Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi Malaysia memeriksa jurnalis Al Jazeera dengan tuduhan penghasutan.
Dipicu oleh film dokumenter 25 menit soal penangkapan pekerja migran.
35 organisasi mendukung Al Jazeera dan mengutuk intimidasi terhadap pers.
FILM dokumenter Locked Up in Malaysia's Lockdown itu dimulai dengan raungan sirene dari mobil polisi Malaysia yang mengawal kendaraan pengangkut pekerja imigran. Setelah itu, tampak personel militer bersenjata lengkap berjaga di sebuah daerah yang dikelilingi kawat berduri dengan latar belakang para pekerja migran yang berbaris menjalani pemeriksaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdurasi 25,5 menit, film besutan jurnalis Al Jazeera itu mengisahkan operasi aparat penegak hukum negeri jiran terhadap para pekerja migran sejak 1 Mei lalu. Dalam video itu tampak sebagian pekerja berbaris dengan tangan dirantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Video yang dirilis pada Jumat, 3 Juli lalu, itu menyedot perhatian masyarakat sekaligus memicu kontroversi. Hingga Jumat, 17 Juli lalu, penontonnya mencapai 1,9 juta dan disukai 7.600 orang. Akun Facebook Tentara Bawang Putih mengecam Al Jazeera serta memburu jurnalis dan narasumbernya.
Pemerintah pun bereaksi. Pada Ahad, 5 Juli lalu, Menteri Kesehatan Datuk Seri Adham Baba mengatakan tuduhan bahwa pemerintah melakukan diskriminasi terhadap migran tak berdokumen tidaklah benar. Menteri Senior Datuk Seri Ismail Sabri Yaakob menuduh film itu membuat tuduhan palsu tentang penahanan terhadap pekerja migran ilegal.
Empat hari setelah video itu tayang, polisi memulai penyelidikan pidana terhadap Al Jazeera. “Para pejabat akan memeriksa apakah laporan itu berisi unsur-unsur penghasutan atau pelanggaran lain di bawah hukum negara ini,” ujar Kepala Polisi Malaysia Inspektur Jenderal Tan Sri Abdul Hamid Bador dalam konferensi pers, Selasa, 7 Juli lalu.
Pada saat bersamaan, Imigrasi Malaysia mengedarkan pemberitahuan untuk mencari informasi tentang warga Bangladesh yang menjadi narasumber dalam film itu. Imigrasi membuka identitas pria 25 tahun itu, nomor paspornya, dan alamat terakhir yang diketahui di Kuala Lumpur. Masyarakat yang tahu tentang dia diminta menghubungi Imigrasi.
Al Jazeera menyayangkan proses pidana terhadap stafnya di Malaysia. “Menuntut wartawan yang melakukan pekerjaan mereka bukanlah tindakan demokratis yang menghargai kebebasan berbicara. Jurnalisme bukanlah kejahatan,” tulis media berbasis di Qatar itu dalam siaran pers pada 8 Juli lalu. Media itu juga mengaku prihatin atas pelecehan secara online terhadap stafnya, termasuk adanya ancaman pembunuhan.
Langkah pemerintah ini menimbulkan kerisauan di kalangan aktivis organisasi nonpemerintah. Koalisi 35 organisasi hak asasi Malaysia menyatakan mereka menyayangkan sikap pemerintah yang menyelidiki Al Jazeera dan bukannya melakukan investigasi soal dugaan penyalahgunaan kekuasaan dalam penangkapan para migran. Mereka juga mendesak pemerintah tidak ikut menyebarkan pesan bernada kebencian karena bisa memicu kekerasan dan diskriminasi terhadap pekerja migran.
Dalam pernyataan bersama pada 8 Juli lalu, koalisi itu menyatakan dukungannya terhadap Al Jazeera serta mengutuk upaya negara dalam mengintimidasi dan mengancam kebebasan pers di negeri itu. Selain mendesak dibatalkannya dakwaan terhadap Al Jazeera, mereka meminta penyelidikan independen terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara dalam penggerebekan pekerja migran.
“Kami terkejut bahwa alih-alih mengatasi keprihatinan serius yang diangkat dalam film dokumenter Al Jazeera, pemerintah malah berusaha membungkam kritik yang sah dengan memeriksa wartawan yang terlibat dan mengejar mereka yang berbicara kepada media,” kata Rachel Chhoa-Howard, peneliti Amnesty International soal Malaysia, kepada Tempo, Jumat, 17 Juli lalu. “Semua ancaman, intimidasi, pelecehan, dan penghalangan terhadap pekerja media oleh pihak berwenang harus segera dihentikan.”
Gerakan Media Merdeka (Geramm), organisasi jurnalis yang ikut dalam solidaritas 35 organisasi nonpemerintah Malaysia, risau terhadap cara pemerintah menangani kasus ini. “Ketua Polis Negara telah menjamin akan menjadi teman media dan tidak akan dipergunakan sebagai alat opresi,” ucap Koordinator Geramm, Radzi Razak, kepada Tempo pada Kamis, 16 Juli lalu. “Kami masih khawatir.”
Penggerebekan terhadap pekerja migran yang menjadi obyek film dokumenter Al Jazeera itu dilakukan pada 1 Mei lalu. Saat itu, kasus infeksi Covid-19 di Malaysia mencapai 6.071 kasus dan 103 korban meninggal. Polisi dan pasukan imigrasi menyerbu tiga apartemen yang menawarkan akomodasi murah di Kuala Lumpur: Selangor Mansion, Malayan Mansion, dan Menara City One. Pemerintah mengatakan 586 migran tidak berdokumen telah ditangkap dalam penggerebekan di pusat kota.
Selangor Mansion dan Malayan Mansion diperkirakan menampung lebih dari 5.000 orang, sebagian besar pekerja migran yang tinggal rata-rata 10 orang di tiap unit dan biasanya membayar sewa sekitar 2.500 ringgit atau Rp 8,6 juta lebih per bulan. Bangunan itu semua berada di zona merah Perintah Kontrol Gerakan (MCO), pembatasan sosial berskala besar versi negeri itu. Aturan ini membuat orang dilarang masuk atau keluar dari kawasan itu sebagai bagian dari langkah pemutusan rantai penyebaran virus.
Ketika penggerebekan terjadi, bangunan-bangunan dipasangi kawat berduri dan dijaga ketat polisi. Seorang pekerja migran yang tinggal di Selangor Mansion mengatakan pemerintah menyerbu blok-blok daerah itu sejak pagi.
“Kami bisa melihat para petugas dari flat kami, cukup banyak dari mereka. Tapi, ketika kami melihat ke luar jendela, mereka berteriak kepada kami untuk berhenti melihat dan menutup jendela. Saya melihat penduduk diangkut ke truk. Saya tidak tahu jumlah pastinya, tapi menurut pembicaraan di sini sekitar 300 orang diambil,” kata pekerja tersebut.
Aktivis pekerja migran mengatakan anak-anak dan pengungsi juga ikut diciduk dalam penggerebekan itu. Heidy Quah, pendiri Refuge for the Refugees, mengatakan ada anak 4 tahun yang juga ditangkap. “Seorang pengungsi berusia 15 tahun dari Myanmar mengirimi saya pesan, dari saat dijemput hingga ketika mereka diangkut ke truk. Kakak laki-lakinya yang berusia 4 tahun lebih tua ikut bersamanya. Begitu mereka tiba di depot imigrasi, telepon mereka disita,” tuturnya.
Para aktivis mengkritik penangkapan itu karena pemerintah baru-baru ini memberikan jaminan bahwa imigran ilegal yang percaya bahwa mereka terjangkit virus corona seharusnya tidak takut melapor kepada pihak berwenang. “Jika Anda berkeliling menangkap dan menahan orang, mereka tidak akan keluar untuk dites. Orang-orang akan mulai bersembunyi dari pihak berwenang,” kata M. Ramachelvam, pemimpin Komite Pengungsi Migran.
Organisasi nonpemerintah yang menangani pekerja migran, Tenaganita, menyebut operasi ini tidak manusiawi. “Meskipun dapat dipahami bahwa ada langkah-langkah yang diperlukan untuk mengekang wabah Covid-19, pemerintah Malaysia seharusnya tidak mengambil pendekatan yang begitu sederhana dengan berpikir bahwa sikap otoritatif adalah respons yang paling ideal,” kata Direktur Eksekutif Tenaganita, Glorene A. Das.
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengkritik penangkapan itu. “Ketakutan akan penangkapan dan penahanan dapat mendorong kelompok populasi rentan ini bersembunyi dan mencegah mereka mencari pengobatan, yang berdampak negatif bagi kesehatan mereka sendiri dan menciptakan risiko lebih lanjut terhadap penyebaran Covid-19 kepada orang lain,” ucap badan dunia itu dalam pernyataannya.
Bagian dari investigas Al Jazeera dalam Locked Up in Malaysia's Lockdown 101 East di channel Youtube Al Jazeera. Youtube/Al Jazeera
Berbagai kritik itu tak menghentikan Malaysia. Penggerebekan berlanjut pada 11 Mei lalu. Kali ini sasarannya adalah Pasar Grosir Kuala Lumpur atau pasar grosir Selayang. Penangkapan itu dimulai pukul 09.00 dan melibatkan personel dari kepolisian, angkatan bersenjata, dan Kementerian Kesehatan. Beberapa truk polisi dan Departemen Imigrasi meninggalkan daerah itu sekitar pukul 11.30. Mereka diyakini membawa imigran ilegal ke depot penahanan sementara.
Salah satu yang ikut tertangkap dalam penggerebekan itu adalah Siddique, pengungsi Rohingya dari Myanmar yang telah mukim di Malaysia selama 13 tahun. Ia satu dari 180 ribu pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar di Komisi Tinggi Pengungsi PBB (UNHCR) di Malaysia, negara yang belum meratifikasi konvensi pengungsi dan menganggap pengungsi sebagai “imigran gelap”.
Siddique ingat bagaimana polisi membawa dia, istri, dan tiga anaknya ke jalan lalu bergabung dengan ribuan imigran lain dalam pemeriksaan identitas. “Itu seperti neraka, menyaksikan imigran dan pengungsi dikumpulkan pihak berwenang,” ujarnya kepada New Naratif. “Ada yang hamil dan ada bayi di bawah lima tahun. Mereka berteriak minta tolong sementara suami mereka hanya bisa menatap tanpa daya dan menangis.”
Sebanyak 1.368 imigran gelap, termasuk anak-anak, ditahan oleh Departemen Imigrasi dalam penggerebekan itu. Direktur Jenderal Imigrasi Datuk Khairul Dzaimee Daud mengatakan, dalam operasi yang dimulai pukul 18.30, total 790 warga negara Myanmar ditangkap, diikuti oleh 421 orang Indonesia, 78 orang Bangladesh, 54 orang India, 6 orang India, dan sisanya dari negara lain. Dia mengatakan mereka yang ditahan terdiri atas 1.009 pria, 261 perempuan, dan 98 anak-anak.
Amnesty International, kata Rachel Chhoa-Howard, telah berulang kali menyatakan kekhawatirannya atas perlakuan Malaysia terhadap pekerja migran yang ditahan selama pandemi, yang juga menjadi sorotan dalam film dokumenter Al Jazeera itu. “Kami memahami bahwa mereka yang ditahan di fasilitas sempit memiliki peluang sedikit untuk jaga jarak. Pihak berwenang Malaysia telah menunjukkan pengabaian terhadap hak asasi manusia dan kesehatan masyarakat dalam serangannya terhadap pekerja migran,” tuturnya.
Meskipun pembatasan ketat membantu mengatasi penyebaran virus corona, Malaysia menemukan lonjakan jumlah kasus di pusat-pusat penahanan yang penuh sesak. “Kami telah mengidentifikasi pusat-pusat penahanan sebagai daerah berisiko tinggi,” kata Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Malaysia Noor Hisham Abdullah.
Menurut ASEAN Post, Malaysia memiliki sekitar 2,07 juta pekerja migran yang terdaftar dan 2 juta yang tidak terdaftar. Seusai penangkapan itu, sebagian dari mereka dipulangkan ke negara masing-masing. Namun jumlah pekerja migran yang dipulangkan selama pandemi tidak diketahui pasti. “Kami tidak pernah mendapatkan jawaban soal ini dari pemerintah,” ujar Glorene A. Das.
ABDUL MANAN (REUTERS, AL JAZEERA, THE STAR, SCMP)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo