Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Berserak Kerikil di Blok Rokan

Setahun menjelang beralihnya pengelolaan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina, sejumlah persoalan masih menggantung. Berbagai skema disiapkan agar produksi tak makin jeblok.

18 Juli 2020 | 00.00 WIB

Fasilitas minyak PT Chevron Pacific Indonesia di daerah Minas yang masuk dalam Blok Rokan di Riau, Agustus 2018. (ANTARA/FB Anggoro)
Perbesar
Fasilitas minyak PT Chevron Pacific Indonesia di daerah Minas yang masuk dalam Blok Rokan di Riau, Agustus 2018. (ANTARA/FB Anggoro)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Audit digeber untuk membereskan isu kewajiban pemulihan lingkungan.

  • Berbagai opsi dibahas agar Chevron tetap mengebor di akhir masa kontrak.

  • Masalah lain masih harus dibereskan Pertamina secara B2B dengan Chevron.

BABAK baru pengelolaan Blok Rokan akan segera dimulai. Pemerintah resmi menunjuk Green Corps, organisasi lingkungan hidup asal Amerika Serikat, menjadi auditor lingkungan untuk lapangan minyak dan gas bumi yang berlokasi di Riau tersebut. Perjanjian kerja sama diteken pada Ahad, 12 Juli lalu. “Sudah, kickoff meeting Senin lalu,” kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto kepada Tempo, Kamis, 16 Juli lalu.

Ia menjelaskan, proses pemeriksaan akan memastikan lokasi dan memperkirakan volume tanah yang terkontaminasi minyak. Selanjutnya, audit akan menghitung besaran dana cadangan untuk pemulihan pasca-penambangan (abandonment and site restoration) yang mesti disediakan oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), kontraktor kontrak kerja sama Blok Rokan. Dengan begitu, segala keputusan akan dapat diaudit dan segera dibereskan sebelum CPI meninggalkan Rokan tahun depan.

Kontrak bagi hasil (production sharing contract) Chevron di Blok Rokan akan berakhir pada Agustus 2021. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak Juli 2018 menolak proposal perpanjangan kontrak CPI, yang separuh abad terakhir menggarap Rokan. Pemerintah mengalihkan pengelolaan wilayah kerja migas yang pernah menjadi primadona di Tanah Air itu kepada PT Pertamina (Persero) selama 20 tahun.

Ketika mengumumkan pengalihan pengelolaan tersebut dua tahun lalu, Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar mengatakan Pertamina menawarkan bonus tanda tangan (signature bonus) dan komitmen kerja pasti senilai total US$ 1,28 miliar atau sekitar Rp 18 triliun. Angka ini jauh lebih besar dibanding tawaran Chevron. Kementerian Energi optimistis bisa meraup potensi pendapatan negara sebesar US$ 57 miliar atau sekitar Rp 825 triliun selama masa kontrak baru Pertamina yang akan berakhir pada 2041.

Namun masalah muncul belakangan. Transisi pengelolaan menemukan banyak persoalan. Pada saat yang sama, produksi Blok Rokan terus merosot. Lapangan-lapangan di dalam wilayah kerja yang dieksplorasi sejak zaman Belanda tersebut memang makin tua sehingga produksinya turun secara alami. Tapi laju penyusutannya makin kencang sejak sinyal perpanjangan kontrak Rokan tak menyala untuk Chevron.

Sepanjang tahun lalu, Chevron tak lagi mengebor sumur baru—kegiatan yang diperlukan untuk mempertahankan produksi. Tahun lalu, minyak yang dihasilkan Rokan rata-rata hanya 209 ribu barel per hari. Kini ladang ini hanya menghasilkan rata-rata 180 ribu barel minyak per hari, bahkan diprediksi bisa turun menjadi 160 ribu. Bandingkan dengan lima tahun lalu, ketika ladang minyak seluas 6.264 kilometer persegi ini bisa menyemburkan minyak rata-rata 279 ribu barel per hari.

Pemerintah berkepentingan menjaga produksi Rokan untuk mengamankan pendapatan negara, setidaknya dengan mengerem laju penurunan pengangkatan (lifting). Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pun turun tangan mengambil alih koordinasi pembahasan Rokan di era transisi yang sebelumnya diurus Kementerian Energi dan SKK Migas.

Juru bicara Kementerian Koordinator Kemaritiman, Jodi Mahardi, mengatakan lembaganya hanya memfasilitasi sekaligus mengakselerasi agar produksi Rokan terjaga. Dengan begitu, baseline—titik awal produksi ketika Pertamina mengambil alih pengelolaan blok ini pada Agustus 2021—tidak terlalu jeblok. Jika tidak, upaya mengerek produksi Rokan bakal lebih sulit. “Saat ini fokus membahas kesepakatan agar CPI berinvestasi di masa transisi, sekaligus menjamin rehabilitasi lingkungan pasca-operasi,” tutur Jodi.

Itu sebabnya audit tambahan diperlukan di beberapa lokasi yang diminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut Jodi, CPI meminta pemerintah memberikan semacam surat pelepasan tanggung jawab (release of liability) jika perusahaan telah menunaikan kewajiban pasca-operasi dengan menyediakan sumber daya yang cukup. CPI memerlukannya sebagai bentuk kepastian.

Rehabilitasi lingkungan ini yang juga menjadi kerikil lain di masa transisi. Muncul kekhawatiran di tubuh Pertamina bahwa perseroan kudu memikul biayanya ketika efektif mengoperasikan Blok Rokan. Jika ditambah kewajiban akhir layanan para pekerja (past service liabilities), Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menghitung, bebannya bisa mencapai US$ 1,8 miliar. “Jauh lebih besar dibanding nilai aset dan produksi sampai 2021 yang diperkirakan hanya US$ 600 juta,” ujar Presiden FSPPB Arie Gumilar pada Februari lalu.

Persoalannya, diteken pada 1971, kontrak bagi hasil Chevron di Blok Rokan memang tak mewajibkan pengalokasian dana cadangan untuk pemulihan pasca-penambangan. Kebijakan pemulihan area bekas tambang ini baru berlaku setelah Indonesia meratifikasi konsensus internasional dan menuangkannya dalam peraturan Menteri Pertambangan dan Energi pada 1992. Ketentuan ini baru diterapkan dalam kontrak yang diteken setelah 1996.
 
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani mengatakan pemerintah sebenarnya tetap mewajibkan semua kontraktor memenuhi peraturan tersebut. Namun realisasinya bukan perkara mudah karena pekerjaan pemulihan lingkungan di Rokan mencakup area yang sangat luas. Wilayah kerja ini salah satu yang terluas di dunia, sepuluh kali luas Ibu Kota Jakarta. Area operasinya saja mencapai 220 kilometer persegi, setara dengan luas wilayah Jakarta Pusat plus Jakarta Timur.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus