Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN itu kini harus mengatur kembali aktivitas rutinnya. Ia tak bisa lagi mengantar putri bungsunya ke sekolah setiap pagi. Orang tua tunggal yang ramah dan penyabar itu pun tak mungkin berbelanja sendiri ke pasar, kemudian menyiapkan makanan untuk ketiga anaknya.
Michelle Bachelet, 54 tahun, kini bukan lagi perempuan biasa. Pekan lalu ia meraup 45,9 persen dari 8,2 juta pemilih dalam pemilu presiden putaran pertama di Cile. Meski sudah unggul, kemenangan kandidat presiden yang diusung koalisi kiri-tengah Concertacion itu belum mencapai angka mayoritas.
Menurut aturan, dia harus bertarung di putaran kedua, 15 Januari tahun depan. Ia tak bisa lenggang kangkung menuju kursi penguasa Istana Modena. ”Ini tanda perubahan bagi perempuan,” katanya dari balkon Hotel Santiago, seusai pengumuman pemilu. ”Saya akan berjuang lebih baik.”
Dalam pemilu putaran kedua nanti, Michelle akan melawan Sebastian Pinera, miliarder sayap kanan yang menangguk 25,5 persen suara di putaran pertama. Seterunya itu telah berkoalisi dengan kandidat sayap kanan konservatif, Joaquin Lavin, peraih 23 persen suara. Koalisi ini cukup berat. ”Ini berita buruk, pertarungan kian ketat,” kata analis politik Cile, Eugenio Tironi.
Namun Michelle tetap optimistis. ”Seberat apa pun, saya yakin menang demi kaum perempuan,” kata janda cerai itu. Toh, kemenangan putaran pertama telah membuktikan bahwa isu gender telah gagal. Malah belakangan Pinera meralat celoteh miring soal perempuan. Rupanya dia khawatir bakal kehilangan suara perempuan.
Michelle memang bukan ibu rumah tangga biasa. Selama kekuasaan Jenderal Augusto Pinochet, 1973-1990, dia sudah aktif melawan sang diktator. Sebagai mahasiswi farmasi saat itu, dia menuntut kematian ayahnya, Alberto Bachelet, seorang laksamana yang tewas disiksa rezim Pinochet dalam kudeta 1973.
Perlawanan itu membuat dia dan ibunya dijebloskan ke Villa Grimaldi, pusat penyiksaan rezim Pinochet. Setelah dibebaskan, Michelle menyingkir ke Australia, lalu ke Jerman Timur. Ia kembali ke Cile pada 1979 dan menyelesaikan kuliah yang terbengkalai, sambil terjun ke partai sosialis, partai yang berkuasa setelah Pinochet jatuh pada 1990.
Pada masa kepemimpinan Presiden Ricardo Lagos, Michelle beroleh kursi Menteri Kesehatan. Dua tahun kemudian ia diangkat menjadi Menteri Pertahanan.
Sebagai Menteri Kesehatan, dia sempat membuat terobosan penjualan obat generik dan penggunaan resep. Michelle juga mengenalkan hukum progresif buat perempuan, termasuk hukum perceraian dan pelecehan seksual di lingkup pekerjaan. Ketika menjadi Menteri Pertahanan, dia memperbolehkan kaum perempuan masuk dinas militer.
Belakangan Cile telah menjadi model stabilitas politik dan ekonomi di Amerika Latin. Tingkat korupsi negara dan indeks kemiskinan mereka paling rendah dibanding negara-negara lain. Prestasi itu selalu diusung Michelle dalam kampanye. Jika terpilih, dia berjanji akan setia meneruskan kebijakan-kebijakan mentornya, Presiden Lagos—yang sudah tidak bisa mencalonkan diri lagi.
Michelle memang pintar merangkul simpati kaum perempuan. Mereka percaya, jika ia menjadi presiden, lapangan kerja tersedia, upah diperbaiki, prasarana anak diberikan, hubungan pria dan wanita setara, sementara kesenjangan kaya-miskin akan dipersempit. ”Sebagai perempuan, kami mendukung dia,” kata Magdalena Correa, warga Santiago, bersama dua temannya.
Eduardus Karel Dewanto (AFP/Reuters/CSM/The WP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo