Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor media online Malaysian Insight berada di lantai dua sebuah kompleks rumah toko di Jalan Sri Hartamas 7, sekitar 10 kilometer dari Bukit Bintang, kawasan pusat belanja populer di Kuala Lumpur. Sebuah restoran pada lantai dasarnya, dan sebuah kedai kopi di sebelahnya.
"Kantor kami kecil. Tapi kan para wartawan banyak ke lapangan, jadi tak perlu tempat besar. Kalau saya menerima tamu, saya terima saja di kedai kopi," kata Jahabar Sadiq, Pemimpin Redaksi Malaysian Insight, saat berkunjung ke kantor Tempo, Kamis dua pekan lalu.
Itulah kantor baru Jahabar setelah kantor media online lamanya, The Malaysian Insider, diblokir oleh Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia pada 25 Februari 2016. Komisi menutup akses masyarakat Melayu terhadap media independen itu karena dinilai melanggar Akta Komunikasi dan Multimedia 1998. Media itu dituding menyebarkan berita palsu mengenai skandal 1MDB, perusahaan investasi milik negara. The Edge Media Group, pemiliknya, kemudian menutup media tersebut pada 15 Maret 2016 dengan alasan merugi 10 juta ringgit atau sekitar Rp 31 miliar.
Jahabar mengakui bahwa bisnis media online di Malaysia seret. The Malaysian Insider mengandalkan iklan dari Google AdSense senilai US$ 30 ribu atau hampir Rp 400 juta sebulan. "Itu jumlah yang besar, tapi tak cukup untuk menanggung 60 karyawan," kata pria kelahiran Kuala Lumpur pada 1968 itu.
Tapi pangkal utamanya adalah berita mereka tentang dugaan keterlibatan Perdana Menteri Najib Razak dalam skandal korupsi 1MDB. Jahabar menuding tak ada orang yang jujur di negerinya dalam hubungan dengan kasus 1MDB. "Ada orang yang dipermasalahkan, tapi tak ada kasus. Tapi di negara-negara lain sudah ada penangkapan, ada yang dipenjara atau didakwa. Tapi tidak di Malaysia," kata adik ipar Jaksa Agung Malaysia Tan Sri Mohamed Apandi Ali itu.
Akhir Juni lalu, misalnya, model Australia, Miranda Kerr, menyerahkan perhiasan seharga Rp 107 miliar kepada Kejaksaan Amerika Serikat karena perhiasan itu diduga dibeli dari uang 1MDB. Perhiasan tersebut adalah hadiah dari Jho Low, pengusaha yang diduga terlibat skandal korupsi 1MDB. Kejaksaan memperkirakan korupsi 1MDB mencapai Rp 9,9 triliun.
Kebebasan berekspresi memang masih menjadi perjuangan utama para jurnalis di negeri jiran. Setiap tahun media harus memperpanjang izin penerbitannya. Media yang bersuara miring terhadap pemerintah dengan mudah diberangus. Kartunis kritis Zulkiflee Anwar Haque-akrab dipanggil Zunar-berkali-kali ditahan dan diseret ke meja hijau dengan berbagai tuduhan pelanggaran pasal penghasutan terhadap pemerintah.
Penerbitan buku juga menjadi sasaran pelarangan. Azmi Sharom, pengajar di University of Malaya, menyebutkan bahwa negaranya telah melarang 1.700 judul buku. Kementerian Dalam Negeri telah merilis daftar penerbitan berunsur Islam selama 2012-2016 yang dinyatakan terlarang. Ada 99 buku dalam daftar itu, termasuk sejumlah buku terbitan Indonesia, seperti Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib karya Ahmad Wahib, Perimbon Wanita dan Tafsir Mimpi karya Ninik Happianti, Tafsir Ayat-ayat Kematian karya Alamah Thabathabai, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar karya Abu Fajar Al-Qalami, serta Tafsir Sufi Al-Fatihah Mukadimah karya Jalaluddin Rakhmat.
Nama yang paling menonjol dalam daftar itu adalah Faisal Tehrani, nama pena Mohd. Faizal Musa. Ada enam buku Faisal yang masuk daftar tersebut, yakni Sebongkah Batu di Kuala Berang, Karbala, Tiga Kali Seminggu, Ingin Jadi Nasrallah, Sinema Spiritual: Dramaturgi dan Kritikan, serta Perempuan Nan Bercinta. Menurut kantor berita pemerintah Bernama, empat buku pertama itu dilarang Kementerian karena mengandungi unsur penyebaran ajaran Syiah dan bertentangan dengan ahlussunnah wal jamaah. Buku-buku tersebut dinyatakan terlarang oleh Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim).
Isu Syiah dan Wahabi adalah isu sensitif di sana. "Syiah tidak secara hukum dilarang, tapi Islam adalah urusan negara. Islam diatur oleh negara bagian dan federasi. Jadi satu negara bagian bilang tak ada Wahabi, tak ada Syiah karena mereka menilai Syiah melanggar akidah," kata Jahabar.
"Mereka katakan negara kita adalah Islam ahlussunnah wal jamaah," ucap Jahabar. Istilah itu secara harfiah berarti kaum muslim yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad atau kaum Sunni, tapi secara sempit sering dianggap aliran yang bertentangan dengan Syiah.
Faisal berusaha melawan dengan mengajukan permohonan banding ke pengadilan di Putrajaya, ibu kota Malaysia, pada 8 Agustus 2016. Hingga pekan lalu, kabar bandingnya masih belum jelas. Sebelumnya, dia meminta banding atas pelarangan empat dari enam bukunya, tapi semua bandingnya ditolak hakim. "Sudah tentu saya kecewa atas pelarangan buku-buku ini. Itu saya adukan kepada yang di langit," kata Faisal kepada Stanley Widianto dari Tempo melalui surat elektronik.
Pelarangan buku itu jelas mengganggu peneliti Islam dan sastra di Universiti Kebangsaan Malaysia itu. "Pelarangan buku di Malaysia juga bermaksud penutupan peluang. Seolah-olah kamu mengetuk satu demi satu pintu, tapi diempas di muka," kata pria kelahiran Kuala Lumpur, 7 Agustus 1974, itu. "Kebanyakan penerbit buku menjauhi saya kecuali beberapa buah penerbit buku kecil."
Setelah pelarangan Perempuan Nan Bercinta, Faisal mengaku mendapat ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal di akun media sosialnya pada Januari 2015. "Apa yang dapat saya lakukan? Siapakah yang akan peduli? Itu kan kehidupan karena sejak dunia muncul sudah ada manusia seperti Qabil yang mengancam," ujarnya.
Faisal akan membeberkan perkara pelarangan karya-karyanya ini pada awal Agustus mendatang dalam pergelaran sastra ASEAN Literary Festival di Kota Tua, Jakarta. Dia memilih tema "This is the way I resist". "Ini cara saya menolak."
Kurniawan (Malaysiakini, Astroawani, Bernama)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo