Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bocor Minyak di Laut Lepas

Polisi menangkap seorang pegawai negeri di Batam, Kepulauan Riau, yang rekeningnya tercatat memiliki transaksi hingga Rp 1,3 triliun. Duit dalam rekening itu diduga terkait dengan penyelundupan minyak yang diotaki kakaknya.

15 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rosnendya Wisnu Wardhana belakangan ini dikejar-kejar wartawan. Tak hanya mendatangi kediamannya di kawasan perumahan Puri Legenda, Batam Centre, Batam, para wartawan juga memburu pria itu hingga ke gerai-gerai Nayadam miliknya, yang menjual aneka rasa kue bikang. Tidak untuk memborong penganan khas Batam itu, mereka berupaya bertemu dengan Wisnu agar bisa mengetahui perihal istrinya, Niwen Khairiah.

Niwen sejak 27 Agustus lalu mendekam di tahanan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Jakarta. Ia ditahan berkaitan dengan rekeningnya yang memiliki akumulasi transaksi sekitar Rp 1,3 triliun. Menurut polisi, rekening gendut itu diduga kuat berkaitan dengan kejahatan penyelundupan bahan bakar minyak dan pencucian uang.

Dikejar berhari-hari, Wisnu rupanya meminta bantuan petugas keamanan perumahan untuk "menghalau" wartawan yang datang. "Bapak bilang kalau ada tamu harus lapor kami dulu, enggak boleh langsung seperti ini," kata salah seorang dari dua petugas keamanan kompleks yang menghampiri Tempo di depan rumah Wisnu, Rabu pekan lalu. Mereka meminta Tempo meninggalkan rumah Wisnu.

Kasus rekening gendut Niwen terungkap berkat penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada pertengahan April lalu. Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan lembaganya menemukan setoran langsung dalam nilai sangat besar ke rekening Kepala Subdirektorat Kerja Sama Investasi Luar Negeri Badan Penanaman Modal Pemerintah Kota Batam itu. Sekali transaksi besarnya Rp 800 juta-1 miliar lebih.

Rekening Niwen dipelototi PPATK setelah lembaga itu mendapat laporan soal penangkapan seorang warga negara Singapura berinisial ZR pada 17 April lalu. Kantor Pelayanan Umum Bea dan Cukai Batam menangkapnya di Pelabuhan Internasional Batam Centre. Menurut Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Bea dan CukaiBatam Susila Brata, ZR ditangkap lantaran melanggar ketentuan membawa uang tunai lebih dari Rp 100 juta ke Indonesia.

Ribuan lembar dolar Singapura yang dibawa ZR jika dirupiahkan total nilainya sekitar Rp 4,5 miliar. Uang tersebut dibagi dalam pecahan 1.000, 100, dan 50 dolar Singapura. Kepada petugas Bea-Cukai, ZR mengatakan uang itu untuk membayar bahan bakar minyak. Setelah diperiksa, ZR akhirnya dilepas. Hanya, dia dikenai denda Rp 300 juta. "Kami melaporkan temuan ini ke PPATK," ujar Susila.

Penelusuran PPATK menemukan jejak transaksi besar dalam uang dolar Singapura yang terus berulang pada rekening valuta asing milik Niwen. Sepanjang 2008-2014, uang keluar-masuk rekening mencapai Rp 1,3 triliun. Menurut Yusuf, transaksi dengan uang pecahan 1.000 dolar Singapura itu jarang ditemukan di pasar dalam negeri. "Itu tidak lazim," ucap Yusuf dalam jumpa pers Senin pekan lalu.

Menduga ada tindak pidana di balik transaksi itu, pada 21 April lalu, PPATK berkoordinasi dengan Markas Besar Polri. Kejanggalan transaksi lantas ditelusuri penyidik Direktorat Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri. Penyidik menemukan pola aliran dana yang hampir selalu sama. Pemiliknya, Niwen, rajin mentransfer sejumlah uang kepada orang bernama Arifin Ahmad, yang belakangan diketahui pegawai harian lepas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.

Aliran uang ternyata tak berhenti pada Arifin. Beberapa saat setelah Niwen mentransfer, Arifin mengirim uang ke rekening milik Du Nun, rekannya sesama pegawai harian lepas di TNI AL. Terakhir uang masuk ke rekening Yusri, supervisor senior di Terminal Bahan Bakar Minyak Pertamina di Tanjung Uban, Batam. Dalam transaksi ini, komplotan itu memakai banyak rekening di beberapa bank. Mereka kerap membuka-tutup rekening. Tak jarang mereka memanfaatkan orang lain untuk membuka rekening baru.

Tim penyidik Bareskrim, yang dipimpin Kepala Subdirektorat Pencucian Uang Komisaris Besar Budi Wibowo, lantas mencomot Du Nun dan Arifin di rumah mereka di Bengkalis dan Dumai, Riau. Ketika diperiksa, Du Nun dan Arifin bercerita bahwa duit mereka itu didapat dari hasil jual-beli bahan bakar minyak bersubsidi di tengah laut. Bahan bakar mereka beli dari kapal pengangkut BBM Pertamina yang berlayar dari Pangkalan Tanjung Uban. Minyak lantas dilego ke kapal-kapal asing yang berlayar di perairan Kepulauan Riau.

Kepada penyidik, Du Nun juga bercerita bahwa aksi mereka berjalan lancar berkat bantuan "orang dalam" Pertamina. Dia pun menyebut nama Yusri, Pengawas Senior Pertamina untuk Dumai, Siak, Pekanbaru, Batam, dan Kepulauan Riau. Yusri biasa memberi mereka informasi tentang jadwal dan nama kapal pengangkut BBM Pertamina lengkap dengan kontak awak kapalnya.

"Du Nun mengontak langsung awak kapal untuk membeli BBM," ujar Budi kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Yusri juga memiliki peran lain. Dia melebihkan muatan dalam kapal pengangkut itu. Berkat muatan lebih itulah kapal-kapal pengangkut BBM bisa "kencing" di tengah laut.

Sewaktu diperiksa polisi, Du Nun juga menyebut nama Ahmad Mahbub sebagai otak jaringan penyelundup BBM ini. Ahmad Mahbub, yang biasa disapa Abob, tak lain adalah kakak kandung Niwen. Dia memiliki kapal pengangkut BBM, MT Jelita Bangsa, di bawah bendera PT Lautan Terang. Abob menjadi mitra Pertamina dalam menyalurkan BBM nonsubsidi sejak 2010. Namun hubungan bisnis ini diputus Pertamina pada Agustus 2012. Penyebabnya, Abob tak memenuhi target penjualan yang ditetapkan Pertamina.

Setelah menghubungi kapal pengangkut, Du Nun biasanya memberi tahu Abob soal lokasi pertemuan di tengah laut yang sudah disepakati. Dalam sekejap, BBM pun berpindah dari kapal Pertamina ke kapal Abob. Selanjutnya, BBM itu dibawa ke laut bebas untuk dijual di pasar gelap. Siapa pembelinya? Kepada penyelidik, Du Nun mengaku tak tahu-menahu. Menurut dia, Aboblah yang bertugas menjual BBM ilegal itu. Abob pula yang menyediakan dana untuk membeli BBM ilegal itu dengan memanfaatkan Niwen.

Dalam sepekan, jaringan Abob bisa beraksi dua-tiga kali. Setiap kali transaksi, mereka bisa mengangkut 20-30 ton minyak atau setara dengan 25-35 ribu liter. Mereka cukup membayar dengan harga Rp 3.500 untuk Premium dan Rp 4.500 untuk solar. Abob dan kawan-kawan biasanya mengambil keuntungan Rp 500 per liter minyak yang mereka jual. Walhasil, sekali transaksi, mereka meraup keuntungan Rp 12,5-17,5 juta.

Sepak terjang Abob dalam penyelundupan BBM di Kepulauan Riau bukan kali ini saja terungkap. Pada akhir 2012, Kepolisian Daerah Kepulauan Riau membongkar kasus penimbunan jutaan liter solar milik PT Gandasari Petra Mandiri di Seinam, Kijang, Kabupaten Bintan.

PT Gandasari diduga membeli solar bersubsidi untuk dijual kepada kalangan industri. PT Lautan Terang milik Abob disebut pemasok solar terbesar untuk PT Gandasari. Total 3,4 juta liter solar disalurkan perusahaan Abob sejak 29 November 2011 sampai 26 Februari 2012. Nilainya mencapai Rp 19,8 miliar. Abob menjual solar dengan harga Rp 7.500 per liter-jauh dari harga solar industri yang saat itu mencapai Rp 9.000 per liter. Namun ketika itu polisi hanya memidanakan Murtono, pegawai PT Gandasari. Adapun pemilik PT Gandasari, Andi Wibowo, yang sudah dijadikan tersangka, hingga kini statusnya tak jelas. Waktu itu Abob pun tak terjamah tangan aparat.

Tampaknya kini "kesaktian" Abob mulai luntur. Berbekal keterangan Du Nun, polisi menahan Yusri dan Niwen setelah memeriksa mereka di Badan Reserse Kriminal Polri, akhir Agustus lalu. Polisi lantas memburu Abob, yang diduga sebagai otak penyelundupan. Namun, menurut seorang perwira di Bareskrim, Abob tetap licin. Dia berganti-ganti nomor telepon seluler untuk menghindari pelacakan polisi. Barulah pada Ahad dua pekan lalu, ia tertangkap di Hotel Crowne, yang letaknya berseberangan dengan Markas Polda Metro Jakarta Raya.

Sejauh ini polisi telah menyita enam unit mobil, alat berat, dan satu unit tanker seberat 200 ton. Budi Wibowo dan kawan-kawan masih melacak harta kekayaan kawanan ini yang diduga berasal dari transaksi haram. "Mungkin akan ada tersangka baru selain kelima orang ini," tutur Budi.

Media Manager Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan pihaknya menyerahkan seluruh penyidikan kasus ini kepada polisi. Pertamina, kata dia, tak melakukan investigasi internal untuk mencari pegawai lain yang mungkin terlibat kasus kebocoran BBM bersubsidi ini. Meski begitu, ia menambahkan, Pertamina akan menindak tegas semua pegawai yang dinyatakan polisi terlibat kasus ini. Adapun Yusri, selain dicopot dari jabatannya, gajinya dipotong. "Kalau sudah ada putusan hukum bahwa dia bersalah, akan kami pecat dia," ucap Adiatma kepada Tempo.

Febriyan, Ayu Prima Sandi (Jakarta), Rumbadi Dale, Reza Aditya (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus