INI terjadi di Canberra, ibukota Australia. Lokasi: Radio ABC
yang mewawancarai Menteri Pertahanan Papua Nugini, Epel Tito,
dalam program terkenal "PM", seusai pertemuan Menhan Tito dengan
Menhan Gordon Scholes dan Menlu Bill Hayden.
Wawancara, seperti biasa, berlangsung lancar. Tapi yang agaknya
dianggap luar biasa oleh pewawancara dari ABC itu adalah ini:
Epel Tito mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tetangga PNG,
Indonesia. Apa itu? Kepada kedua menteri Australia itu Menhan
PNG mengatakan bahwa ia "percaya Indonesia akan mengambil oper
(take over) Papua Nugini dalam kurun waktu sepuluh sampai dua
puluh tahun" mendatang.
Apakah PM PNG Michael Somare sependapat dengan Anda? "PM tidak
sependapat dengan saya," jawabnya, "tapi itu tak mengubah
pandangan saya." Ia juga mengungkapkan reaksi kedua menteri
Australia yang menanyakan padanya, "Anda ini edan."
"Sudah edankah Anda?" tanya pewawancara ABC. "Tentu saja tidak,"
jawab Tito. Tapi, setelah Menhan Tito kembali ke Port Moresby
awal pekan lalu, PM Somare dikabarkan naik pitam. Demikian
marahnya PM Somare sehingga menggeser Tito dari kursinya dan
segera menunjuk Menteri Penerangan Boyamo Sali yang dipandang
lebih berpengalaman sebagai menteri pertahanan. Tito sendiri tak
sampai dipecat, tapi diminta tukar tempat dengan Sali. Bisa
dimengerti. Boyamo Sali adalah satu-satunya anggota kabinet
Somare yang paling senior, sejak dibentuknya kabinet yang
pertama setelah kemerdekaan, di tahun 1975.
Bagaimana Tito akan memainkan Peranannya sebagai mentcri
penerangan PNG masih harus dilihat. Namun, sikapnya yang suka
jalan sendiri bukan untuk pertama kali. Awal tahun ini ia
merencanakan bertolak ke Israel dan mengatakan ia mungkin akan
membeli senjata buatan Israel. Ia bahkan mengatakan, pemerintah
Israel akan menyediakan pinjaman khusus untuk pembelian kapal
perang dan senapan.
Pemerintah berpendapat sudah terlalu banyak uang yang dipakai
untuk angkatan perang, dan hasilnya tidak memuaskan. PNG
menyediakan dana A$ 21 juta (kurang lebih Rp 18 milyar) untuk
kepentingan pertahanannya, sedang Australia, yang menjajah PNG
hingga 1975, masih menyediakan A$ 16 juta lagi.
Alhasil, rencana Tito untuk terbang ke Tel Aviv pun dibatalkan.
Ia juga diminta memberi penjelasan kepada pemerintah di Israel
tentang keputusan pemerintahan Somare untuk menunda rencana
pembelian itu sampai selesainya laporan final dari komite
pertahanan.
Sejak pembentukan kabinet, kalangan yang dekat dengan
pemerintahan Somare sudah menduga bahwa Tito tidak cocok
memegang pos menteri pertahanan. Kecuali usianya masih muda, ia
juga masih dianggap belum banyak makan garam dalam percaturan
politik. Ia mewakili sebuah pulau yang jauh dari kegiatan
politik Port Moresby. Cuma, berdasarkan "aturan main", setiap
wakil partai dari daerah harus mendapatkan bagian dalam kabinet.
Anehnya, pernyataan Tito mengenai Indonesia itu mendapat
dukungan dari pihak oposisi. Iambakey Okuk, ketua partai
oposisl, meminta agar pemerintahnya meninjau kembali posisinya
dalam masalah perbatasan dengan Ir-Ja. Tapi Okuk juga mendukung
tindakan Somare menggeser menteri pertahanannya. "Sebagai
seorang menteri, Tito mesti mengikuti garis kebijaksanaan
pemerintah," katanya. "Kalau Tito tetap pada Sendiriannya
mengenai Indonesia, ia harus mengundurkan diri dari kabinet."
Tindakan pembantu Somare yang mengganjal hubungan RI-PNG,
kecuali oleh Tito, juga pernah dilakukan oleh Pangab Brigjen Ted
Diro. Dalam kabinetnya terdahulu, tanpa konsultasi dengan
perdana menteri, Ted Diro melakukan pertemuan dengan orang-orang
OPM dari Ir-Ja yang bersembunyi di PNG. PM Somare menegur keras
Ted Diro, waktu itu.
Namun, di kalangan rakyat PNG, masih saja ada kekhawatiran
seperti diungkapkan Tito: "ancaman dari Barat". Tahun lalu,
kabarnya, tentara Indonesia beberapa kali melintasi tapal batas
menguber gerombolan OPM yang melarikan diri ke PNG. Awal tahun
ini, hubungan menjadi sedikit rawan karena masalah pembangunan
jalan pintas di sepanjang perbatasan Irian Jaya-PNG. Pemerintah
Indonesia sendiri pernah menjelaskan, masalah itu terjadi karena
kesalahan subkontraktor dari perusahaan Jepang yang
mengerjakannya.
Rangkaian peristiwa itu dianggap beberapa kalangan di PNG
sebagai "langkah awal invasi" seperti diucapkan oleh Tito.
Mungkin mereka masih ingat dokumen rahasia palsu
yangpernahtersiarawal 1979. Dokumen yang dipercaya beberapa
pihak di PNG dan Australia itu menyebutkan bahwa akan ada
"Operasi Cenderawasih" dengan 13 langkah menuju Port Moresby.
Bagaimanapun, Somare yang dikenal "akrab" dengan Indonesia itu
berusaha meyakinkan rakyat PNG mengenai hubungan kedua negara.
Ia yakin, Indonesia tidak bermaksud memasuki PNG. "Terutama
sepanjang PNG menjadi negara yang stabil dan tetap antikomunis,"
katanya. Untuk itu, upaya utama yang dilakukannya ialah
mempertahankan stabilitas, menumpas komunis, dan membangun di
sektor ekonomi.
Bagi Indonesia, tampaknya pernyataan Tito soal "invasi
Indonesia" itu tidak dianggap bakal mengguncangkan hubungan
kedua negara. Menlu Mochtar Kusumaatmadja menyebutnya sebagai
lelucon. "Mungkin itu pendapat pribadinya," katanya sambil
tertawa berderai. Masih dengan senyum yang lebar, Mochtar juga
menambahkan, politik luar negeri Indonesia tidak lagi
menggelegar seperti sebelum 1965. "Kini kita lebih sibuk
membangun, seperti mengurus pupuk, semen, dan KUD," katanya
minggu lalu. Indonesia merasa tidak perlu menanggapi pernyataan
Tito karena hubungan kedua negara kini dalam keadaan "mesra".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini