Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pria Jahanam Berseragam Kuning Kunyit

Petugas pendamping korban pemerkosaan diduga memerkosa bocah perempuan 13 tahun sejak berbulan lalu. Korban juga dijadikan umpan untuk memeras.

18 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gambar tangkapan layar dari video pengakuan korban perkosaan./Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dian Ansori, pendamping anak di Lampung Timur, diduga memerkosa seorang bocah penyintas kekerasan seksual sejak Februari lalu.

  • Selain diperkosa, korban dijadikan umpan pemerasan dengan modus.

  • Ada sejumlah anak lain yang diduga menjadi korban pemerkosaan dan eksploitasi Dian.

KABAR penggerebekan yang selalu melibatkan Nina—bukan nama sebenarnya—tersiar luas di Desa Labuhan Ratu 7, Lampung Timur, Lampung, sejak pertengahan Juni lalu. Nina, 13 tahun, beberapa kali dipergoki bersama pria berbeda di sejumlah tempat sekitar desa. “Penggerebekan selalu berakhir damai dengan kesepakatan sejumlah uang,” kata Eko Wahyudi, warga Labuhan Ratu, pada Rabu, 15 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena itu, Eko menemui Sugiyanto, ayah Nina, di rumah kerabat Sugiyanto di Labuhan Ratu pada Kamis siang, 2 Juli lalu, untuk mencari tahu kebenarannya. Nina juga ada di sana. Meski tak memiliki hubungan saudara, Eko dan Sugiyanto kenal sejak dulu. “Memang ada perdamaian, tapi saya tak paham,” ucap Sugiyanto, 51 tahun, ketika ditanyai soal pertemuan itu pada Selasa, 7 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awalnya, kata Eko, Nina menangis. Ia mulai bercerita setelah Eko dan kerabat lain menjamin keamanannya. Perempuan yang baru lulus sekolah dasar itu mengatakan setidaknya ada empat penggerebekan sejak awal 2020. Terbata-bata, Nina mengatakan ia menemui para pria itu karena disuruh Dian Ansori. Pria 51 tahun itu petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur. “Kami sejak awal menduga Nina dimanfaatkan untuk menjebak orang lain agar bisa diperas,” ujar Eko.

Menjelang malam, terkuak cerita lain: Nina diperkosa Dian sejak Februari lalu. Pemerkosaan berlangsung di rumah Dian dan rumah Nina. “Korban mengaku diperkosa dua-empat kali dalam satu malam,” ucap Eko.

Eko kemudian menyampaikan cerita ini kepada Edi Arsadad dari Advokasi Kelompok Rentan Anak dan Perempuan (AKRAP). Menggandeng Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung, Edi kemudian melaporkan pemerkosaan itu ke Kepolisian Daerah Lampung pada Jumat malam, 3 Juli lalu. “Kami menyimpulkan ini kasus pemerkosaan yang sistematis dan harus ditangani Polda Lampung karena melibatkan banyak pihak,” kata Edi.

Sofa tempat korban diperkosa oleh Dian Ansori , di Kabupaten Lampung Timur, 16 Juli 2020./M. Yoga Nugroho

Dua hari kemudian, Nina menjalani visum. Hasilnya menunjukkan ada luka di organ kewanitaannya. Tim pendamping Nina dari AKRAP dan LBH Bandar Lampung juga menyerahkan tikar yang diduga menjadi alas saat Dian terakhir kali memerkosa Nina dan baju yang digunakan korban ketika itu kepada polisi.

Penyidik lalu memburu Dian. Ia dikabarkan menyeberang ke Pulau Jawa setelah mendengar Nina melapor ke Polda Lampung. Tempo berupaya menghubungi telepon selulernya pada Selasa, 7 Juli lalu, tapi nomornya tidak aktif.

Dian menyerahkan diri ke Polda Lampung pada Jumat, 10 Juli. Penyidik menetapkan dia sebagai tersangka sehari kemudian. Dian dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman hingga hukuman mati. “Tidak tertutup kemungkinan ada penambahan tersangka lain,” tutur Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Lampung Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad.

Saat menjalani pemeriksaan lanjutan pada Senin, 13 Juli lalu, Dian mengaku telah menyetubuhi Nina. Ia juga mengatakan perbuatan laknat itu terakhir kali dilakukan pada 28 Juni lalu. Di hadapan penyidik dan sejumlah wartawan yang menyaksikan pemeriksaan, Dian mengaku melampiaskan nafsunya empat kali malam itu.

Pengacara Dian, Panca Kusuma, mengatakan kliennya membantah telah memerkosa Nina. Tapi, kata Panca, Dian tak menyanggah pernah menginap di rumah Nina. Dian beralamat di sekitar Pasar Sukadana, Kecamatan Sukadana, sekitar satu jam dari tempat tinggal Nina. “Main ke rumahnya juga iya. Jadi tidak semuanya bohong,” ujar Panca.

• • •

SEHARI-hari Sugiyanto bersama dua anaknya, Nina dan adik lelakinya, tinggal di rumah milik seorang kerabatnya di Desa Labuhan Ratu 7. Berdinding bata merah, rumah itu tak berdaun jendela. Lantai rumah hanya lapisan semen kasar yang tampak terkelupas di beberapa bagian.

Keluarga itu belum punya tempat tinggal sendiri. Istri Sugiyanto merantau ke Malaysia bertahun lalu. Sugiyanto sendiri bekerja serabutan. Ia kerap pulang malam untuk mencari nafkah. Kesibukan ini membuatnya jarang memperhatikan perkembangan anak perempuannya. “Itu sebabnya, saya percaya saja sama Dian Ansori yang selalu datang dengan seragam warna kuning kunyit,” kata Sugiyanto.

Ia mengenal Dian sejak pria itu datang sebagai petugas P2TP2A ke rumah mereka setelah pemerkosaan Nina oleh pamannya, Lukman, 45 tahun, terungkap pada November tahun lalu. Saat itu, Nina duduk di kelas VI SD. Sang paman berkali-kali memerkosanya saat Sugiyanto tak ada di rumah.

Kepada Sugiyanto, Dian mengaku sebagai pendamping dan pelindung anak dari P2TP2A Lampung Timur. Dian berjanji memulihkan psikis Nina dengan membawanya ke rumah aman di bawah naungan P2TP2A.

Alih-alih membawa ke rumah aman, Dian memboyong Nina ke rumah pribadinya di Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur. Nina berhari-hari menginap di sana. Di rumah itu, ada anak dan istri Dian. Nina hanya sesekali pulang ke rumah orang tuanya. Selama itu, Sugiyanto sama sekali tak menaruh curiga sedikit pun kepada Dian.

Dian Ansori/instagram.com

Beberapa waktu kemudian, petugas P2TP2A lain, Romiatun, membawa Nina ke rumahnya. Nina menetap di sana sekitar tiga pekan. “Dia tinggal di rumah saya sejak awal puasa hingga tujuh hari sebelum Lebaran,” ujar Romiatun kepada Tempo pada Rabu, 15 Juli lalu. Nina dikembalikan ke rumah ayahnya menjelang Lebaran.

Pemerkosaan diduga pertama kali terjadi pada Februari lalu di rumah Sugiyanto. Ketika itu, Dian, dengan mengenakan seragam P2TP2A, sering datang untuk memberikan konseling. Di rumah tersebut tak ada siapa-siapa. Sugiyanto kerap pergi untuk mencari uang. Adik Nina lebih sering bermain di rumah tetangga dan kerabat. Kepada Eko Wahyudi, Nina mengatakan merasa jijik terhadap perbuatan Dian. Ia tak memiliki selera makan hingga berpekan-pekan setelah diperkosa.

Tapi Nina tak berani melawan. Dian selalu mengancam akan membunuh dan menyantet Nina serta keluarganya jika melaporkan pemerkosaan itu kepada orang lain. Nina pun tak berani menolak saat Dian memberikan duit Rp 20-100 ribu setelah memerkosa.

Pemerkosaan di rumah Nina terjadi berulang-ulang. Tak hanya siang, Dian pun melakukan kekerasan seksual tersebut pada malam hari. Dalam satu malam, Nina diperkosa hingga berkali-kali.

Dian juga diduga pernah memerkosa Nina di rumah pribadinya. Kepada Eko, Nina mengatakan rumah Dian kerap sepi saat siang. “Anaknya tak di rumah dan istrinya pergi berbelanja ke pasar,” kata Eko.

Menurut Eko berdasarkan cerita Nina, sebelum memaksa berhubungan badan, Dian pernah memamerkan jamu yang diklaim sebagai obat kuat kepada Nina. Dian juga menunjukkan dua video porno yang tersimpan di telepon selulernya. Adegan cabul itu dilakukan dua perempuan, bocah berinisial N dan remaja F, bersama seorang lelaki tak dikenal.

Nina mengenal N saat sering berkunjung ke P2TP2A. Ia juga tahu siapa F, yang kini beranjak dewasa, yang berdomisili di desa tetangga. Direktur AKRAP Edi Arsadad menduga N dan F pernah bernaung di P2TP2A dan mengenal Dian. Ada satu perempuan lain yang diduga bernasib sama. “Kami menduga mereka juga korban Dian dan komplotannya,” ucap Edi.

• • •

EKO Wahyudi dan Edi Arsadad sempat kesulitan melaporkan pemerkosaan Nina ke polisi. Nina merasa trauma bertemu dengan aparat dan menyebut Dian Ansori mengenal banyak polisi dan tentara. Ia pernah melihat sendiri pengaduannya kandas di sebuah kantor polisi. Seorang polisi mendamaikan kasus itu dan memberikan duit Rp 2 juta kepada Sugiyanto, ayahnya.

Pengaduan tersebut bermula dari kedatangan seorang pria berinisial AAP alias An, 21 tahun, ke rumah Nina pada pertengahan April lalu. AAP menginap di sana. Kepala dusun setempat bernama Dwi Santoso, Dian, sekelompok orang, serta seorang polisi dan tentara kemudian datang menggerebek. Mereka memboyong Nina dan AAP ke pos polisi.

Perkara terus berlanjut hingga ke Kepolisian Resor Lampung Timur. Di sanalah terjadi “perdamaian”. Agar kasus tak berlanjut, si pria harus membayarkan sejumlah uang. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Lampung Timur Ajun Komisaris Faria Arista membenarkan adanya upaya perdamaian kasus atas nama Nina dan AAP yang diprakarsai pengurus desa. Tapi ia membantah tudingan ada polisi yang terlibat pemerasan. “Penyelidikan laporan itu tetap berjalan,” katanya.

Penggerebekan diduga hanya akal-akalan Dian dan kawan-kawan. Kepada Eko, Nina mengatakan Dian menyuruhnya untuk menggoda dan menghubungi AAP agar berkunjung ke rumah. Nina punya telepon seluler. “Sepertinya komplotan ini menjebak pria-pria lain dengan memanfaatkan korban,” ucap Eko.

Setelah menjebak, komplotan ini memeras para pria yang terpancing. Kepada Eko dan Edi, Nina mengatakan setidaknya ada empat pria yang menjadi korban Dian dan kawan-kawan sepanjang April hingga Juni lalu.

Nina menyebutkan Romiatun, petugas P2TP2A lain, mengetahui perbuatan Dian. Menurut Edi, Romiatun bahkan kerap meminta Nina menghubungi para mantan pacar dan meminta bertemu. Nina tak berani membantah perintah Dian dan Romiatun.

Yang memilukan, kata Edi, para pria itu sempat menyetubuhi Nina sebelum digerebek. Selain di kantor polisi, “perdamaian” berlangsung di kantor kepala desa dan dihadiri orang tua serta kerabat para pria yang bersama Nina. “Cerita ini memang pelik,” ujar Edi.

Dian dan komplotannya diduga memeras para pria itu hingga belasan juta rupiah. Modusnya, mereka memaksa para pria dan keluarganya meneken surat perdamaian jika tak mau kasus berlanjut ke proses hukum. Dari tiga salinan surat perdamaian yang diperoleh Tempo, Dwi Santoso, kepala dusun, selalu berperan menjadi juru damai.

Salah satu surat perdamaian mencantumkan Sugiyanto, ayah Nina, berdamai dengan seorang pria berinisial KM, 23 tahun, pada 5 Juni 2020. Ada lagi surat perdamaian tertanggal 1 Mei 2020. Kali ini, Dian dan komplotannya diduga menggunakan N, anak yang pernah di bawah perlindungan P2TP2A, sebagai umpan. Dwi Santoso lagi-lagi menjadi penengah.

Panca Kusuma, kuasa hukum Dian Ansori, di Pengadilan Negeri Sukadana, Lampung Timur, 16 Juli 2020./Hendry Sihaloho

Dwi mengakui pernah mendamaikan kasus AAP. Tapi ia membantah jika disebut memanfaatkan Nina untuk memeras pria hidung belang. “Saya enggak tahu kalau itu,” ucapnya. Ia membantah menjembatani “perdamaian” kasus lain. Sedangkan Romiatun mengaku mengetahui penggerebekan Nina dengan AAP, tapi menyanggah mengetahui pemerasan oleh Dian dan komplotannya. “Waduh, perdamaian yang mana? Saya sama sekali tidak tahu,” tuturnya.

Selain memanfaatkan Nina, Dian diduga memanfaatkan N. Ayah N berinisial BS diketahui menandatangani sebuah surat “perdamaian”. Tim Eko dan Edi pernah bertanya kepada BS, yang kemudian membantah menandatangani surat “perdamaian” yang ditunjukkan. Tapi, kata Edi, BS tak menyanggah pernah meneken surat “perdamaian” yang lain.

Pengacara Dian Ansori, Panca Kusuma, mengatakan tuduhan pemerasan itu tak beralasan. “Tidak benar,” ujarnya. Kliennya memang pernah dimintai pendapat atas satu kasus yang melibatkan Nina. Ia tak merinci kasus yang dimaksud.

Edi, Eko, dan LBH Bandar Lampung berupaya mengajak korban-korban lain untuk melapor ke polisi. Tim pendamping Nina juga membujuk N dan orang tuanya untuk mengadu. Sayangnya, hingga Sabtu, 18 Juli lalu, korban-korban Dian masih enggan menemui polisi.

MUSTAFA SILALAHI, RIKY FERDIANTO, HENDRY SIHALOHO (LAMPUNG TIMUR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus