JALAN raya Beirut-Damaskus, yang melintan pertahanan Suriah di
Lembah Bekaa, tiba-tiba ditutup anak-anak Hafez Azad di Sofar
-- 21 km di tenggara Beirut. Blokade yang sama juga mereka
lakukan di Helwen yang terletak antara Beirut dan Tripoli.
Serentak dilakukan pemutusan hubungan teleks dan telepon antara
Beirut dan daerah yang dikuasai Suriah. Tindakan sepihak ini
dilakukan Suriah sebagai protes atas penandatanganan persetujuan
Libanon-Israel, pekan silam. Blokade itu, berlangsung sekitar 24
jam, berakhir Rabu.
Perjanjian damai Libanon-Israel, yang dicapai menjelang genap
satu tahun penyerbuan tentara Yahudi ke Beirut, tercatat sebagai
perjanjian yang kedua antara Israel dengan sebuah negara Arab --
sebelumnya yang diteken mereka adalah persetujuan dengan Mesir
di Camp David, September 1978. Dengan persetujuan ini
berakhirlah permusuhan Libanon-Israel.
Dalam perjanjian yang ditandatangani oleh wakil kedua negara,
selain dicantumkan pasal mengenai penarikan mundur tentara
Israel, juga ada pasal tentang hak mereka untuk melakukan
patroli antigerilya di wilayah Libanon Selatan. Soal Mayor Saad
Haddad, tentara Libanon yang membelot, yang dulu merupakan
kerikil penghambat perundingan, tidak lagi disebut-sebut.
Tertulis dalam empat bahasa (Inggris, Prancis, Hebrew, dan Arab)
berkas persetujuan setebal 37 halaman itu ditandatangani oleh
Antoine Fattal, wakil Libanon, David Kimche, wakil Israel, dan
utusan khusus Amerika Serikat Morris Draper sebagai saksi. Kota
Khalde, di kawasan Beirut, dipilih sebagai tempat
penandatanganan berkas persetujuan berbahasa Prancis dan Arab.
Sedang Kiryat Shemona, di perbatasan Israel, untuk
penandatanganan naskah berbahasa Hebrew dan Inggris.
Isi persetujuan, antara lain, (1) Israel dan Libanon setuju
untuk hidup berdampingan secara damai, (2) setuju untuk
mengakhiri keadaan perang antara kedua negara, (3) kedua pihak
mengakui adanya kewajiban untuk mencegah penggunaan wilayah
mereka oleh pasukan bersenjata, (4) melarang propaganda yang
menyerang satu sama lain, dan (5) pengamanan wilayah selatan
Libanon yang akan dilakukan oleh tentara kedua negara.
Pelaksanaan persetujuan Libanon-Israel ini akan diawasi oleh
Komite Penghubung Bersama -- wakil AS masuk di dalamnya. Meski
persetujuan bilateral tersebut tidak menyebut-nyebut hubungan
diplomatik, kedua negara dapat membuka kantor penghubung. Dan
dalam tempo enam bulan sesudah penarikan mundur tentara Israel
akan diadakan perundingan normalisasi kelancaran arus barang dan
orang antara kedua negara.
Adakah penarikan tentara Israel benar-benar akan terjadi?
Pertanyaan ini muncul dengan ditandatanganinya sebuah
persetujuan rahasia antara Israel-Amerika Serikat, selang dua
hari sesudah persetujuan Israel-Libanon disepakati. Menlu AS
George Shultz dan Kuasa Usaha Israel Benyamin Netanyahu
menandatangani perjanjian itu atas nama negara masing-masing.
Isi terpenting dari persetujuan tersebut adalah diakuinya hak
Israel oleh AS untuk membalas serangan teroris yang terjadi di
Libanon. Juga pengakuan adanya hak Israel untuk menunda
pengunduran tentaranya dari Libanon sampai Suriah dan PLO
melakukan tindakan yang sama.
Tentang adanya persetujuan dalam persetujuan, konon, pihak
Libanon sendiri tidak terkejut. Bahkan dikabarkan Libanon yang
mendesak agar persetujuan itu bersifat rahasia. Perjanjian ini
dimaksudkan sebagai jaminan tersamar bagi ikhtiar AS untuk
mewujudkan penarikan tentara Yahudi, di samping mengungkapkan
adanya pengertian Libanon terhadap Israel untuk tetap bertahan
di negerinya selama pasukan Suriah bercokol di Lembah Bekaa.
Sikap Suriah memang telah membuat segala sesuatu di Libanon jadi
lebih rumit. Suriah bersama-sama Lybia, Yaman Selatan, dan PLO,
terang-terangan menolak persetujuan damai Libanon-Israel. Mereka
juga berketetapan untuk tidak menarik mundur tentaranya dari
Lembah Bekaa. Sementara Mesir dan Yordania mendukung secara
terbuka, negara-negara Arab lainnya seperti Tunisia, Aljazair,
Maroko, Kuwait, Persatuan Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Sudan
mendukung diam-diam.
Akan Arab Saudi, negeri yang pegang peran penting di Timur
Tengah, seperti biasa, bersikap hati-hati. Menpen Arab Saudi Ali
Shaer menyatakan dukungan pemerintahnya untuk rakyat Libanon
tanpa menyebut-nyebut perjanjian Libanon-Israel itu secara
khusus. Kendati demikian ia mengimbau Suriah dan Libanon agar
mengadakan sebuah pertemuan puncak.
Di samping tidak memihak, nampaknya Arab Saudi berusaha
mempertahankan keutuhan hubungannya dengan Suriah. Dan sekarang,
semua berpaling ke Presiden Suriah Hafez Assad, karena kunci
peredaan ketegangan saat ini berpindah ke tangannya. Namun belum
terlihat tanda-tanda yang menggembirakan. Bahkan perkembangan
justru menjurus ke arah yang mengkhawatirkan.
Sejak dua bulan belakangan pasukan di Lembah Bekaa diperkuat
dari 40.000 menjadi 50.000. Pada saat bersamaan pasukan PLO
meningkat jumlahnya dari 8.000 menjadi 10.000. Bahkan pemimpin
PLO, Yasser Arafat, belum lama ini sempat bekunjung ke Lembah
Bekaa -- ini merupakan kunjungan pertamanya sejak meninggalkan
Beirut Barat, Agustus lalu.
Dengan tambahan personil dan peningkatan persenjataan, Suriah
pun unjuk kekuatan -- khususnya terhadap Israel. Lebih-lebih
mereka didukung oleh sekitar 4.800 sampai 6.000 penasihat
militer dan teknisi Uni Soviet dalam melayani persenjataan rumit
yang serba baru, antara lain, dua gugus peluncur rudal.
Jumlah rudal SA-5 yang baru dipasang diperkirakan sekitar 50,
dan sepenuhnya ditangani Soviet. Menteri Pertahanan Suriah
bahkan tidak diizinkan mendekat. Di samping itu pertahanan
udaranya dibentengi 100 pesawat tempur, sebagian besar MiG23.
Sementara di darat 300 sampai 400 tank T-62 dan T-72
menggantikan tank-tank T-54 dan T-55 yang mulai rongsokan.
Seluruh peralatan bernilai US$ 2 milyar.
Pada hakikatnya Presiden Hafez Assad tidak tenteram melihat
kemungkinan terbinanya hubungan baik Libanon-Israel lewat
diplomasi AS. Bahkan sejak tercapainya perjanjian Camp David,
Assad bertekad untuk mencegah terciptanya perjanjian perdamaian
antara negara Arab dengan Israel. Karena andai kata penyelesaian
damai konflik di Timur Tengah tercapai, kepentingan Suriah bisa
terancam. Bagaimanapun juga Presiden Assad masih berusaha agar
dataran tinggi Golan, yang dulu wilayah Suriah, bisa direbutnya
kembali. Suriah kehilangan Golan dalam perang Juni 1967 dan
harapan untuk memperolehnya kembali jadi semakin lenyap tatkala
Israel mencaploknya tahun 1981.
Dalam kaitan itu Suriah mengadakan kerja sama dengan Arafat.
Pemimpin PLO ini dua bulan sebelumnya cenderung bersikap lunak,
dan hampir terbawa pendekatan Raja Yordania Hussein untuk sebuah
prakarsa perundingan dengan AS.
Sementara itu Soviet, lewat Suriah, mendapat peluang untuk
memperkuat kembali cengkeramannya di medan Timur Tengah. Hingga
di kalangan pengamat Barat terselip kekhawatiran bahwa kancah
Timur Tengah bisa bergolak lagi. Tapi utusan khusus AS, Philip
Habib, yakin missi damainya berhasil. "Saya selalu optimistis,
kalau tidak, saya tidak akan terlibat dalam urusan ini," kata
Habib yang kembali ke Timur Tengah, akhir pekan silam, lewat
Riyadh.
Dalam pertemuannya dengan Raja Fahd Habib, menurut sumber
diplomatik, minta agar pemimpin Arab Saudi itu menggunakan
pengaruhnya atas Suriah. Di Beirut sebuah laporan tv
memberitakan bahwa Arab Saudi akan mencoba mempertemukan Libanon
dan Suriah mengenai penarikan mundur tentara Suriah dari sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini