Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sebuah video, James Foley, yang mengenakan pakaian berwarna oranye, berlutut. Kemudian seseorang berbaju hitam dan mengenakan tutup muka mengeksekusi wartawan asal Amerika Serikat itu. Sesudahnya, si eksekutor memegangi wartawan Amerika lainnya, Steven Sotloff, yang juga mengenakan kaus oranye dan dengan tangan terikat di belakang. "Hidupnya warga Amerika ini, Obama, tergantung keputusan Anda," katanya.
Sekitar dua pekan kemudian, pada awal September, video eksekusi Sotloff menyusul beredar. "Saya kembali lagi, Obama. Saya kembali karena kebijakan arogan Anda terhadap Negara Islam," kata anggota milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), yang kemudian berubah menjadi Negara Islam, dalam video yang membangkitkan kegeraman dunia itu. Mereka mengeksekusi Sotloff sebagai pembalasan atas serangan-serangan udara yang dilakukan Amerika di kawasan Irak yang dikuasai ISIS.
Saat itu kemudian marak kabar bahwa, sebelum Foley dan Sotloff dieksekusi, kelompok militan pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi tersebut menawarkan pembebasan mereka dengan bayaran uang tebusan sekitar US$ 132,5 juta. Saat itu juga ditawarkan pembebasan Aafia Siddiqui, yang oleh media Barat diberi julukan Lady Al-Qaidah. Tapi Washington tak menanggapinya. Kebijakan Gedung Putih tegas: tak ada pembayaran tebusan bagi sandera yang ditawan kelompok militan, termasuk Al-Qaidah dan jaringannya. ISIS adalah kelompok yang embrionya juga dari Al-Qaidah.
Sikap serupa berlaku untuk Peter Curtis, yang justru dibebaskan beberapa waktu setelah beredarnya video eksekusi Foley. Washington memang meminta bantuan pemerintah Qatar untuk pembebasan wartawan lepas yang ditangkap kelompok militan di Suriah yang juga terkait dengan Al-Qaidah, Jabhat al-Nusra, pada 2012 itu. Tapi Gedung Putih meminta Qatar-yang diketahui kadang mengatur pembebasan sandera dengan tebusan uang jutaan dolar-tak mengeluarkan uang tebusan. "Kami meminta Qatar konsisten dengan kebijakan kami, tidak membayar tebusan untuk Curtis," kata juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest.
Walau begitu, beberapa pejabat tak menyangkal tegas kemungkinan adanya pembayaran tebusan. Bahkan, untuk kasus James Foley, menurut Philip Balboni, pemimpin GlobalPost, tempat Foley mengirimkan berita, pemerintah tak menghalang-halangi ketika pihaknya sempat mencoba mengumpulkan dana bagi pembebasan Foley. "Kami tak pernah diminta menghentikan apa yang kami lakukan," kata Balboni.
Berbeda dengan rekan-rekan satu tahanan Foley, sandera asal Eropa, mereka telah dibebaskan. Menurut mantan sandera dan orang-orang yang terlibat dalam pembebasan mereka kepada The New York Times, mereka rata-rata ditebus dengan bayaran lebih dari US$ 2,5 juta per orang. Salah seorang sandera yang dibebaskan adalah warga Jerman yang bekerja pada misi bantuan kemanusiaan di Suriah yang ditangkap ISIS pada Juni tahun lalu. Meski Kementerian Luar Negeri Jerman menyangkal telah membayar, media Jerman, Die Welt am Sonntag, menyebutkan ada pembayaran untuk pria yang kemudian dibebaskan beberapa bulan lalu itu.
Belakangan, penculikan dan penyanderaan memang semakin merajalela dan menjadi "bisnis" besar. Saat ini penyanderaan untuk mendapat tebusan bahkan menjadi salah satu cara kelompok militan, dalam hal ini Al-Qaidah dan jaringannya, untuk mendapatkan uang guna membiayai operasi mereka. "Penculikan sandera adalah penjarahan yang mudah," demikian ditulis pemimpin Al-Qaidah di Semenanjung Arab, Nasser al-Wuhayshi, dalam dokumen yang didapatkan The New York Times.
Menurut orang nomor dua di Al-Qaidah itu, dana dari uang tebusan sandera bisa membiayai hampir separuh kebutuhan operasional di wilayah mereka, Semenanjung Arab. Dia menulis: "Terima kasih Allah, kebanyakan biaya pertempuran terbayar dengan dana ini."
Dari penelusuran The New York Times, dalam lima tahun, yakni pada 2008-2013, sekitar US$ 125 juta masuk ke kantong Al-Qaidah dan jaringannya dari "bisnis" sandera di Afrika dan Timur Tengah. US$ 66 juta di antaranya didapatkan hanya dalam setahun, sepanjang tahun lalu. Departemen Keuangan Amerika malah mencatat tebusan yang dibayarkan keseluruhannya mencapai US$ 165 juta untuk periode yang sama.
Sementara Amerika tegas menolak membayar tebusan ke kelompok militan, beberapa negara Eropa tak demikian. Dari penelusuran The New York Times, beberapa negara, seperti Jerman, Prancis, Austria, Swiss, dan Italia, menggelontorkan dana untuk pembebasan warga mereka yang ditawan jaringan Al-Qaidah. Dana yang disetorkan ke Al-Qaidah dan kawan-kawannya kadang disamarkan di anggaran dana bantuan pembangunan atau bantuan kemanusiaan. Memang negara-negara itu menyangkal ketika dimintai konfirmasi.
"Amerika terus-menerus meminta kami tak membayar tebusan," kata seorang duta besar negara Eropa di Aljazair saat penculikan warga Jerman terjadi belasan tahun lalu. "Dan kami katakan kepada mereka: kami tidak membayarnya, tapi kami tidak bisa kehilangan warga kami."
Awalnya Al-Qaidah dan afiliasinya tak menggantungkan pendapatan dari "bisnis" penyanderaan warga Barat. Mereka hanya mendapatkan dana operasionalnya dari kantong donor yang tersebar di berbagai negara. Setelah mengenal tebusan untuk sandera yang begitu menggiurkan, mereka mulai memikirkan dengan serius bagaimana "bisnis" sandera ini dikembangkan.
Semula tindakan penyanderaan seolah-olah tak terencana. Para anggota kelompok militan belum "jago" mengurusi sandera. Misalnya, saat penyanderaan 32 orang Eropa pada 2003 yang diculik di Aljazair secara terpisah. Rombongan pertama terdiri atas empat orang Swiss yang diculik pada Februari 2003. Kemudian menyusul warga Austria, Belanda, Swedia, dan Swiss.
Pada masa itu, kelompok militan seolah-olah masih amatir dalam bisnis ini dan belum membayangkan hasil yang besar. Mereka tak menyiapkan makanan yang cukup. Sandera asal Swedia, Harald Icker, ingat bagaimana dia sampai begitu kelaparan. "Ketika menahan kami, mereka sepertinya tidak tahu apa yang harus mereka lakukan kepada kami," kata Reto Walther dari Untersiggenthal, Swiss, yang pertama kali ditahan kelompok militan. "Tapi kemudian mereka berimprovisasi."
Penculik juga tak memikirkan ketercukupan bahan bakar. Kerap, misalnya, mobil yang mereka tumpangi dengan sandera harus ditinggalkan di gurun karena kehabisan bahan bakar. Para sandera lalu dipaksa berjalan kaki meneruskan perjalanan.
Saat itu penculik masih menerima uang tebusan sekitar US$ 200 ribu per sandera. Jumlah ini toh tetap merupakan angka yang cukup besar untuk menambah dana operasional mereka. Penculik kemudian mengembangkan "bisnis" untuk mengeruk dana. Dalam lima tahun terakhir, uang tebusan sandera melesat hingga US$ 10 juta per orang.
Begitu seriusnya penyanderaan dijadikan sebagai sumber dana, Al-Qaidah membuat modul protokol penyanderaan. Koordinasi juga selalu dilakukan setiap kali afiliasinya menculik sandera.
Beberapa bekas sandera mengemukakan "cabang-cabang" Al-Qaidah yang berjarak ribuan kilometer, yakni Al-Qaidah di Maghribi, Afrika Utara serta Al-Qaidah di Semenanjung Arab, Yaman, dan Shabab di Somalia, berkoordinasi dalam menjalankan protokol penyanderaan. Seperti dinyatakan pasangan Atte dan Leila Kaleva, warga Finlandia yang ditawan Al-Qaidah selama lima bulan di Semenanjung Arab pada 2013. "Ada banyak surat. Jelas bahwa mereka memiliki hierarki, dan mereka mengkonsultasikannya ke pemimpin mereka tentang apa yang harus dilakukan terhadap kami," kata Atte Kaleva.
Untuk modul, sengaja dibuat instruksi tahap demi tahap proses penyanderaan hingga pembebasannya. Misalnya bagaimana, setelah penculikan, harus ada "masa diam" untuk waktu yang cukup lama. Tindakan ini dilakukan demi memunculkan kepanikan di negeri sandera, baik di lingkungan keluarga maupun pemerintah.
Setelah itu, sandera ditunjukkan kepada keluarga dan pemerintah negaranya dengan mengeluarkan video. Di dalam video itu, sandera diminta mendesak pemerintahnya untuk menegosiasikan pembebasannya. Setelah itu, proses negosiasi dibuka.
Disebutkan pula, untuk menjaga keselamatan anggota atau untuk meminimalkan korban dari kelompok militan, bagaimana outsourcing juga dilakukan. Mereka membayar kelompok lain yang bekerja dengan sistem komisi. Dalam hal ini, perunding pembebasan memperoleh insentif, yakni 10 persen dari uang tebusan.
Begitulah, belakangan, penyanderaan memang lebih terorganisasi. Misalnya, ketika kelompok militan di Aljazair menangkap turis Italia, Mariasandra Mariani, pada Februari 2011. Mereka sudah rapi dalam menjalankan operasi. Mereka sudah menyiapkan rute perjalanan. Mereka menanam berbagai keperluan di sejumlah titik di pasir gurun yang sepi, kemudian menandai koordinat GPS-nya. Saat bahan bakar habis, mereka langsung menuju koordinat-koordinat itu untuk mengambilnya. Hal yang sama berlaku untuk makanan.
Mariani bercerita bahwa ia sempat menyaksikan penculik membongkar kuburan pasir dan mengeluarkan mobil bak terbuka. "Saat itulah saya menyadari bahwa mereka bukan penjahat biasa," katanya.
Setelah agak lama, kelompok jaringan Al-Qaidah ini baru menyuruh Mariani menelepon. Sementara sebelumnya para penyandera memiliki strategi mengumumkan penyanderaan dan tuntutannya dengan cara meninggalkan kertas di bawah batu, belakangan mereka telah menggunakan telepon satelit dan daftar nomor yang bisa dihubungi. Mariani diberi kertas dengan tulisan yang harus dia baca saat telepon tersambung ke Al Jazeera. "Nama saya Mariasandra Mariani. Saya orang Italia yang diculik," katanya. "Saya ditahan oleh Al-Qaidah di daerah Maghribi."
Saat itu pemerintah Italia langsung membentuk unit krisis, termasuk hotline 24 jam bagi para penculik. Selama 14 bulan penahanan Mariani, kapan pun penculik merasa diabaikan, mereka mendirikan tenda di gurun dan memaksa Mariani merekam pesan video untuk mengintimidasi.
Setelah muncul desakan dari keluarga dan banyak orang di Eropa agar pembayaran tebusan dilakukan kian kuat, akhirnya Mariani dibebaskan dengan tebusan 8 juta euro. Dia dibebaskan bersama dua sandera lain dari Spanyol.
Beberapa korban penculikan unit Al-Qaidah di Aljazair, Mali, Nigeria, Suriah, dan Yaman mengisahkan hal yang nyaris sama. Ada masa diam, pembuatan pesan video, panggilan telepon yang tak sering, bahkan bisa berbulan-bulan baru mengontak.
Dengan modus semacam itu, uang terus mengalir ke Al-Qaidah dan jaringannya hingga kini-menjadi suntikan modal bagi pertempuran mereka.
Purwani Diyah Prabandari (The New York Times, The Guardian, ABC News, LA Times)
Uang Mengalir ke Al-Qaidah dan Jaringannya Dibayarkan ke Al-Qaidah di Maghribi (Afrika Utara): US$ 91,5 Juta | |||
Tahun | Jumlah (dalam US$) | Pembayar | Sandera |
2010-2013 | 40,4 juta | BUMN Prancis | 4 warga Prancis |
2010-2011 | 17,7 juta | BUMN Prancis | 1 warga Prancis 1 Togo 1 Madagaskar |
2009 | 12,4 juta | Swiss | 2 warga Swiss 1 Jerman |
2011-2012 | 10,8 juta | - | 1 warga Italia 2 warga Spanyol |
2009-2010 | 5,9 juta | Spanyol | 3 warga Spanyol |
2008 | 3,2 juta | Austria | 2 warga Austria |
2008-2009 | 1,1 juta | - | 2 warga Kanada |
Dibayarkan ke Kelompok Shabab: US$ 5,1 Juta | |||
2011-2013 | 5,1 juta | Spanyol | 2 warga Spanyol |
Dibayarkan ke Al-Qaidah di Semenanjung Arab: US$ 29,9 Juta | |||
2012-2013 | 20,4 juta | Qatar dan Oman | 2 warga Finlandia 1 Austria 1 Swiss |
2011 | 9,5 juta | - | 3 warga Prancis |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo