Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Reformasi Setengah Hati

Skandal demi skandal terus muncul membekap Gereja Katolik Roma. Sikap setengah hati Paus Fransiskus menuai kontroversi.

24 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebuah bangunan tak jauh dari Basilika Santo Petrus, sebuah skandal yang menggemparkan terkuak. Berawal dari laporan tetangga, yang mengeluhkan perilaku tak biasa dari beberapa pria yang datang dan pergi sepanjang malam, polisi Vatikan menggerebek sebuah apartemen di gedung bekas Palazzo del Sant’uffizio di Roma. Polisi mendapati pesta seks sesama jenis dan pesta kokain di dalam apartemen tersebut.

Gereja Katolik Roma tersentak karena satu dari sejumlah laki-laki yang kepergok berada di situ pada akhir Juni lalu adalah Luigi Capozzi, 49 tahun. Ia sekretaris Kardinal Francesco Coccopalmerio sekaligus pemilik apartemen dan penasihat penting pemimpin tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus. "Paus murka," demikian diberitakan surat kabar Italia, Il Fatto Quotidiano, seperti yang dikutip Daily Mail dan U.S. News.

Di gedung tempat Capozzi berulah itu, Kardinal Joseph Ratzinger pernah berkantor sebagai Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman selama seperempat abad sebelum ia terpilih sebagai Paus Benediktus XVI. Bangunan tersebut sekarang digunakan oleh berbagai pejabat tinggi Gereja Katolik, termasuk prefek dan sekretaris Kuria Roma-lembaga administratif yang bertugas mengelola urusan Takhta Suci Vatikan dan Gereja Katolik.

Entah sejak kapan Capozzi menjalani kelakuan yang diharamkan itu. Namun ia dengan cerdik memanfaatkan kemewahan yang didapatnya sebagai orang penting Gereja Katolik. Il Fatto Quotidiano memberitakan bahwa gedung tempat Capozzi kepergok punya pintu masuk ke Kota Vatikan yang terpisah dari luar tembok Vatikan. Ini membuatnya "sempurna" untuk aktivitas rahasia. "Pintu utamanya terhubung ke pelataran yang masuk wilayah Italia serta di luar kendali Garda Swiss dan polisi Vatikan," begitu menurut Il Fatto Quotidiano.

Menunggang mobil BMW dengan pelat nomor bertulisan "Takhta Suci", Capozzi selama ini sukses menghindari kecurigaan polisi Italia. Privilese yang umumnya dicecap para uskup itu membuat Capozzi nyaris kebal dari razia aparat. Ini pulalah yang membikin ia leluasa mengangkut kokain ke Vatikan. Namun kini semua berakhir bagi Capozzi. Pria yang dikabarkan akan ditunjuk sebagai uskup itu ditangkap. Ia bahkan menjalani perawatan medis di klinik Pius XI di Roma dan ikut pemulihan spiritual di sebuah biara di Negeri Pizza.

Skandal rupanya belum berhenti menghujani Vatikan-sebuah negara kota termungil sejagat dengan wilayah seluas 44 hektare di tengah Kota Roma, Italia. Nyaris bersamaan dengan kasus Luigi Capozzi, perkara lain membelit Kardinal George Pell, orang terpenting ketiga di Vatikan. Pell, bendahara de facto Vatikan, didakwa melakukan perundungan seksual terhadap anak-anak semasa menjadi Uskup Agung Melbourne pada 1996-2001.

Kasus Kardinal Pell menghunjam jantung Vatikan. Pell adalah pejabat tertinggi Gereja Katolik yang pernah terbelit tuduhan pelecehan seksual. Skandal ini juga menampar Paus Fransiskus, yang sejak berkuasa empat tahun lalu berupaya mewujudkan gereja yang inklusif, membersihkan birokrasi Vatikan yang berbelit dan korup, serta menghapus noda skandal pedofilia di lingkungan gereja. "Jika tuduhan terhadap Pell benar, tentu saja hal itu akan menjadi kejutan besar," kata Austen Ivereigh, yang pernah menulis biografi Paus Fransiskus.

Akhir Juni lalu, Vatikan mengumumkan bahwa Paus telah memberhentikan sementara Kardinal Pell. Pell, 76 tahun, pulang kampung ke Australia untuk menghadapi sidang kasusnya di pengadilan Melbourne pada 26 Juli. "Saya sangat berterima kasih kepada Bapa Suci karena memberi saya cuti untuk kembali ke Australia," kata Pell dengan ekspresi wajah datar dan mengaku tak bersalah. "Saya mengambil cuti untuk membersihkan nama saya."

Sejak 2014, Paus Fransiskus telah berjibaku memerangi pencabulan anak di Gereja Katolik. Paus bernama asli Jorge Bergoglio itu membentuk sebuah komite penasihat berisi delapan orang. Selain enam pastor, komite beranggotakan dua orang penyintas. Salah satunya Marie Collins, perempuan asal Irlandia. Collins muda pernah dilecehkan oleh seorang pastor pada 1960-an. "Ini sebuah kejutan," katanya menanggapi penunjukkannya saat itu.

Namun euforia Collins itu tak bertahan lama. Pada Maret lalu, tiga tahun setelah dia membantu Paus memerangi skandal seks, Collins mundur dari komite. Menurut dia, usaha komite melindungi anak-anak dari polah bejat pastor pedofil justru mendapat resistansi dari Vatikan. "Saya pikir Paus telah berkomitmen kuat untuk mencari perubahan. Tapi dia tak cukup kuat menghadapi perlawanan dari dalam kuria," ucapnya kepada NPR.

Lebih dari setahun lalu, Peter Saunders, seorang penyintas lain, lebih dulu hengkang dari komite. Pria asal Inggris inilah yang mungkin kini merasa paling lega atas tindakan hukum terhadap Kardinal Pell. Sejak 2015, Saunders, 59 tahun, bersuara paling kencang mendesak agar Pell mempertanggungjawabkan perbuatannya. Saunders menganggap Pell telah menutup mata atas banyaknya kekerasan seksual di wilayah keuskupan Australia.

Saunders, misalnya, pernah menuding Kardinal Pell telah mendukung sejumlah pastor pedofil, termasuk Gerald Ridsdale, alih-alih melindungi korban dan keluarga mereka. "Saya pikir penting untuk mencopotnya (Pell). Mengirim dia kembali ke Australia adalah tindakan terkuat Paus untuk melawannya," ucap Sanders. Namun paus yang kini berusia 80 tahun ini saat itu bergeming dan mempertahankan Pell di Vatikan dengan tugas barunya sebagai bendahara.

Paus Fransiskus bahkan masih berhati-hati menanggapi kabar bahwa Pell tengah diselidiki oleh kepolisian Australia tahun lalu. Kala itu Paus memilih tak menjatuhkan sanksi apa pun terhadap Pell. "Begitu sistem peradilan berbicara, saya akan berbicara," ujarnya. Banyak yang mengecam sikap Paus. Apalagi tuduhan terhadap Pell adalah yang terbaru dalam gelombang skandal pelecehan yang dimulai di Amerika Serikat serta menyebar ke Eropa dan Australia selama 20 tahun terakhir dan telah merusak kepausan pendahulu Fransiskus.

Kini keputusan Paus datang terlambat. Para pengkritik Vatikan menilai Paus seharusnya mencopot Pell sejak dulu. "Perang melawan pedofilia bukanlah prioritas bagi Fransiskus," ujar Emiliano Fittipaldi, seorang jurnalis Italia. Fittipaldi menulis Nafsu, buku yang diterbitkan tahun ini tentang pelecehan seks di Vatikan yang dimulai dengan sebuah bab tentang Kardinal Pell. "Kasus Pell dengan jelas menunjukkan bahwa revolusi Fransiskus di gereja, ketika menyangkut masalah pelecehan seks, hanya sebatas perkataan belaka."

Kritikus Vatikan menyoroti orang-orang dekat pilihan Paus. Kardinal Pell, yang ditunjuk untuk membersihkan keuangan keruh Vatikan, telah lama terseret dalam pusaran skandal pencabulan di Negeri Kanguru. Belakangan, Paus justru tak memperpanjang masa jabatan Kardinal Gerhard Mueller, Ketua Kongregasi untuk Ajaran Iman-departemen Vatikan yang bertugas mengurusi perkara keimanan, termasuk pelecehan seksual oleh para pastor.

Alih-alih memilih orang yang "bersih", Paus malah menunjuk Uskup Agung Luis Ladaria Ferrer sebagai pengganti Mueller. Padahal Ferrer dituduh menutupi kejahatan seks yang dilakukan seorang pastor di Italia. Keputusan semacam ini yang dianggap makin mengaburkan semangat Paus membasmi pencabulan di dalam Gereja. "Kasus Pell bakal mengguncang hingga ke jantung Vatikan," kata Saunders.

Mahardika Satria Hadi (the Australian, Washington Post, New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus