Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abu Bakr al-Baghdadi-lahir di Samarra, Irak, dengan nama Ibrahim Awad al-Badri pada 1971-adalah pemuda pendiam dan berkacamata minus yang dipastikan memperoleh gelar doktor dalam yurisprudensi Islam ketika invasi Amerika Serikat menggempur negeri itu pada 20 Maret 2003.
Hidup Al-Baghdadi lurus dan ia memiliki dunia sendiri. Hameed, tetangganya di Samarra, mengenal Baghdadi sebagai pemuda serius, selalu muncul dengan kitab agama di keranjang belakang sepedanya. Ia gemar sepak bola, tapi tidak pernah menghabiskan waktu mengobrol bersama teman-teman seusianya. Sehari-hari ia memakai kopiah putih, "Tak pernah mengenakan setelan kemeja-celana sebagaimana anak-anak seusianya. Ia memelihara jenggot pendek dan selalu memakai baju koko terusan," kata Hameed, seperti dikutip Newsweek.
Namun ada dua hal yang layak dicatat tentang Baghdadi. Tak ada yang ragu akan kemampuan intelektual pemuda yang mempunyai minat besar dalam ilmu fikih dan tafsir itu, dan ia juga tidak pernah menunjukkan kecenderungan untuk melakukan kekerasan, apalagi kebrutalan-dua hal yang di kemudian hari senantiasa dilekatkan dengan kepemimpinannya.
Buku Black Flags: The Rise of ISIS karya Joby Warrick memperlihatkan bagaimana invasi Amerika mengubah jalan hidupnya, dari calon profesor menjadi calon pemimpin tertinggi kelompok radikal dan militan paling brutal di dunia. Ia cepat bergabung dengan salah satu kelompok resistansi bersenjata, tapi beberapa bulan berselang tertangkap dalam sergapan di sebuah rumah di Fallujah. Tanpa ampun, pemuda 32 tahun yang menurut dokumentasi foto penjara kini sudah berjenggot lebat ini dijebloskan ke penjara yang paling ditakutkan di seantero Irak: Kamp Bucca.
Kamp Bucca-perkampungan tahanan seluas 3.200 meter persegi yang dikelilingi pagar kawat berduri-merupakan sebuah tempat penampungan yang muram. Di sana ada 26 ribu tahanan hidup berjubel di bawah tenda-tenda raksasa. Keadaan bertambah buruk pada musim panas, tatkala suhu udara secara berkala merayap naik hingga 60 derajat Celsius.
Para opsir Angkatan Laut Amerika Serikat yang mengelola dan mengawasi kamp ini mengelompokkan tahanan menurut keyakinan agama-diakui atau tidak, dari sinilah awal radikalisasi yang paling sukses itu terjadi. Di lokasi Compound 30, tempat para tahanan Sunni menjalani hari-hariyang panjang dan sarat konflik, hukum syariah ditegakkan tanpa kompromi, secara paksa, sering secara brutal.
Di sini Al-Baghdadi, yang tidak setangkas dan setrengginas para tahanan lain, ternyata sanggup bertahan, bahkan kemudian menjadi sosok terpandang di antara penghuni Kamp Bucca. Tak ada yang bisa menggantikannya untuk memimpin salat berjemaah, menjawab pertanyaan-pertanyaan fikih, apalagi menafsirkan hukum syariat yang tertera dalam Al-Quran dan hadis. Dengan kecakapan itu, ia mulai mengenal simpul-simpul terpenting dalam jaringan mujahidin-termasuk Abu Muhammad al-Adnani, salah satu murid terdekat Abu Musab al-Zarqawi, yang kemudian dijadikannya wakil pemimpin sekaligus juru bicara kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) beberapa tahun mendatang.
Sepuluh bulan mendekam di kamp tahanan yang acap dilanda kerusuhan itu, akhirnya, bersama sejumlah tahanan lain yang dinilai "tak berbahaya", lelaki yang menguasai bahasa Arab dengan baik tersebut dibebaskan. Melanjutkan cita-citanya dulu, Baghdadi menikah, kemudian kembali ke kampus, menyelesaikan program doktoralnya dalam hukum Islam. Gelar yang didambakan belum lagi di tangan ketika kelompok resistansinya dulu mengajaknya bergabung kembali. Ia tak kuasa menampik. Sebuah nama besar yang dikenalnya, Abu Musab al-Zarqawi, sedang menghimpun kelompok-kelompok perlawanan di bawah satu payung organisasi, dan Baghdadi, yang telah membuktikan kecakapannya di Kamp Bucca, diminta menjadi penasihat dalam urusan hukum syariah.
Namun, Baghdadi, belum lagi berada di lingkaran paling elite organisasi itu. Semua berubah total pada Juni 2006, tatkala pesawat tempur Amerika menghancurkan rumah persembunyian Zarqawi sekaligus menewaskan pemiliknya.
Bintang Baghdadi semakin terang, apalagi setelah serangan gabungan tentara Amerika dan Irak meratakan sebuah rumah persembunyian para pemimpin ISIS di Tikrit dengan tanah. Hari itu, 18 Agustus 2010, kelompok ISIS kehilangan dua pejabat tertinggi. Peristiwa ini sekaligus melapangkan jalan kepada seorang pakar hukum syariah untuk menduduki posisi tertinggi organisasi.
Black Flags: The Rise of ISIS menyimpulkan: Al-Baghdadi mungkin tidak memiliki pengalaman militer seperti Abu Muhammad al-Adnani, apalagi Abu Musab al-Zarqawi, tapi otoritas akademis dan penguasaan masalah syariah yang kuat membuat posisinya tak tersentuh. Tak mudah mendapatkan seorang ahli hukum syariah yang bisa memberikan legitimasi untuk tindakan brutal: penyembelihan, bom bunuh diri, memerangi orang-orang Syiah, atau menumpahkan darah sesama muslim. Baghdadi tak cuma membolehkan kebiadaban itu terjadi, tapi juga membenarkannya dengan dalil agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo