Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Aliansi Global Menekan Pandemi


Bantuan vaksin Covid-19 dalam program kerja sama global Covax mulai dikirim ke berbagai negara. Andalan negara-negara yang tak mampu atau sedang dalam konflik.

20 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja medis memeriksa ketersediaan vaksin AstraZeneca / Oxford yang dibawa oleh COVAX, sebelum didistribusikan di Kitengela, Nairobi, Kenya, 4 Maret 2021. REUTERS/Monicah Mwangi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ghana menjadi negara pertama yang menerima paket bantuan vaksin Covid-19 gratis dari program Covax.

  • Indonesia menerima paket perdana vaksin Covid-19 dari Covax sebanyak 1,1 juta dosis.

  • Program Covax menjadi alternatif terbaik dalam mendistribusikan vaksin secara adil untuk menanggulangi pandemi.

KIRIMAN vaksin coronavirus perdana dari Covid-19 Vaccines Global Access (Covax), kerja sama pengadaan vaksin internasional di bawah pengawasan Badan Kesehatan Dunia (WHO), langsung mendongkrak program vaksinasi di Ghana. Hingga Kamis, 18 Maret lalu, atau tiga pekan setelah mendapatkan paket vaksin, negeri itu telah memberikan lebih dari 420 ribu dosis vaksin buatan perusahaan farmasi Inggris, AstraZeneca, kepada warganya. Sebanyak 60 persen populasi di Ibu Kota Accra, wilayah yang paling parah dihantam pandemi Covid-19, juga sudah divaksin.

Presiden Ghana Nana Akufo-Addo mengatakan rakyatnya akan merasa nyaman menerima vaksin karena yakin akan keamanannya. Akufo-Addo adalah orang pertama di dunia yang menerima vaksin AstraZeneca melalui program Covax pada Senin, 1 Maret lalu. “Sangat penting bagi saya untuk memberi contoh bahwa vaksin ini aman dengan menjadi orang pertama yang menerimanya,” kata Presiden 76 tahun itu, seperti dilaporkan Africanews.

Ibu negara Rebecca Akufo-Addo juga ikut divaksin. Vaksinasi itu disiarkan langsung ke seantero negeri. Wakil Presiden Mahamudu Bawumia dan istrinya, Samira, juga divaksin. Sehari setelah mereka divaksin, pemerintah meluncurkan program vaksinasi massal yang menggunakan 600 ribu dosis vaksin AstraZeneca gratis dari Covax.

Warga Ghana yang masuk daftar prioritas langsung mengantre di fasilitas-fasilitas kesehatan untuk mendapat suntikan vaksin. Negara di Afrika itu menjalankan fase pertama vaksinasi untuk para pekerja kesehatan dan orang-orang yang dinilai memiliki risiko tinggi terpapar Covid-19. Bernice Anaglatey, pekerja di unit perawatan intensif Covid-19 di Rumah Sakit Ridge, Accra, yakin dengan vaksin yang didapatnya. “Ini membantu melindungi saya dari virus yang dibawa pasien,” ujar perawat 42 tahun itu, seperti dilaporkan Reuters.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Covid-19 melanda dunia pada Maret 2020, lebih dari 84 ribu orang terjangkit dan 607 orang meninggal akibat penyakit itu di Ghana. Namun jumlahnya diperkirakan lebih besar, mengingat Ghana tak memiliki kapasitas untuk melakukan pengetesan. Pemerintah Ghana juga menutup perbatasan darat dan laut serta melarang acara yang memicu kerumunan. Meski demikian, sebagian sekolah sudah mulai dibuka pada Januari lalu.

Pengalaman Ghana berhadapan dengan berbagai penyakit infeksi, seperti campak, cacar, rubela, batuk rejan, dan tetanus, juga membantu program vaksinasi Covid-19 berjalan lancar. Menurut Nana Kofi Quakyi, peneliti di New York University College of Global Public Health, Amerika Serikat, sekitar 90 persen populasi Ghana telah divaksin untuk melawan penyakit-penyakit itu. Negeri itu juga telah mengembangkan sistem penyimpanan vaksin yang semakin baik. “Soal penyimpanan dan distribusi, terutama untuk vaksin yang kami dapat dari AstraZeneca, sudah cocok dengan rantai sistem yang ada,” tuturnya, seperti dilaporkan National Public Radio.

Meski demikian, ada kabar miring yang menyertai kedatangan vaksin Covid-19 ke Ghana. Menurut George Mwinnyaa, mahasiswa program doktoral di John Hopkins University, Amerika Serikat, vaksin itu produk baru dan untuk orang dewasa. Namun banyak warga Ghana meyakini vaksin itu masih dalam taraf uji coba. Merek AstraZeneca juga dipertanyakan karena belum disetujui Badan Pengawas Obat Amerika Serikat yang selama ini menjadi rujukan mereka, meskipun sudah disetujui WHO. “Ghana masih harus mendidik warganya soal vaksin,” ucap Mwinnyaa. “Memperbaiki persepsi publik soal vaksin lebih berat dibanding urusan distribusi vaksin.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ghana merupakan negara pertama di dunia yang mendapat vaksin gratis lewat skema kerja sama global Covax. Vaksin AstraZeneca yang mereka terima dibuat oleh Serum Institute, perusahaan farmasi dan produsen vaksin India. Tetangga Ghana, Pantai Gading, juga telah meluncurkan program vaksinasi massal yang mengunakan vaksin kiriman Covax. Nigeria dan Republik Demokratik Kongo masuk daftar penerima 11 juta dosis vaksin AstraZeneca dan Pfizer melalui program Covax.

Indonesia juga menerima vaksin dari Covax. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan Indonesia mendapat 11,7 juta dosis vaksin AstraZeneca dari Covax. Pengiriman vaksin lewat jalur kerja sama multilateral ini akan dilakukan secara bertahap. Retno juga mengapresiasi upaya Covax dan WHO untuk menjamin kesetaraan akses terhadap vaksin Covid-19. “Pengiriman batch pertama akan dilakukan hingga Mei 2021,” ujar Retno, yang juga menjadi salah satu ketua program pengadaan vaksin Covax Advance Market Commitment (Covax AMC) yang diprakarsai WHO dan Aliansi Vaksin (Gavi), lembaga swasta yang membantu program vaksinasi global.

Sebanyak 1,1 juta dosis vaksin AstraZeneca yang dikirim Covax tiba di Indonesia pada Senin, 8 Maret lalu. Paket ini menambah stok vaksin Covid-19 yang dimiliki Indonesia menjadi hampir 40 juta dosis. Sebelumnya, pemerintah telah mendatangkan sekitar 38 juta dosis vaksin bikinan Sinovac, perusahaan farmasi Cina.

Vaksin yang dikirim Covax itu ditampung oleh Bio Farma. Lantaran merupakan program bantuan, rencana penggunaan dan distribusi vaksin AstraZeneca itu akan diatur oleh Kementerian Kesehatan. “Program vaksinasinya akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan,” ujar juru bicara vaksinasi Bio Farma, Bambang Heriyanto, pada Selasa, 9 Maret lalu.

Dimulai oleh Badan Kesehatan Dunia pada April 2020, program Covax kini telah disokong oleh Gavi, Koalisi untuk Inovasi Kesiapan Epidemi (CEPI), dan Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef). Dua bulan kemudian, 165 negara yang mewakili sekitar 60 persen populasi dunia bergabung dengan Covax.


Estimasi Distribusi Vaksin (2021)

• Pfizer-BioNTech 1,2 miliar dosis
• AstraZeneca-Oxford 336 juta dosis

Penerima paket vaksin: 92 negara




Lewat Covax, negara-negara kaya dan organisasi nirlaba menjadi donor untuk membeli dan menyalurkan vaksin ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara yang termasuk kategori miskin atau sedang terjebak konflik. Sebelum dikirim, paket-paket itu mendapatkan validasi dari Kelompok Alokasi Vaksin Independen (IAVG). “Vaksin dari Covax gratis, tapi mungkin ada kesepakatan dari negara-negara yang bergabung di Covax untuk saling memberikan kontribusi,” tutur anggota IAVG, Tjandra Yoga Aditama.

Distribusi Covax dinilai menjadi salah satu alternatif terbaik untuk mendapatkan vaksin dalam menghadapi pandemi Covid-19. Jalur lain adalah menjalin kerja sama dengan negara pembuat vaksin. Hal ini dilakukan oleh India dan sejumlah negara tetangganya, seperti Bangladesh dan Sri Lanka. India, yang memproduksi vaksin AstraZeneca, juga mengirim produknya ke negara di Eropa dan Amerika.

Opsi lainnya adalah membeli vaksin yang tersedia di pasar bebas atau membikin vaksin sendiri. Namun hal ini membutuhkan ketersediaan sumber daya, dana, dan fasilitas yang besar. “Membeli di pasar bebas atau bikin sendiri kalau memang punya kemampuan untuk itu, seperti yang dilakukan sejumlah negara maju,” ucap Tjandra, yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kepada Tempo pada Selasa, 16 Maret lalu.

Sejak akhir 2020, negara-negara kaya sudah mengamankan jutaan dosis vaksin untuk melawan Covid-19. Negara seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa bahkan sudah menggelar vaksinasi massal untuk warganya sejak Desember 2020. Namun ada banyak negara tidak bisa membeli atau mendapatkan akses vaksin. “Covax dibentuk untuk menjamin akses vaksin Covid-19 yang adil dan merata untuk semua negara,” tutur Tjandra.

Untuk mendapat bantuan vaksin Covid-19, negara yang membutuhkan bisa mengajukan permohonan ke sekretariat Covax. Empat hal yang harus dipenuhi dalam proposal itu adalah target populasi yang akan divaksinasi, sistem distribusi, mekanisme penanganan kejadian ikutan pascaimunisasi, dan anggaran untuk menggelar vaksinasi. Tim beranggotakan staf WHO dan Gavi lalu menyusun daftar pembagian vaksin yang kemudian divalidasi tim beranggotakan 12 orang di IAVG. “Kalau lolos validasi, vaksin langsung dikirim,” kata Tjandra. “Validasi juga menjaga pembagian vaksin akuntabel dan transparan.”

Jumlah vaksin yang dikirim akan dipotong 5 persen untuk dimasukkan ke cadangan atau buffer. Stok vaksin inilah yang nanti dikirim dan dipakai untuk membantu program vaksinasi negara-negara yang sedang dalam kondisi krisis peperangan atau banyak warganya yang menjadi pengungsi. “Ini akan diberikan lewat tim darurat WHO karena tidak mungkin negara-negara seperti itu, apalagi para pengungsi, mengurusnya sendiri,” ujar Tjandra.

Menurut Jacqueline Weekers, Direktur Kesehatan Migrasi di Organisasi Internasional untuk Migrasi, para migran dan pengungsi juga termasuk kelompok yang rentan tertinggal dalam program vaksinasi Covid-19. Pandemi membuat kehidupan mereka kian sulit. Para migran, menurut Weekers, seharusnya juga masuk dalam grup yang diprioritaskan karena memiliki risiko tinggi terinfeksi, seperti halnya para pekerja kesehatan dan orang yang memiliki penyakit penyerta (komorbid). “Sangat penting untuk lebih proaktif membantu mereka memahami hak dan bagaimana mengakses vaksin ini,” tutur Weekers dalam laporannya yang dimuat di situs Gavi pada Kamis, 18 Maret lalu.

Pembagian vaksin dari Covax juga dilakukan berdasarkan proporsi populasi dan jalur pengiriman. Supaya distribusi tetap seimbang, negara-negara yang sudah mendapat banyak vaksin tidak lagi masuk dalam daftar Covax. Meski demikian, menurut Tjandra, stok vaksin dari Covax juga sangat bergantung pada kemampuan produsen dan mempengaruhi jumlah paket yang dikirim. “Produksi vaksin memang terbatas,” tuturnya.

Hingga saat ini, Covax telah mengirim lebih dari 28,3 juta dosis vaksin ke lebih dari 46 negara. Sebanyak 38 negara di Afrika telah menerima lebih dari 25 juta dosis vaksin Covid-19 lewat skema Covax, kerja sama bilateral, dan donasi. “Meski Afrika terlambat mendapatkan vaksin dan jumlahnya terbatas, program vaksinasi bisa berkembang dalam waktu yang singkat,” kata Direktur WHO untuk Afrika Matshidiso Moeti.

Sebanyak 30 negara Afrika sudah menjalankan program vaksinasi massal. Menurut Moeti, dalam konferensi pers virtual pada Kamis, 18 Maret lalu, program vaksinasi di Afrika bisa berjalan cepat karena negara-negara di sana sudah memiliki pengalaman melakukan vaksinasi massal saat menghadapi wabah. “Dibandingkan dengan negara lain yang mengakses vaksin lebih awal, fase awal vaksinasi di sejumlah negara Afrika bisa menjangkau lebih banyak orang,” ujarnya. 

Lewat program Covax, ada kesepakatan dengan para produsen vaksin untuk membuat sekitar 2,3 miliar dosis hingga akhir 2021. Covax juga sudah mengumpulkan dana hingga US$ 6,3 miliar atau sekitar Rp 90,7 triliun untuk pengadaan vaksin bagi 20 persen populasi negara-negara anggota Covax AMC. Dalam keterangan tertulis di laman Kementerian Luar Negeri, Menteri Retno menyebutkan program vaksinasi sudah dimulai di 131 negara sejak pertemuan terakhir Covax AMC pada Januari lalu. “Akses yang adil atas vaksin adalah kunci untuk segera keluar dari pandemi,” ucapnya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ISTMAN MUSAHARUN PRAMADIBA, FRANCISCA CHRISTY ROSANA (WHO, AL JAZEERA, BBC, NPR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus