LEWAT pengumpulan pendapat, responden -- 452 perwira militer -- tak setuju bahwa orang masuk gerakan komunisme karena merasa diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh tentara. Mereka setuju bahwa di Filipina, larinya seseorang kepada komunisme karena kemiskinan, yang disebabkan oleh antara lain korupsi dan ketidakbecusan pejabat pemerintah. Tapi membangun sebuah negara, apalagi setelah puluhan tahun diperintah oleh seorang diktator, jelas tak gampang. Lihat saja, telah 3 tahun 10 bulan Filipina mengenyam demokrasi, tapi di sana masih bertebaran gubuk-gubuk reyot dan anak-anak kurang gizi bermain di selokan. Memang, tahun ini Filipina masih sempat membuat kejutan bagi orang Indonesia. Menurut laporan pemerintah di akhir tahun fiskal 1988-1989, penghasilan kotor per kapita Filipina mencapai US$ 527 per tahun, dan pertumbuhan ekonominya tercatat 9%. Padahal, Indonesia, yang secara politik jauh lebih tenteram, masih mentok di bawah US$ 500 dan 6%. Perlu dicatat, mereka yang masih harus hidup di bawah garis kemiskinan tak berkurang sejak zaman diktator Ferdinand Marcos. Yaitu 30% dari 60 juta penduduk Filipina. Sungguh memprihatinkan. Tak kalah menakutkan, kini di Manila terjadi kejahatan setiap 40 menit. Sebuah bukti adanya krisis kepercayaan terhadap lembaga hukum. "Orang-orang di jalanan tak percaya akan memperoleh perlakuan adil, sehingga mereka lebih suka main hakim sendiri untuk menghajar lawan," ujar seorang pengusaha asal AS. Jadi, tak aneh bila makin banyak orang Filipina getol mempersoalkan kemampuan Presiden Corazon Aquino. Generasi tua pun makin rapat dengan nostalgia pada awal 1960-an, ketika Filipina mencapai kejayaan ekonomi. Kala itu, penghasilan kotor per kapita per tahun Filipina menduduki peringkat ketiga di seluruh kawasan Asia Timur dan Tenggara. Kini hanya Indonesia yang masih berada di bawah Filipina. Negara lainnya sudah melejit lebih jauh. Bahkan Muangthai dan Malaysia, yang dulu dianggap enteng, telah menjadi kandidat terkuat di dunia untuk menjadi negeri industri baru. Sebenarnya sudah banyak yang dilakukan Presiden Corazon "Cory" Aquino. Pertama, dia memburu semua kekayaan negara yang dibawa kabur mendiang Marcos. Demikian gencarnya perburuan itu, sampai milyarder Adnan Khashoggi, yang pernah kondang sebagai pialang senjata terbesar di dunia, masuk penjara gara-gara ikut menadah barang haram dari Marcos. Tapi gebrakan paling mengejutkan terjadi pada Juli 1987, kala Cory mengeluarkan dekrit tentang land reform. Padahal, sudah menjadi tradisi di Filipina, bahwa kekuasaan tuan tanah nyaris tak terbatas. Mereka punya pasukan sendiri, serta mendominasi kancah politik dan ekonomi. Bahkan Marcos tak berani mengusik kekayaan mereka. Demikian hebatnya kekuasaan dan kekayaan mereka, sehingga Filipina kerap disebut sebagai "negeri para tuan tanah". Ini bisa dipahami, karena 90% tanah di Filipina hanya dimiliki oleh 10% penduduk. Maka, tuan tanah dengan sekian ratus hektare tanah masih dianggap kecil. Keluarga Cory sendiri punya 6.500 hektare tanah perkebunan. Tapi toh itu belum apa-apa dibanding dengan para bos lain yang sampai punya sekitar 100 ribu hektare. Land reform yang dicanangkan Cory menyebutkan, pemerintah akan memborong sekitar 10 juta hektare tanah pertanian, lalu dijual kepada 5 juta petani secara cicilan selama 30 tahun dengan bunga lunak. Program ini harus diselesaikan pada 1997. Tapi program yang menyenangkan para petani gurem itu masih macet. Petunjuk pelaksanaan program itu masih seru diperdebatkan di parlemen, dan biaya yang dibutuhkan belum tersedia. Diperkirakan, Pemerintah Filipina harus menghabiskan US$ 11 milyar, yang sebagian berasal dari utang luar negeri. Sumber duit yang diharapkan Cory ternyata ogah-ogahan. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional malah menyangsikan bahwa program land reform bisa menyelamatkan perekonomian Filipina. Sebab, program itu justru dikhawatirkan bisa menyabot produksi gula dan minyak kelapa, yang telah dikelola secara efisien. Ekspor gula Filipina sudah menguasai pasar dunia sejak abad ke-19. Sedangkan minyak kelapanya, dalam catatan tahun 1980-1981, menghasilkan 85% dari produksi minyak kelapa dunia. Kedua produk itu menghasilkan devisa US$ 1 milyar per tahun, atau sekitar 11% dari seluruh ekspor Filipina. Karena itu, Bank Dunia menolak memberikan utang untuk kepentingan land reform. Belakangan ini situasi ekonomi Filipina malah kian memburuk. Defisit perdagangan luar negeri Filipina pada semester lalu mencapai US$ 1,2 milyar. Padahal, pada semester yang sama tahun lalu baru mencapai US$ 545 juta. Pada akhir tahun ini, defisit itu diperkirakan akan melejit lagi sampai US$ 2,4 milyar, atau hampir sama dengan yang terjadi di masa krisis pada 1983. Ketimpangan itu gara-gara Cory mengeluarkan kebijaksanaan liberalisasi impor, sesuai dengan permintaan Dana Moneter Internasional (IMF). Maksudnya memang baik, karena untuk menekan harga. Hasilnya, Filipina menghabiskan US$ 1,1 milyar untuk mengimpor barang konsumsi, atau 16,4% dari seluruh impor tahun 1987. Gara-gara kelewat banyak duit dihamburkan untuk mengimpor barang, "cadangan devisa kami sudah berada di titik krisis," tutur Joze Fernandez, Gubernur Bank Sentral Filipina, 3 bulan lalu. Cadangan yang ada, termasuk emas, pada Juli lalu tinggal US$ 1,3 milyar, atau hanya cukup untuk membiayai impor selama sebulan. Padahal, normalnya, cadangan devisa sebuah negara bisa membiayai impor selama 3 bulan. Pada akhir 1960-an, Marcos sudah berusaha keras membangun industri berorientasi ekspor. Sayangnya, industri itu ternyata tak bisa melepaskan diri dari barang impor. Ini terbukti pada 1970, ketika Bank Sentral minta penjadwalan kembali utangnya US$ 250 juta. Saat ini bahkan dua eksportir produk manufaktur Filipina, yang menghasilkan 40% dari total ekspor Filipina -- pakaian jadi dan semikonduktor -- sangat tergantung bahan baku impor. Dari setiap dolar AS yang diperoleh dari ekspor pakaian jadi, 56% di antaranya harus dihabiskan untuk mengimpor bahan baku, dan untuk semikonduktor bisa mencapai 75%. Harapan Cory pada modal asing tampaknya makin sia-sia, karena para investor ngeri pada ancaman kudeta militer. Bayangkan, pada 1986, penanaman modal asing di Filipina merosot 51% dibanding tahun sebelumnya. Perputaran uang pun menyusut, sehingga pemerintah terpaksa mengurangi jumlah bank dari 260 menjadi 100 buah. Situasi ini mungkin akan jadi lebih parah gara-gara aksi makar pekan lalu. Tentu akan menjadi lebih parah bila usaha Cory untuk minta penjadwalan kembali dan pemotongan utang luar negeri Filipina yang sudah mencapai US$ 28 milyar tak sukses. Bayangkan, semester lalu, Filipina harus menghabiskan US$ 2,4 milyar untuk mencicil utang, yang US$ 250 juta di antaranya hanya untuk membayar bunga. Berbagai janji memang telah diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan dunia Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia. Yakni, mereka akan mempermudah proses pemberian kredit dan bantuan murni kepada Filipina. Yang jadi persoalan, bila janji itu dipenuhi, apakah bisa memenuhi harapan orang Filipina yang sudah haus pada kesejehateraan? Yang pasti, laju inflasi makin kencang, sehingga Agustus lalu mencapai 11,7%. Tingkat bunga pun terus melejit. Padahal, menurut kalangan perbankan, penguasaha Filipina tak akan mampu menyerap kredit berbunga di atas 20%. Ditambah dengan angka kelahiran yang bergerak antara 2,4% dan 2,8%, hal itu menyebabkan masalah pengangguran (lebih dari 9%) dan kemiskinan sulit diatasi. Ada keterbatasan daya tampung lingkungan hidup, dan keterbatasan dana pemerintah untuk membantu pertambahan penduduk yang besar. Sebuah persoalan yang tidak kecil dan tidak mudah bagi pemerintahan Cory, yang belum tentu bisa diatasi oleh pemerintahan militer -- seandainya kudeta berhasil dan militer berkuasa. Praginnto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini