KILATAN sinar membelah langit Kabul, Kandahar, dan Jalalabad ketika azan subuh belum lagi berkumandang pada Minggu, 7 Oktober. Udara dini hari bergetar oleh raungan pesawat-pesawat pengebom Amerika Serikat yang mengirimkan "salam pembuka" dalam serangan perdana ke Afganistan. Rudal-rudal terjun bebas dari perut pesawat-pesawat pengebom, susul-menyusul dengan asap, debu, dan hawa balas dendam yang membungkus kota-kota ini beberapa detik setelah jatuhnya hujan rudal. Itulah jawaban Amerika Serikat terhadap teror 11 September di New York dan Washington yang meruntuhkan gedung kembar World Trade Center (WTC), memboyakkan gedung Pentagon, serta melenyapkan ribuan nyawa.
Serangan di awal Oktober itu boleh jadi muslihat perang yang belum ditulis dalam strategi kitab-kitab klasik: mengusir musuh dari kota ke kota tanpa menurunkan pasukan darat di garis depan serta menggunakan musuhnya musuh sebagai tameng. Amerika menerapkan politik adu domba dengan sukses. Itulah yang terjadi sepanjang perang hampir sepuluh pekan di Afganistan. Sembari pilot-pilot Amerika mencurahkan bom dari langit, pasukan Aliansi Utara merangsek maju.
Mazar-i-Syarif adalah kantong Taliban pertama yang rontok pada 10 November. Pasukan Aliansi Utara berderap masuk kota dengan rasa bungah yang menggelegak. Setelah itu, Jalalabad, Taloqan, Kunduz, dan Kabul roboh bagai rumah kartu. Pada 6 Desember, Kandahar, benteng suci Taliban, tumbang pula. Di kegelapan malam, pemimpin Taliban Mullah Umar menghilang secara misterius. Tora Bora, gua-gua penuh labirin—yang digunakan orang Afganistan sebagai tempat persembunyian sejak menghadapi Alexander the Great ratusan tahun lalu—digempur habis-habisan oleh tentara Aliansi Utara, dibantu pasukan AS.
Pimpinan tertinggi Al-Qaidah Usamah bin Ladin diyakini ngumpet di situ. Bom-bom Amerika membuat para pengikut Bin Ladin merayap ke luar seperti siput meninggalkan mangkuk. "Kami muslim, kami muslim, antarmuslim tak boleh saling membunuh," teriak anggota Al-Qaidah dan Taliban. Lalu mereka menyerah.
Menyerahnya Taliban adalah antiklimaks. Tadinya terbayang akan terjadi perlawanan gigih Taliban melalui artileri antiudara, jebakan ranjau, bantuan cuaca alam dan salju, dan semangat perang puputan. Mereka pernah menjungkirkan 15 ribu lebih prajurit terbaik Soviet di tahun 1980-an dengan cara ini. Mereka pernah muncul dari celah mana pun dan menghanguskan tank Soviet dengan tangan telanjang, kapak, minyak tanah, dan korek api. Tapi, saat melawan Amerika, yang tersisa cuma teka-teki. Apakah mengalah demi strategi jangka panjang atau taktik Pentagon memang cemerlang?
Peristiwa di benteng Qala-I-Jangi, tatkala tawanan Al-Qaidah memberontak merebut gudang amunisi dengan hasil 400 orang tewas, menunjukkan militansi Taliban masih menyala. Toh, kenyataan menunjukkan, dalam waktu singkat pihak AS sukses memfasilitasi sebuah pemerintahan transisi di bawah pimpinan Hamid Karzai. Amerika juga seolah ingin melahirkan Afganistan yang berbeda di bawah Karzai. Orang bilang modal utama Taliban sejatinya adalah stamina. Lahir sebagai kelompok paling solid di antara faksi mana pun di Afganistan, para pemimpin Taliban sudah bersahabat sejak remaja.
Mereka belajar pada madrasah yang sama, melawan Soviet secara bersama, dan kini hancur bersama. Entah lima atau enam tahun lagi, bukan tak mungkin kehancuran ini menimbulkan energi lagi. Kekuatan mereka adalah ketahanan menderita. Ibarat mitos burung phoenix yang terbakar lalu hidup kembali dari abunya dengan semangat baru, Taliban bisa saja terus hidup "di dalam kotak abu" dan kembali di waktu yang lain.
Maka satu-satunya cara bagi Amerika adalah memotong Taliban sampai ke akar-akarnya. Thomas C. Schelling dalam bukunya, Arms and Influence, menulis bahwa akhir sebuah perang bisa lebih penting dari awalnya. Ini nasihat penting bagi Amerika, mengingat cara negara itu menutup Perang Dunia II di Jepang dengan kriminalitas: bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Kini, John Walker, warga AS anggota Taliban, bersaksi bagaimana ratusan anggota Taliban dibantai di penjara kendati telah menyerah.
Syahdan, setelah pasukan Inggris menang di El Alamein pada permulaan Perang Dunia II, Jenderal Winston Churchill dari Inggris mengatakan: "This is not the end. But it is, perhaps, the end of the beginning" ("Ini bukan akhir. Tapi ini barangkali akhir sebuah awal").
Ucapan Churchill ini masih tepat bila Amerika menutup misi Enduring Freedom-nya di Afganistan dengan ceroboh—sebuah cara yang bisa mengembalikan nyawa burung-burung phoenix dari dalam kotak abu Taliban.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini