Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPOM menganggap enzim tripsin sudah hilang dalam tahapan pembuatan vaksin AstraZeneca sehingga produk akhir vaksin itu tidak mengandung babi.
Karena terdapat laporan soal kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) serius di beberapa negara, BPOM bertindak hati-hati dan akan terus memantau penggunaan vaksin AstraZeneca.
BPOM menilai ada ketentuan yang tidak dipenuhi dalam penelitian vaksin Nusantara.
BERBEDA dengan vaksin Sinovac, penggunaan vaksin AstraZeneca di Indonesia menemui jalan terjal. Sebanyak 1,113 juta dosis vaksin asal Inggris yang tiba pada Senin, 8 Maret lalu, itu belum bisa langsung digunakan. Sebabnya, pemerintah masih menunggu fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Izin penggunaan darurat vaksin AstraZeneca sesungguhnya telah diteken oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Kusumastuti Lukito pada 22 Februari lalu. Namun Penny baru mengumumkannya sehari setelah vaksin tersebut tiba. Sepanjang waktu itu, pemerintah terus berkomunikasi dengan MUI agar bisa mendapatkan fatwa halal. Sejumlah pejabat yang mengurus vaksin pun meminta dukungan dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin agar fatwa tersebut bisa keluar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lobi itu tak berhasil. Pada Jumat, 19 Maret lalu, Komisi Fatwa MUI menyatakan vaksin AstraZeneca haram, meski tetap bisa dipergunakan. Sebabnya, vaksin itu diduga memanfaatkan enzim tripsin yang berasal dari babi dalam proses pengembangbiakan virus corona. Keputusan itu berbeda dengan BPOM yang menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca tidak mengandung babi. “Ada tahap yang dijalani vaksin ini dan enzim tripsin sudah hilang,” kata Penny Lukito pada Jumat, 19 Maret lalu.
Kepada wartawan Tempo, Devy Ernis, Hussein Abri Dongoran, Raymundus Rikang, dan Stefanus Pramono, Penny menceritakan soal komunikasi pemerintah dan MUI. Ia juga menjelaskan perihal keamanan vaksin AstraZeneca yang sempat dihentikan penggunaannya oleh sejumlah negara di Eropa. Di ujung wawancara, Penny pun memberi penjelasan soal kisruh vaksin Nusantara yang tidak lolos uji klinis tahap pertama.
MUI menyatakan vaksin AstraZeneca haram tapi tetap bisa digunakan. Bagaimana tanggapan Anda?
Waktu kami bertemu dengan MUI, memang ada pembahasan soal haram-halal itu. Perwakilan AstraZeneca menjelaskan soal teknologi dan lain-lain. Itu kan cuma pembuatan master sheet. Pembiakan sel membutuhkan tambahan substansi seperti enzim tripsin. Tapi kemudian ada pembersihan kembali.
BPOM menganggap vaksin ini tidak mengandung babi?
Saya tahu proses teknologinya. Sudah ada tahap yang dijalani vaksin ini dan enzim tripsin sudah hilang. BPOM menganggap produk akhir tidak mengandung babi. Jangan juga kita berasumsi terhadap MUI. Semua lembaga punya otoritas dan tanggung jawabnya. Kami menghargai keputusan MUI, seperti juga keputusan BPOM harus dihargai.
Apakah keputusan MUI, bahwa vaksin AstraZeneca haram tapi boleh digunakan, itu cukup memuaskan pemerintah?
Itu bagian Kementerian Kesehatan. Mereka yang nanti akan membuat strategi komunikasi. Ada kepentingan yang lebih besar dalam kondisi pandemi. Negara ini kan enggak cuma dari satu kelompok. Setelah keputusan diambil, vaksinasi jalan saja.
Kami mendapat informasi, pengumuman izin penggunaan darurat vaksin AstraZeneca ditunda dua pekan karena menunggu fatwa halal MUI.
Izin penggunaan darurat enggak ada hubungannya dengan fatwa MUI. Soal lama-tidaknya, saya tidak tahu proses pembahasan di MUI. Prosesnya jalan sendiri-sendiri. Kami tetap berkomunikasi dengan MUI. Kami menyampaikan sudah siap mengeluarkan izin. Tim teknis auditor juga datang ke BPOM dan kami mempersilakan mereka melihat datanya. Kami juga diundang untuk memberikan informasi dan klarifikasi soal aspek kehalalan, kedaruratan, dan sebagainya.
Kenapa berbeda dengan vaksin Sinovac yang langsung diumumkan setelah izin terbit?
Sepertinya tidak ada masalah yang strategis terkait dengan perbedaan waktu. Kami memperlakukan semua vaksin sama. Vaksin, termasuk juga obat, adalah produk berisiko sehingga sangat regulated. Ada aspek keselamatan manusia karena ini diberikan kepada manusia. Kita tidak mau vaksin mengorbankan manusia, membuat manusia celaka atau sakit. Tugas BPOM memastikan bahwa vaksin yang digunakan untuk masyarakat aman, bermutu, dan berkhasiat. Prosesnya berbeda untuk setiap vaksin. Sinovac itu uji klinis tahap ketiga dilakukan di sini. AstraZeneca didapat secara multilateral dari Gavi yang sudah mendapat izin dari WHO (Badan Kesehatan Dunia). Tapi otoritas obat setiap negara tetap harus memberikan izin.
BPOM sepertinya sangat berhati-hati soal izin penggunaan darurat vaksin AstraZeneca.
Kami berhati-hati mengeluarkan izin karena vaksin, termasuk juga obat, adalah produk berisiko sehingga sangat ketat aturannya. Ada aspek keselamatan manusia di situ. Kami tidak mau vaksin malah mengorbankan manusia, membuat manusia celaka atau sakit.
Kabarnya Anda ditugaskan khusus untuk berkomunikasi dengan MUI.
Iya. Bukan untuk mempengaruhi MUI, tapi berkomunikasi untuk memberikan data. Pemberian data itu terkait dengan fatwa kedaruratan. Vaksin itu kan wajib. Memang kita sudah memiliki vaksin yang halal, Sinovac. Tapi jumlahnya enggak cukup untuk mencapai herd immunity. Padahal semuanya harus serba cepat. Program vaksinasi ini juga membutuhkan keragaman vaksin. Kita tidak bisa bergantung pada satu merek. Nanti masih ada vaksin quarter ketiga, keempat, dan seterusnya. Manfaat berdasarkan risiko juga harus dipertimbangkan. Tidak bisa tidak, kita harus menggunakan AstraZeneca.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin kabarnya juga dimintai bantuan soal fatwa halal ini.
Memang ada pertemuan dengan Wakil Presiden. Tujuannya membangun kesepakatan.
Kami mendapat informasi bahwa pertemuan dengan Ma’ruf Amin berjalan alot.
Wakil Presiden membantu mencarikan jalan keluar. Harapan pemerintah tentu kita bisa melihat lebih komprehensif dan memiliki sense of emergency yang lebih tinggi. Kondisi pandemi tentu berbeda dengan kondisi normal. Perlu ada kekhususan percepatan pemberian vaksin.
Isu halal-haram ini sepertinya sangat sensitif?
Isu sensitif ini tentu kami pertimbangkan. Saya sendiri termasuk tidak terlalu ketat dalam hal itu. Saya tidak makan babi. Tapi saya mengedepankan kehidupan.
Negara Islam seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tidak mempersoalkan kehalalan AstraZeneca.
Waktu ada pertemuan otoritas pengawas obat negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada 2018 di Indonesia, semua kaget. Kok di Indonesia sangat ketat dikaitkan dengan masalah halal atau tidak? Uni Emirat Arab dan Arab Saudi tidak mengenal pembatasan halal-haram dalam obat. Hanya Indonesia yang menegakkan halal-haram itu. Kita juga punya Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Di Indonesia, memang dibutuhkan itu, keamanan dan kehalalan.
Vaksin AstraZeneca juga tersandung masalah keamanan di Eropa karena dianggap mengentalkan darah. Bagaimana BPOM mengatasi persoalan tersebut?
Memang ada laporan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) serius di beberapa negara. Batch vaksin yang dianggap memberikan KIPI itu tidak masuk ke Indonesia. Tapi BPOM harus berhati-hati dan terus memantau. Meski izin penggunaan darurat sudah terbit, penggunaannya kami hentikan sementara. Tapi sekarang sudah selesai. WHO sudah bilang tidak ada masalah. EMA (European Medicines Agency) juga sudah memutuskan vaksin itu bisa digunakan lagi. Kami sudah mengeluarkan pernyataan bahwa AstraZeneca bisa digunakan. Nantinya setiap batch akan diuji juga di laboratorium untuk memastikan standar dan mutunya.
Seberapa besar risiko vaksin AstraZeneca?
Berdasarkan data, tidak ada masalah. Tapi, berdasarkan pengalaman di Eropa, perlu diperhatikan screening-nya. Misalnya mereka yang punya risiko pengentalan darah jangan pakai vaksin AstraZeneca. Bisa saja vaksin itu tidak diberikan ke orang lanjut usia. Nanti pemerintah akan mengambil keputusan soal penggunaannya. Yang pasti, kami akan lebih hati-hati.
Mereka yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid tidak mendapat vaksin ini?
Mungkin komorbid yang terkait dengan kekentalan darah. Dokter yang tahu itu. Risiko ini masih bisa dikendalikan. Untuk mereka yang masih muda dan tidak berisiko mengalami pengentalan darah bisa mendapatkan vaksin ini.
Jadi vaksin ini cukup aman?
Insya Allah. Tentu semua ada risiko. Semua vaksin ini kan produk yang sedang dikembangkan. Selama para ahli menilai bahwa manfaatnya lebih tinggi daripada risiko, kita ambil vaksin tersebut.
Ada anggapan bahwa AstraZeneca lebih berisiko daripada Sinovac.
Jangan dibandingkan seperti itu. Platform vaksinnya kan berbeda. Sinovac menggunakan inactivated virus. Kita sudah terbiasa dengan teknologi tersebut. Teknologinya sudah digunakan dalam jangka panjang dan termasuk aman. Sedangkan AstraZeneca itu masuk bioteknologi. Karena pengalamannya masih singkat, perlu lebih waspada. Kita juga belum tahu aspek keamanannya dalam jangka panjang. Tapi kami pasti memantau penggunaannya.
Sinovac lebih aman digunakan?
Berdasarkan data yang ada, Sinovac kan sudah digunakan di banyak negara, seperti Turki, Brasil, Cina, dan Indonesia. Uni Emirat Arab pakai Sinopharm yang juga menggunakan inactivated virus. Sejauh ini belum terdengar KIPI yang serius.
Bagaimana BPOM memantau efek vaksin AstraZeneca?
Kami pasti memantau efek sampingnya. Semua KIPI akan dicatat. Kita punya Komisi Nasional KIPI, juga ada Komite Daerah KIPI. Kalau itu efek personal, mungkin karena takut disuntik, akan diputuskan di daerah. Kalau ada indikasi KIPI disebabkan oleh produknya, misalnya ada efek samping serius, BPOM akan menganalisis dan mengambil sikap, seperti juga dilakukan oleh WHO dan EMA. Kami juga terus berkomunikasi dengan lembaga internasional.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K. Lukito meninjau Puskesmas Abiansemal I, Badung, Bali, untuk memastikan proses pengelolaan vaksin COVID-19 khususnya dalam proses distribusi dan penyimpanan, Kamis (4/3/2021). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Selain persoalan AstraZeneca, ada juga persoalan vaksin Nusantara. Kenapa Anda tidak meloloskan penelitian ke fase kedua?
BPOM tidak menghentikan. Tapi, berdasarkan hasil penilaian intensif yang melibatkan ahli, Komisi Nasional Penilai Obat, semakin jelas kondisinya. Banyak sekali tahap di dalam proses uji klinis yang masih belum memenuhi good laboratory practice, good manufacturing practice, dan good clinical practice serta good documentary practice. Dokumentasi, misalnya, harus lengkap dan kuat sehingga datanya bisa dipercaya. Banyak risiko sudah kami sampaikan, tapi belum ada koreksi yang diberikan. Mereka kan sudah selesai uji klinis tahap pertama. Selama belum ada perbaikan, tentu belum bisa berlanjut ke fase selanjutnya.
BPOM menemukan pelanggaran etika dalam penelitian vaksin Nusantara?
Dalam pengembangan vaksin atau obat, ada etika kemanusiaan yang harus ditaati. Itu dimulai dari perumusan protokol, metodologi, dan mekanisme penelitian. Semua etika, standar, protokol, dan tahapnya harus dipenuhi untuk melindungi subyek penelitian, yaitu manusia. Masalahnya, masih banyak ketidakpatuhan pada protokol.
Anda sempat mempersoalkan komite etik penelitian vaksin Nusantara.
Komite etik itu bertanggung jawab menjaga penelitian dan pengembangan produk obat atau vaksin agar tidak mencederai manusia dan tetap aman untuk subyeknya. Komite etik itu harus ada di rumah sakit yang melakukan penelitian. Penelitian vaksin dilakukan di Rumah Sakit Dr Kariadi, tapi komite etiknya dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Itu tidak boleh.
Penelitian vaksin Nusantara ini cacat sejak awal?
Ada ketentuan yang tidak dipenuhi. Kami sudah mengoreksi, meminta perbaikan. Tapi mereka tidak memberikan. Kami tidak bisa memaksa. Lalu disebutkan penelitiannya tidak boleh berhenti. Tidak bisa begitu. Mereka bisa tetap mengembangkan, tapi penuhi dahulu koreksi dari kami. Kalau memungkinkan, ya kembali pada tahap praklinis.
Berarti penelitian vaksin Nusantara harus diulang dari awal?
Iya. Karena konsepnya harus tervalidasi lebih dulu. Saya mengikuti hearing-nya. Penelitinya tidak bisa menjawab ini terapi atau vaksin. Peneliti asingnya pun tak bisa menjawab.
PT Rama Emerald Multi Sukses, perusahaan yang menjadi mitra penelitian vaksin dendritik, menyatakan uji klinis tahap kedua sudah dimulai.
Ya, silakan saja mereka menyampaikan seperti itu. Yang jelas, proses di BPOM sudah berjalan. Harus ada perbaikan terlebih dulu.
Karena keputusan itu, Anda dituding tidak menghargai vaksin dalam negeri atau karya anak bangsa. Bagaimana tanggapan Anda?
BPOM akan mendukung dan mendampingi upaya pengembangan vaksin. Bukan hanya karya anak bangsa, tapi juga karya siapa pun kami dukung. Jangan sampai produk anak bangsa itu menjadi klaim dan membebani penelitinya. Ini kan belum terbukti. Padahal ini produk saintifik. Belum ada bukti valid bahwa vaksin ini bisa meningkatkan imunogenisitas.
Meski penelitian dilakukan di sini, pengembangan sel ini dimulai di Amerika Serikat dan melibatkan peneliti asing. Anda sepakat vaksin Nusantara disebut karya anak bangsa?
Kalau disebut karya anak bangsa, apa yang dimaksud sebagai karya anak bangsa? Ini sel dendritik ditambahkan antigen impor, ditambahkan produk impor. Memangnya semudah itu membuat produk tersebut? Kami tahu bagaimana membangun fasilitas biologi itu. Mitra mereka di sini kan belum punya kemampuan. Butuh waktu lagi, uji klinis lagi. Kalau berbicara produk anak bangsa, ada aspek reputasi, kredibilitas bangsa. Jangan kita korbankan itu.
Banyak anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat mengkritik Anda karena tidak meloloskan vaksin Nusantara. Bagaimana tanggapan Anda?
Sebagaimana yang saya sampaikan di DPR, vaksin itu sangat saintifik dan berisiko sehingga sangat ketat pengaturannya. BPOM tetap memegang teguh peraturan. Kami tidak bisa ditekan-tekan.
Anda merasa ditekan oleh DPR?
Semua orang kan sudah melihat, (rapat) 12 jam itu bagaimana besarnya tekanan.
Presiden Joko Widodo mendukung Anda?
Beliau mendukung semua pengembangan vaksin, tapi mempercayakan (pengujiannya) kepada BPOM. Kalau memang bisa dipercepat, ya dipercepat. Tapi prosesnya tetap harus diikuti. Beliau sudah menyampaikan itu kepada publik.
PENNY KUSUMASTUTI LUKITO | Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 9 November 1963 | Pendidikan: S-1 Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (1988); S-2 Master in City Planning, Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat (1994); S-3 Teknik Lingkungan (Major) dan Urband Regional Planning (Minor), University of Wisconsin-Madison, AS (2000) | Karier: Direktur Perkotaan dan Perdesaan Deputi Bidang Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2002–2005), Inspektur Bidang Kinerja Kelembagaan Inspektorat Utama Bappenas (2005–2007), Direktur Lingkungan Hidup Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas (2007–2008), Direktur Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas (2008-2011), Anggota Komisi Nasional Perumusan Visi dan Agenda Pembangunan Pasca-Sasaran Pembangunan Milenium 2015 (2012-2014), Pejabat Fungsional Perencana Utama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2013), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (sejak Juli 2016) | Penghargaan: Satya Lencana Wirakarya (2006), Satya Lencana Karya XX Tahun dari Presiden RI (2011)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo