Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUYURAN hujan lebat pada Selasa malam, 16 Maret lalu, membuat Gusrinal bisa bernapas lega. Warga Desa Sijantang, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, ini mengaku bisa menghirup udara bersih dalam-dalam. Langit tampak lebih biru, jalan di depan rumah serta bunga dan tanamannya terbebas dari abu pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin yang letaknya hanya 20 meter dari tempat tinggalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari cerobong PLTU itu, terutama pada malam hari, selalu ada siraman abu halus yang beterbangan di udara dan menyelimuti desa. Selain dari cerobong asap, abu hasil pembakaran batu bara itu menggunung di belakang PLTU. Ini adalah bagian dari limbah pembakaran batu bara yang lebih dikenal sebagai fly ash dan bottom ash alias FABA. “Tumpukan limbah batu bara itu ditutup dengan terpal robek. Debunya sering terbang ditiup angin sampai ke rumah kami,” ujar Gusrinal pada Rabu, 17 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Truk-truk batu bara yang keluar-masuk PLTU itu juga memperparah keadaan. Debu dari roda-roda truk yang menggilas jalan masuk ke dalam rumah lewat ventilasi lalu hinggap di makanan dan lengket di pakaian yang dijemur. “Lihat pakaian murid saya itu. Lengan bajunya tidak lagi putih, tapi sudah abu-abu. Tiap hari kena debu dari PLTU Ombilin yang tidak jauh dari sekolah,” ucap Gusrinal, yang mengajar di Sekolah Dasar Negeri 19 Sijantang, sekitar 10 meter dari gerbang PLTU.
Dalam sehari, PLTU itu memproduksi 400 ton FABA. Menurut Ahmadi, Asisten Manajer Sumber Daya Manusia PLTU Ombilin, selama ini FABA ada yang dibawa ke PT Semen Padang untuk bahan campuran semen dan ke PT Kunango Jantan di Padang untuk produksi paving block. “Namanya industri, tak mungkin tidak ada dampak. Hanya, sejauh ini kami mencoba meminimalkan,” katanya pada Kamis, 18 Maret lalu. Pembangkit ini tak bisa distop karena, menurut dia, daya 200 megawatt atau seperempat kebutuhan listrik Sumatera Barat dipasok dari sini.
Gusrinal mengaku terkejut saat mengetahui pemerintah mengeluarkan FABA dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Ketentuan terbaru itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. “Entah bagaimana mereka menelitinya. Sebagai masyarakat yang selalu terpapar abu, kami memastikan bahwa FABA sangat berbahaya bagi kesehatan,” ujarnya.
•••
UPAYA mengeluarkan FABA dari daftar limbah B3 merupakan perjuangan lama para pengusaha. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Hendra Sinadia, upaya awal itu sudah dilakukan sejak 2012. Waktu itu pemerintah hendak menyusun peraturan pemerintah soal limbah B3. “Kami memperjuangkan agar FABA dikeluarkan,” tuturnya pada Kamis, 18 Maret lalu. Asosiasi ini bertemu dengan sejumlah menteri, termasuk Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia.
Dalam surat sepanjang dua halaman tertanggal 15 Oktober 2012, asosiasi yang tergabung dalam Forum Komunikasi Lintas Asosiasi Industri Bidang Lingkungan Hidup dan Sustainability meminta agar pengelolaan limbah B3 tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi para pelaku usaha, meski dampak lingkungannya tetap perlu dicegah. Intinya, asosiasi ini ingin FABA tidak tergolong dalam limbah B3. Upaya itu tak membuahkan hasil.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014, yang diterbitkan pada akhir masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, tetap memasukkan FABA sebagai limbah B3. Kebijakan itu, menurut Hendra, membuat industri kesulitan memanfaatkan limbahnya. “Banyak kajian dalam negeri yang menyatakan FABA bukan limbah B3. Juga sudah umum penggunaan FABA untuk material industri di banyak negara, termasuk Jepang,” tutur Hendra. Ada yang bisa dipakai untuk material bangunan dan pengerasan jalan.
Menurut Hendra, dengan masuk limbah B3, protokol yang dikenakan terhadap FABA sangat ketat, baik dalam penyimpanan, pengiriman, maupun pengolahannya. Hal itu menimbulkan biaya tinggi. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia Liana Bratasida, FABA di negara lain bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. “Masalahnya bukan hanya biaya pengelolaan yang tinggi,” ujarnya.
Menurut kajian Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), ada 10-15 juta ton FABA yang dihasilkan dalam setahun. Pemanfaatan flying ash di bawah 1 persen dan bottom ash di bawah 2 persen. Kecilnya pemanfaatan terjadi karena perizinannya yang sulit dan prosedurnya lama. Belum lagi laboratorium untuk memeriksa uji kadar racun yang berizin jumlahnya terbatas. “Kalau tidak diolah, ditumpuk di lahan terbuka. Bukankah lebih baik didaur ulang jadi produk?” ucap Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani pada Kamis, 18 Maret lalu.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2020 tentang Cara Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun pada 17 April 2020. Namun, menurut Hendra, industri menilai regulasi itu tidak menyelesaikan masalah. Sebab, uji karakteristik di lapangan sulit dilakukan karena keterbatasan laboratorium yang terakreditasi. “Peraturan menteri itu disusun tanpa melibatkan pelaku usaha yang terkena dampak,” katanya. Setelah keluarnya peraturan itu, industri bersatu lagi untuk menyuarakan aspirasi lamanya.
Tumpukan Faba di PLTU Ombilin tahun 2019. Dokumentasi LBH Padang
Momentum itu datang saat pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut Hendra, pemerintah meminta pelaku usaha yang terhambat aturan agar menyampaikan usul. Asosiasi lalu mengusulkan peninjauan aturan tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Menurut Hariyadi, Kementerian Koordinator Perekonomian mendengarkan aspirasi itu. “Karena banyak yang ngomel-ngomel,” ucapnya. Asosiasi juga menyampaikan soal ini ke Kementerian Lingkungan dalam acara “Serap Aspirasi Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja” pada 2 Desember 2020.
Menurut Agus Pambagio, penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, soal FABA ini sebenarnya menjadi pembahasan panjang di kementerian. Dia menduga awalnya cuma soal jumlah yang membuat FABA, seperti tailing, masuk B3. Keduanya juga sama-sama berguna bagi industri konstruksi dan pertanian. “Tapi tidak ada yang berani mengolahnya karena butuh amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang paling tidak butuh Rp 400 juta,” ujar Agus pada Kamis, 18 Maret lalu.
Pengelola PLTU, Agus menambahkan, sudah cukup lama menyampaikan bahwa mereka mengeluarkan biaya besar untuk mengolah FABA. Pengolahan limbah B3 semua dilakukan di Jawa. Ongkos transportasinya rata-rata 1,2 juta per ton. Kalaupun ditimbun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, batas maksimumnya tiga tahun. Ketika lahannya sudah penuh, menurut Agus, PLTU perlu membeli tanah baru untuk penyimpanan limbah tersebut.
Saat penyimpanan limbah melebihi waktu, Agus melanjutkan, kadang-kadang oknum aparat keamanan datang. Jika limbah disimpan melebihi ketentuan, dendanya bisa mencapai Rp 3 miliar. Dalam situasi seperti itu, PLTU harus berdamai dengan aparat. “Duit pengeluaran untuk itu dari mana? Kan ke tarif dasar listrik,” kata Agus soal keluhan pengelola PLTU tersebut.
Agus mengaku mendengar soal surat dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri kepada Presiden Joko Widodo agar FABA dikeluarkan dari limbah B3. Dugaan Agus, pertimbangannya mungkin adalah biaya yang dikeluarkan oleh badan usaha milik negara. Ini merupakan bagian dari upaya pencegahan korupsi. “Kasus seperti itu ujung-ujungnya kerugian negara,” ujarnya.
Menurut Agus, kebijakan soal FABA perlu diukur secara ilmiah. Berdasarkan kajian internal Kementerian Lingkungan, pembakaran batu bara di PLTU dilakukan pada suhu tinggi, sehingga kandungan unburned carbon dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan. Sedangkan pembakaran batu bara di industri lain—dengan fasilitas stoker boiler atau tungku industri untuk pembuatan uap—menggunakan temperatur rendah, sehingga FABA-nya tetap menjadi limbah B3. Hasil kajian ilmiah itulah, menurut Agus, yang membuat pemerintah mencabut FABA PLTU dari limbah B3.
Tumpukan Faba di PLTU Ombilin tahun 2019. Dokumentasi LBH Padang
Salah satu pihak yang bereaksi paling awal atas perubahan kebijakan ini adalah Lembaga Bantuan Hukum Padang yang selama ini mendampingi masyarakat di sekitar PLTU Ombilin. “Selama ini masyarakat Desa Sijantang Koto telah lama hidup menderita akibat pengelolaan limbah FABA yang buruk di PLTU Ombilin, bahkan ketika FABA masih dikategorikan sebagai limbah B3,” tutur Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang Wendra Rona Putra.
Wendra mengatakan dampak FABA itu juga dibuktikan dengan data Badan Pusat Statistik Sawahlunto pada 2020 yang menyebutkan statistik kasus infeksi saluran pernapasan akut menempati urutan paling atas dalam daftar 10 penyakit terbanyak di semua pusat kesehatan masyarakat di Kota Sawahlunto. Ia juga menyitir laporan hasil screening pernapasan terhadap 50 murid SD Negeri 19 Sijantang, Desember 2016-Januari 2017. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik paru-paru siswa, 88 persen siswa masih normal, tapi hanya 11 murid yang normal berdasarkan hasil pemeriksaan foto toraks.
Asisten Manajer Sumber Daya Manusia PLTU Ombilin Ahmadi mengatakan pemeriksaan itu dilakukan atas inisiatif PLTU Ombilin. Dari hasil penelitian itu memang ditemukan ada beberapa kasus bronkitis. Namun itu baru pengamatan visual yang detailnya harus melalui pemeriksaan laboratorium. “Menurut kami, itu analisis yang keliru. Sampai sekarang tidak ada satu pun anak-anak itu yang tidak sehat. Belum ada orang yang menyampaikan ke kami anaknya sakit kronis.”
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menjelaskan, FABA ditempatkan sebagai limbah B3 karena prinsip kehati-hatian. Soal kesulitan industri dalam pemanfaatan, hal itu harus dijawab dengan perbaikan pada bagian yang dikeluhkan. “Ini akan membuat penanganannya akan lebih ugal-ugalan,” tuturnya. Jatam yakin FABA mengandung gas berbahaya karena bahan dasarnya mengandung gas. Pembakaran dengan cara apa pun tidak akan menghilangkan bahayanya.
Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nasional Dwi Sawung mengatakan memang beberapa negara, seperti Jepang dan Amerika Serikat, tidak mengkategorikan FABA sebagai limbah B3, melainkan dalam kategori tersendiri, termasuk pemanfaatannya. Pemerintah harusnya membantu industri, misalnya, soal pengujian. Begitu juga kalau ada masalah pada pembiayaan. “Mengeluarkan dari limbah B3, ada risiko lain yang tidak dihitung,” ucapnya.
Deputi Direktur Indonesian Centre for Environmental Law Grita Anindarini juga risau soal pertanggungjawaban soal FABA yang tidak akan seketat sebelumnya. Dulu ada pasal sendiri soal pengelolaan limbah B3, yang bisa mempidanakan industri yang tidak mengolahnya sesuai dengan ketentuan. Saran Grita jelas, “Segera cabut kelonggaran pengaturan pengelolaan abu batu bara dan tetap mengkategorikannya sebagai limbah B3.”
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Rosa Vivien Ratnawati menjelaskan, meski berstatus bukan limbah B3, FABA juga tetap harus dikelola. “Saat ini, Kementerian LHK tengah menyelesaikan Peraturan Menteri tentang Pengaturan Limbah Non-B3,” tuturnya dalam konferensi pers daring pada Senin, 15 Maret lalu.
Bagi industri, menurut Hendra, peraturan baru ini masih dianggap setengah-setengah karena FABA di luar PLTU masih masuk limbah B3. Namun Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia Liana Bratasida mengapresiasi upaya pemerintah. “Walaupun sulit memenuhi semua keinginan pelaku usaha, tapi sudah ada satu langkah maju,” ucapnya pada Jumat, 19 Maret lalu. “Kawal saja bersama syarat-syarat teknis itu supaya aman bagi lingkungan hidup,” ujar Liana.
Merah menilai langkah pemerintah dan rekomendasi KPK soal FABA seperti membebankan biaya akibat limbah kepada rakyat dan lingkungan. Harusnya yang diotak-atik adalah pemanfaatannya, bukan mengeluarkannya dari kategori B3. Merah menyebut Kementerian Lingkungan tidak menggunakan perspektif lingkungan, melainkan memakai paradigma bisnis. “Saya sarankan diubah saja nama kementeriannya menjadi kementerian bisnis lingkungan hidup dan kehutanan.”
ABDUL MANAN, MAHARDIKA SATRIA HADI, FEBRIANTI (PADANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo