan gugatan-gugatan semacam ini. Facebook menggelontorkan dana sebesar US$ 130 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun untuk membentuk dewan ini melalui sebuah yayasan. Dana itu diharapkan cukup untuk menutupi biaya operasional dewan selama lima tahun.

Menurut Endy, dia direkrut bukan oleh Facebook, melainkan diundang oleh sebuah lembaga untuk mengirimkan lamaran pada sekitar akhir September 2019. Dia juga tak berhubungan dengan media sosial itu, melainkan dengan yayasan tersebut. Semua anggota Dewan, kata Endy, diberi jaminan independensi. “Ada piagam yang menjamin independensi anggota.”

Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, menyatakan bahwa dia percaya bahwa direktur utama seharusnya tak mengendalikan batas-batas percakapan politik. “Mungkin ada beberapa seruan bahwa tidaklah baik bagi perusahaan untuk memutuskan sendiri,” tutur Zuckerberg kepada Kate Klonick dari The New Yorker.

Dewan Pengawas kini mendapat ujian ketika Facebook meminta mereka meninjau keputusan media itu untuk menghapus sejumlah komentar Donald Trump dan memblokir akun bekas Presiden Amerika Serikat tersebut. Media itu menyatakan bahwa konten Trump melanggar Standar Komunitas tentang Individu dan Organisasi Berbahaya.

Salah satu komentar Trump itu menekankan bahwa dia menang mutlak dalam pemilihan umum Presiden Amerika tapi kemudian “direnggut secara keji dari para patriot yang telah begitu lama diperlakukan secara buruk dan tak adil”. Komentar ini diunggah pada 6 Januari 2021 ketika penghitungan suara pemilihan umum 2020 sedang dilakukan di Gedung Kapitol di Washington, DC. dan sejumlah demonstran pendukung Trump menyerbu gedung itu. Serangan ini mengakibatkan lima orang tewas dan sejumlah orang cedera. Tulisan Trump ditujukan kepada kelompok penyerbu ini.

Pada 7 Januari lalu, staf komunikasi Facebook meninjau konten tersebut. Mereka kemudian memutuskan memblokir akun Trump “untuk waktu yang tak ditentukan dan selama sekurang-kurangnya dua pekan ke depan hingga transisi kekuasaan yang damai selesai”.

Sebelum mengambil keputusan, Dewan Pengawas berkonsultasi dengan sejumlah ahli, termasuk ahli bahasa. Dewan juga mengundang tanggapan dari masyarakat. “Ada 9.500 tanggapan mengenai kasus Trump,” ujar Endy Bayuni. Facebook juga mengirimkan penjelasan mengenai keputusan mereka kepada Dewan.

Dewan Pengawas menggelar beberapa kali pertemuan sejak akhir Januari untuk membahas keputusan Facebook tersebut. Sidang berlangsung di tingkat panel, yang khusus mengkaji kasus ini, dan sidang pleno yang dihadiri semua anggota.

Perdebatan berjalan cukup alot. Sebagian anggota menilai bahwa Trump telah melanggar standar komunitas Facebook dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia. Dengan demikian, harus ada tindakan tegas terhadap komentar dan akunnya. Namun sebagian lagi berpandangan bahwa kebebasan berbicara dan berekspresi tetap harus ditegakkan. Trump dianggap menggunakan kebebasan itu.

Menurut Endy Bayuni, persidangan Dewan tidak hanya menimbang standar komunitas yang ditetapkan Facebook sebagai panduan bagi pengguna, tapi juga aturan lain, seperti hukum internasional mengenai hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi wajib dijamin. Namun, kata dia, “Kebebasan berekspresi itu dibatasi ketika membahayakan orang lain.”

Dewan tak hanya melihat unggahan Trump pada hari penyerangan Gedung Kapitol, tapi juga komentar dia sebelumnya. Ini, kata Endy, menjelaskan konteks komentar Trump pada hari tersebut.

Akhirnya, pada 5 Mei lalu, Dewan Pengawas mengumumkan keputusannya. Mereka membenarkan keputusan Facebook untuk membatasi akses Trump terhadap akun Facebook dan Instagramnya, mengingat seriusnya kekerasan dan risiko kekerasan yang terjadi di Gedung Kapitol. Namun mereka menilai Facebook tak pantas menerapkan hukuman penangguhan yang tak pasti dan tanpa standar karena memblokir akun Trump tanpa batas waktu.

Dewan menilai Facebook tidak mengikuti prosedur yang jelas dalam kasus ini. Hukuman yang normal bagi pelanggar aturan adalah penangguhan selama waktu tertentu atau penghapusan akun secara permanen. “Dewan menemukan bahwa Facebook tidak boleh membuat pengguna putus dari platform ini untuk periode yang tak pasti, yang tanpa kriteria kapan atau apakah akun itu akan dipulihkan,” kata Dewan dalam keputusannya. Dewan mendesak Facebook untuk meninjau keputusannya dalam tempo enam bulan.

Menurut Endy, Dewan tak menemukan bahwa komentar Trump mengandung hasutan yang memicu kekerasan. “Hal itu tak terbukti karena kata-katanya tidak langsung,” ujarnya. Namun komentar Trump terbukti memberikan pujian atau dukungan kepada kelompok atau individu yang terlibat dalam kekerasan dan merupakan pelanggaran terhadap standar komunitas Facebook.

Dewan juga memberikan sejumlah rekomendasi mengenai penanganan terhadap akun pemimpin politik, sebagaimana diminta pula oleh Facebook. Keputusan Dewan, kata Endy, diharapkan akan menjadi pegangan Facebook dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan pemimpin politik. “Pemimpin politik juga harus tunduk pada standar komunitas, meskipun pemimpin politik berhak pula menyampaikan pesan politik,” tuturnya. “Ini dapat menjadi semacam preseden bagi kasus serupa di masa depan.”

Ketika akun Twitter dan Facebook Trump diblokir, interaksi media sosial tentang Trump anjlok 91 persen sejak Januari lalu. Menurut data NewsWhip, yang dirilis Axios di awal Mei lalu, interaksi itu mencapai hampir 50 juta pada awal Januari lalu dan terus turun hingga tinggal 1,3 juta pada 3 Mei.

Menurut Axios, ketika Trump tak bisa mengakses akun media sosialnya, dia juga kehilangan kekuatan untuk menjadi pusat perhatian publik Amerika. Data SocialFlow menunjukkan, jumlah klik ke berita tentang Trump turun sebesar 81 persen dari Januari ke Februari lalu, 56 persen dari Februari ke Maret lalu, dan 40 persen dari Maret ke April lalu.

Facebook kini harus memutuskan nasib akun Trump dalam enam bulan ke depan. Bila akun itu diblokir secara permanen, Trump kehilangan salah satu aksesnya ke media sosial.

IWAN KURNIAWAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus