RESTORAN Jobi El Campo, yang menyediakan masakan Meksiko, sering dikunjungi para pekerja dari pabrik General Dynamics (GD) di Kota Fort Worth, Texas. Maklum, kedai makan itu letaknya berseberangan dengan perusahaan terkenal yang membuat pesawat terbang militer. Dan nasib El Campo mau tak mau harus bergantung pada maju-mundurnya GD. Restoran yang sudah berdiri sejak 34 tahun lalu itu menjadi saksi mata pasang-surutnya GD -- mulai ketika pabrik itu cuma mempekerjakan 5.600 karyawan, hingga kini membengkak menjadi 30.000 orang. Ketika GD ketiban order membuat pesawat F-16 Falcon, kontan El Campo merayakannya dengan menyediakan bir cuma seharga 16 sen. Memang, order pembuatan pesawat tempur yang antara lain juga dibeli oleh Pemerintah Indonesia itu membuat El Campo bakal kecipratan rezeki dari rogohan pekerja GD yang gemar makan tacos dan enchiladas di kedai itu. Kalau GD makmur, El Campo juga ikut laris. Ketika Reagan masih duduk di singgasana Gedung Putih, anggaran belanja negara AS di sektor militer membubung tinggi. Washington membelanjakan sekitar 6% dari GNP untuk mengasah kuku-kuku militer AS. Akibatnya, memang pabrik-pabrik seperti GD ikut kebanjiran order membuat perangkat militer. Dengan begitu, nasib El Campo ikut terdongkrak. Tapi, setelah Gorbachev berkuasa di Kremlin, dia juga sekaligus membawa angin segar yang menjanjikan perdamaian dunia. Lewat jargon politiknya yang kondang itu: glasnost dan perestroika, peta dunia telah diubahnya. Rezim komunis, yang sebelumnya kukuh di Eropa Timur, mendadak rontok kena libasan glasnost dan perestroika-nya Gorbachev. Polandia, Hungaria, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia dilanda pembaruan. Di negara-negara itu tak ada lagi penguasa rezim komunis yang tiran. Peristiwa paling dramatis adalah robohnya Tembok Berlin simbol pemisahan Barat dan Timur di Eropa -- November lalu. "Perang Dingin sudah berakhir," ucap Gorbachev kepada Presiden Italia Francesco Cossiga, menjelang Pertemuan Puncak Amerika Serikat-Uni Soviet di Malta yang berlangsung 2-3 Desember 1989 pekan lalu. Peta politik di Eropa memang telah berubah wajah. Pakta Warsawa (pakta pertahanan negara-negara Eropa Timur yang menjadi boneka Soviet) tampaknya tak lagi mengancam negara-negara Eropa Barat yang dipayungi NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara yang dipimpin AS) -- sebagai bagian dari Perang Dingin Amerika vs. Soviet. Sementara itu, sejak George Bush tampil sebagai Presiden AS menggantikan Reagan, Februari 1989 lalu, ia menjanjikan kepada rakyat AS bahwa tak ada kenaikan pajak. Itu artinya tak boleh ada lagi defisit dalam anggaran belanja AS hanya gara-gara pengeluaran di sektor militer, seperti yang pernah terjadi ketika Reagan berkuasa. Apalagi memang situasi Perang Dingin sudah mulai lumer. Uni Soviet dan sekutunya dianggap tak lagi merongrong perdamaian di Eropa dan belahan dunia lainnya. Tak ayal lagi, Menteri Pertahanan AS Dick Cheney mengambil ancang-ancang untuk mengurangi secara drastis anggaran belanja AS. Hal itu termasuk menyunat pengeluaran untuk membeli pesawat tempur F-16 Falcon yang dibuat oleh GD. Kalau begitu, tak lama lagi kedai El Campo bakal sepi, dan boleh jadi tak ada lagi pesta minum bir. Pemotongan anggaran belanja yang dilakukan AS memang luar biasa. Gedung Putih berharap bakal menurunkan belanja militernya sampai 4% dari GNP -- sebelumnya 6%. Cheney juga merencanakan akan menciutkan anggaran tahunan Pentagon dari US$ 303 juta menjadi US$ 272 juta pada 1994 nanti. Bahkan ada kemungkinan anggaran itu bakal diperkecil lagi dari rencana semula. Ketua Staf Gabungan Tentara AS Jenderal Collin Powell juga mengajukan proposal untuk mengurangi tentara AS 20 dalam lima tahun mendatang. Atau pengurangan sekitar 150.000 personel dari sekitar 764.000 tentara yang ada. Tentu saja tentara AS yang ditempatkan di daratan Eropa juga bakal menyusut. Di pertengahan 1990-an nanti hanya tersisa 100.000 tentara AS dari 320.000 pasukan yang ada sekarang. Bisa dimengerti kalau Bush mengambii langkah penciutan anggaran militernya. Apalagi Soviet yang dipimpin Gorbachev tak lagi dilirik sebagai kekuatan yang dapat mengancam sekutu AS di Eropa Barat. Lihat saja bagaimana Kremlin membiarkan Eropa Timur bergolak dan pemimpin ortodoks komunis pro-Soviet tak lagi bercokol di kawasan itu. Di kawasan lain, seperti di Afghanistan, Soviet menarik mundur hampir seluruh pasukannya yang berjumlah 115.000, awal tahun ini. Soviet pula yang mendesak sekutunya, Vietnam, agar menarik tentara pendudukannya di Kamboja. Seperti juga Bush, Gorbachev tampaknya lebih tertarik untuk membereskan masalah intern Soviet ketimbang terseret arus persaingan politik global dalam Perang Dingin dengan AS -- sisa peninggalan usainya Perang Dunia II. Beban anggaran belanja negara, yang dulu banyak terkonsentrasi di sektor militer, kini berangsur-angsur mulai dialihkan ke sektor investasi dan perdagangan. Bagaimana tidak, inflasi di Negeri Beruang Merah itu mencapai 7 sampai 11% setahunnya. Bahkan Roy Medvedev, intelektual Soviet yang juga anggoa Soviet Tertinggi, menaksir inflasi di negerinya adalah 20 sampai 30%. Tahun ini defisit anggaran negeri itu bakal mencapai 13,8% dari GNP. Melihat kondisi negara masing-masing itulah, maka kedua negara superkuat tadi tak lagi bersemangat adu pamer otot kekuatan. Dalam Pertemuan Puncak di Washington, Desember 1987, Reagan dan Gorbachev sudah sepakat menandatangani perjanjian untuk menghapuskan semua senjata nuklir jarak menengah yang dimiliki. Tak heran jadinya kalau bayang-bayang dua kutub kekuatan di Eropa, NATO dan Pakta Warsawa, juga ikut redup. Pihak NATO, yang ingin mengurangi kekuatan militer konvensionalnya di daratan Eropa, kontan disambut hangat oleh Pakta Warsawa dengan proposal yang tak jauh berbeda. Skenario penciutan kekuatan militer yang diharapkan adalah (lihat grafik): * Baik NATO maupun Pakta Warsawa sepakat untuk mengurangi masing-masing jumlah tanknya sampai 20.000. * NATO menginginkan pengurangan persenjataan artileri sampai 16.500. Sedangkan Pakta Warsawa menghendaki 24.000. * NATO dan Pakta Warsawa sepakat menciutkan kendaraan lapis bajanya sampai 28.000. * Dalam soal jumlah tentara di Eropa, NATO menginginkan jumlah tentara AS dan Soviet masing-masing tak lebih dari 275.000 personel. Sedangkan tentara NATO yang berasal dari negara-negara Eropa Barat lainnya (sekutu AS) tak mengalami perubahan. Untuk mencapai jumlah itu, AS harus memulangkan sekitar 30.000 pasukannya, sedangkan Soviet 325.000. Sementara itu, Pakta Warsawa mengusulkan masing-masing hanya memiliki 1,38 juta tentara. * NATO menginginkan pengurangan pesawat tempur sampai 3.800. Sedangkan proposal Pakta Warsawa, penciutan sampai 1.500 pesawat. * Untuk jenis pesawat heikopter, NATO mengajukan usul pengurangan sampai 2.200. Pakta Warsawa menginginkan penyusutan sampai 1.700. Lalu, bagaimana soal kekuatan militer di laut? Tak seperti halnya perundingan soal perimbangan kekuatan militer konvensional di daratan, yang praktis boleh dibilang bisa berjalan mulus, di laut justru yang terjadi sebaliknya. Di Malta, Gorbachev sempat menyodorkan proposal yang menawarkan penghapusan kapal laut pembawa nuklir jarak pendek yang jangkauannya kurang dari 300 mil. Sayangnya, tawaran yang disodorkan Gorbachev itu ditampik oleh Bush. "Memang, di antara kami masih ada perbedaan, dia tahu dan saya juga mengetahuinya, yaitu soal pengawasan persenjataan di laut. Kami tak membuahkan kesepakatan apa pun dalam soal itu," tutur Bush tegas. Soal kapal laut itu sempat jadi bahan gurauan. Yakni karena mereka harus membatalkan perundingan di kapal perang dan pindah ke kapal pesiar Maxim Gorky milik Soviet, karena gelombang laut yang besar (lihat KTT Malta atau Pertemuan Mabuk Laut). Kata Gorbachev: "Yang harus Anda lakukan yaitu mengurangi kapal perang Anda, kalau Anda tak bisa naik kapal itu dalam cuaca seperti ini." Jawab Bush: "Ya, memang, kami harus punya rencana melucuti Armada VI bila begini jadinya." Tampaknya memang pembahasan soal perimbangan kekuatan militer di laut sengaja dihindarkan oleh AS. Kekuatan di sektor ini masih menjadi kartu truf AS untuk mengawal jalur dagang antara benua Eropa dan Amerika. Apalagi buat Soviet, mengingat letak negaranya tak memungkinkan kapal-kapalnya melakukan manuver secara bebas di Luatan Atlantik. Bagaimanapun, menurut sejumlah pengamat, NATO (baca: AS) masih lebih unggul ketimbang Soviet dalam perimbangan militernya di laut. Tak seperti halnya merundingkan soal persenjataan di darat, persenjataan di laut lebih sulit untuk diverifikasi. "Kapal dengan mudah bisa cepat bergerak. Dan Anda tak akan bisa tahu muatan persenjataan apa yang dibawa kapal tersebut. Terlebih lagi kapal selam, karena Anda tak bisa melihatnya," tutur James McCoy, ahli perkapalan dari International Institute for Strategic Studies di London. Namun, tak semua anggota NATO mendukung ulah AS itu. Setidaknya Norwegia dan Islandia, yang agaknya menginginkan segera adanya pembatasan senjata nuklir di laut. Apalagi perairan kedua negara itu sering dilalui kapal-kapal bertenaga dan bersenjata nuklir milik Soviet yang berpangkalan di Laut Arktik -- dan NATO yang sering berlatih di kawasan itu. Ini berarti ancaman keselamatan di perairannya. Setidaknya seperti yang pernah terjadi di perairan Norwegia, tatkala sebuah kapal selam bertenaga nuklir milik Soviet karam dan menewaskan 42 awaknya, April lalu. Ahmed K. Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini