Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARUM jam baru menunjukkan pukul enam pagi. Serombongan polisi Belgia mengetuk pintu satu rumah di Charleroi, kota di selatan Brussels, sekitar tiga pekan lalu. Seorang perempuan tua, Liliane Degauque, membukakan pintu. ”Anda datang mengabarkan anak perempuan saya?” tanya Degauque, menduga.
Dan nyonya itu pun kaget begitu polisi mengabarkan bahwa anak perempuannya tewas dalam aksi bom bunuh diri di Irak. Ia lantas meratapi Muriel Degauque: ”Saya sudah tak punya anak.”
Muriel, 38 tahun, meledakkan dirinya dekat rombongan patroli pasukan Amerika Serikat di Kota Baquba, utara Bagdad, pada pekan kedua November lalu. Lima polisi Irak tewas, seorang tentara AS luka-luka.
Pengamat politik Timur Tengah menduga, muslim militan Timur Tengah kini menjalankan strategi baru: merekrut perempuan kulit putih sebagai pelaku bom bunuh diri. Muriel Degauque adalah yang pertama, dan segera menyebarkan kecemasan di Eropa.
Muriel tumbuh di lingkungan keluarga Katolik. Namun pernikahan pertamanya dengan seorang pria muslim berdarah Turki. Mereka kemudian bercerai dengan alasan yang tak jelas. Yang pasti, Muriel baru masuk Islam setelah bercerai, karena ajakan seorang pria Aljazair. Sejak itu ia mengenakan kerudung. Meski merasa aneh, Liliane Degauque sang ibu senang memandang sosok baru anak perempuannya itu. Apalagi Muriel berhenti menenggak minuman keras dan meninggalkan narkotik.
Muriel kemudian menikah lagi, dengan Hissam Goris, pria berdarah Maroko. Polisi Belgia mengenal Goris sebagai muslim militan. Hissam membawa Muriel pulang ke Maroko. Di kampung suaminya itu Muriel belajar bahasa Arab dan membaca Al-Quran. Kembali ke Belgia, Muriel tak hanya berkerudung: burka menyembunyikan sekujur tubuhnya selain dua matanya.
Pasangan ini menetap di apartemen satu kamar tidur di Gare du Midi, Brussels, kawasan yang banyak dihuni penduduk muslim. Sesekali Muriel menjenguk orang tuanya. Kali ini Liliane Degauque tak lagi memandang dengan senang anak perempuannya itu. Menurut seorang tetangga, Liliane mengeluh bahwa anak perempuannya menjadi Islam yang keras. Misalnya, Muriel dengan terbuka meminta ayahnya tak minum alkohol dan mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tak boleh makan semeja.
Kemudian Muriel dan Hissam lama tak berkunjung. Pada Agustus lalu Muriel menelepon ibunya dari Suriah. Ia bercerita, bersama suaminya ia melakukan perjalanan ke Irak lewat Turki dan Suriah.
Itulah telepon pertama dan terakhir, sebelum Muriel sampai di Irak dan meledakkan dirinya. Hissam, suaminya, tewas ditembak sebelum sempat meledakkan bom di tubuhnya.
Sebenarnya, perempuan kulit putih Eropa berpindah agama dan masuk Islam bukan hal baru. Hanya, belakangan ini jumlahnya meningkat, dan yang dicemaskan—seperti halnya Muriel itu—mereka masuk ke lingkungan Islam militan. Menurut intelijen polisi Prancis, sekitar 5.000 dari 5 juta warga muslim Prancis menganut Islam garis keras, dan 400 di antaranya warga kulit putih mualaf.
Strategi baru ini memang mencemaskan. Betapapun tak senangnya orang tua melihat anaknya pindah agama, bila si anak tewas akan ada pertimbangan lain. Memang, ini tak lalu otomatis membuat keluarga itu bersimpati apalagi pindah agama Islam. Namun, setidaknya, seperti Liliane Degauque yang sangat merasa kehilangan, ini sebuah awal dengan berbagai kemungkinan, termasuk bersimpati kepada Islam militan.
Raihul Fadjri (NY Times, Guardian, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo